Mari bersama-sama berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, berpendidikan dan bernuansa islami

Senin, 30 Agustus 2010

Menjadi Orang Kaya yang Selamat

Cita-cita menjadi kaya, itu pasti manusiawi. Tapi menjadi orang kaya yang baik, adalah pilihan. Kita dapat becermin pada generasi silam. Bayangan enaknya jadi orang kaya, empat belas abad yang lalu, pernah dikemukakan beberapa sahabat di hadapan Khalifah Umar bin Khattab.

Waktu itu, Umar naik mimbar dan bertanya kepada jamaah, ‘’Kemukakan keinginan kalian.’’ “Aku mengandaikan mendapat rumah yang dipenuhi dirham, lalu aku infakkan fi sabilillah”, jawab seseorang. ‘’Utarakan keinginan kalian,’’ kata Umar lagi. ‘’Aku mengandaikan mendapat rumah yang dipenuhi emas, lalu aku infakkan fi sabilillah,’’ jawab seorang lainnya. ‘’Sampaikan keinginan kalian,’’ kata Umar lagi. ‘’Aku mengandaikan mendapat rumah yang dipenuhi permata, lalu aku infakkan fi sabilillah,’’ jawab seorang lagi. ‘’Apalagi selain itu?’’ kata orang-orang ketika Umar mengulangi pertanyaannya (Imam Bukhari dari Zaid bin Aslam, dalam Tarikh As Saghir: 29).

Cita-cita untuk kaya sehingga dengannya dapat berbuat kebajikan lebih banyak, bukan angan yang sia-sia. Bahkan meski masih sebatas keinginan, ia sudah menjadi ‘’sesuatu’’ di hadapan-Nya. Sebagaimana dikatakan Nabi Muhammad saw: ‘’.... menanti-nanti (mengharap-harap) kelapangan (sehingga dengannya dapat berbuat kebajikan) adalah suatu ibadah’’ (HR Bukhari).

Meski memilih hidup miskin, Rasulullah tak pernah membenci kekayaan dunia. Beliau berwasiat, ‘’Jangan kalian mencaci-maki dunia. Dia adalah sebaik-baik kendaraan. Dengannya orang dapat meraih kebaikan dan dapat selamat dari kejahatan.’’ (HR Ad-Dailami). Nabi pun menegaskan, sebaik-baik kekayaan adalah di tangan Muslim yang dermawan.

Sejumlah sahabat Nabi, pernah merasa ‘’kalah bersaing’’ dengan orang kaya dalam beramal. Abu Dzar ra mengisahkan, ada sekelompok sahabat dhuafa mengadu ke Rasulullah. “Wahai Rasulullah,’’ kata mereka, ‘’orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, tapi mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.”

Rupanya kelompok orang itu salah sangka pada Allah Swt. Benar, Allah Swt membeda-bedakan kekayaan hamba-hamba-Nya. "Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia angkat sebagian kamu atas sebagian lain derajatnya untuk menguji kamu pada rezeki yang diberikan kepada kamu.... " (QS Al Anaam:165).

Tapi, bukan berarti harta kekayaan menjadi satu-satunya alat beramal saleh. Kepada para sahabat tadi, Nabi menjelaskan, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sungguh pada setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah, dan pada setiap tahlil ada sedekah; Menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan mendatangi istrimu juga sedekah.”

Kelompok sahabat tadi kaget dan berkata, “Ya Rasulallah, apakah kegiatan memenuhi kebutuhan syahwat pun berpahala?” Rasul menjelaskan, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala” (HR Muslim).

Seorang mukmin diberi pahala dalam segala hal, walaupun dalam sesuap makanan yang disodorkan ke mulut isterinya (HR Ahmad dan Abu Dawud). Dan, ‘’siapa yang ridho dengan rezeki yang sedikit dari Allah maka Allah akan ridho dengan amal yang sedikit dari dia, dan menanti-nanti (mengharap-harap) kelapangan adalah suatu ibadah.’’ (HR Bukhari).

Abu Hurairah ra mengisahkan, seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw lalu berkata, ‘’Wahai Rasulallah, sedekah manakah yang paling agung?’’ Jawab Nabi, ‘’Engkau bersedekah ketika engkau sehat lagi kikir dan sangat memerlukannya, engkau takut miskin dan sangat ingin menjadi kaya.’’ (HR Muslim).

Jadi, keinginan menjadi orang kaya, sah-sah saja. Tapi memang, belum tentu kekayaan itu yang terbaik buat yang seseorang. Ingatlah akan kegelisahan Nabi: ‘’Aku tidak khawatir kalian ditimpa musibah dan melarat sepeninggalku. Yang aku takutkan, bila Allah membuka perbendaharaan kekayaan-Nya bagi kalian dan kalian menjadi lupa diri karenanya.’’

sumber: www.alazharpeduli.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar