Mari bersama-sama berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, berpendidikan dan bernuansa islami

Jumat, 09 Juli 2010

Mengintip Seputar Campur Baur Laki-Laki dan Perempuan

Permasalahan Campur Baur Antara Laki-Laki dan Perempuan Menurut Pandangan Syariat
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi yang telah diutus oleh Allah sebagai rahmat untuk alam ini, kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya (yang baik) sampai hari kiamat. Amma ba'du.

Ikhtilat Antara Laki-Laki dan Wanita Terdiri dari Tiga Keadaan

Keadaan Pertama

Ikhtilat yang terjadi antar-mahram, Dibolehkan secara syar'i dan tidak ada khilaf (di antara para ulama) tentang kebolehannya. Demikian juga, ikhtilat di antara laki-laki dan wanita yang sudah ada ikatan pernikahan. (Kebolehan) ikhtilat jenis ini terdapat di dalam nash-nash yang menunjukkan akan haramnya (menikah) antar-mahram. Kemudian, ikhtilat yang dibolehkan berikutnya adalah ikhtilat antara laki-laki dan wanita, yang mana boleh bagi wanita tersebut menampakkan perhiasaanya di depan laki-laki tersebut.

Allah Ta'ala berfirman,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً

"Diharamkan atas kalian (menikahi) ibi-ibu kalian, anak-anak kalian yang wanita, saudara-saudara kalian yang wanita, saudara-saudara ibu kalian yang wanita, anak-anak wanita dari saudara-saudara kalian yang laki-laki, anak-anak wanita dari saudara-saudara kalian yang wanita, ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara wanita sepersusuan, ibu-ibu istri kalian (mertua), anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (yang sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa bagi kalian menikahinya, (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu) dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua wanita yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. an-Nisa': 23)

Allah Ta'ala juga berfirman,

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan janganlah mereka (wanita beriman) menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengetahui tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya supaya diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung." (Qs. an-Nur: 31)

Keadaan Kedua

Ikhtilat yang berdosa, yaitu ikhtilat yang tujuannya adalah zina dan kerusakan, maka hukumnya haram berdasarkan nash dan ijma' . Di antaranya, Allah Ta'ala berfirman,

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

"Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan jalan yang buruk." (Qs. al-Isra': 32)

Allah Ta'ala juga berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً

"Dan orang-orang yang tidak menyembah Ilah (sesembahan) yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk dibunuh) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya akan mendapatkan (pembalasan) dosanya." (Qs. al-Furqan: 68)

Keadaan Ketiga

Ikhtilat di antara non-mahram yang terjadi di sekolah-sekolah, kantor, jalan-jalan, rumah sakit, bus-bus, dan tempat-tempat umum lainnya. Ikhtilat ini bisa sebagai jalan bagi terfitnahnya laki-laki dengan wanita, atau sebaliknya. Maka, hukum ikhtilat yang seperti ini terlarang, karena ditinjau dari adanya saling ketertarikan antara laki-laki dan perempuan akan mengantarkan kepada jenis ikhtilat kedua yaitu berupa kerusakan, kekejian, dan kemungkaran. Sebagaimana kaidah:


الوَسَائِلُ لَهَا حُكْمُ المَقَاصِدِ

"Sarana memiliki hukum sebagaimana tujuan." [1]

وَسِيلَةُ المَقْصُودِ مَقْصُودَةٌ

"Sarana yang mengantarkan kepada tujuan (hukumnya) seperti tujuan."

Akan tetapi, terdapat berbagai permasalahan tentang jenis ikhtilat ketiga ini, yang sudah tersebar secara umum, khususnya di negara Aljazair, yang menimbulkan beberapa pertanyaan:
1. Apakah dosa ikhtilat ini didapatkan oleh laki-laki dan wanita sekaligus, meskipun ada kebutuhan (syar'i) dan darurat, atau mereka tidak berdosa? Atau apakah dosanya hanya didapatkan oleh salah satu dari mereka?
2. Apakah dosa ikhtilat ini hukumnya tetap, meskipun aman dari fitnah atau berubah hukumnya? Apakah dosanya itu disebabkan oleh keluarnya wanita, sehingga terjadilah ikhtilat dengan para laki-laki, (serta) karena mereka telah menyelisihi perintah untuk tetap tinggal di rumah sebagaimana asalnya. Apakah wanita tidak berdosa jika wanita itu keluar dari rumahnya karena adanya kebutuhan syar'i dan keadaan darurat, dengan tetap menjaga aturan-aturan syariat saat keluar dari rumah?
3. Apakah semua laki-laki yang langsung berikhtilat dengan wanita adalah lelaki yang berdosa? Ataukah dosa mereka dilihat dari sisi yang lain, yaitu karena mereka tidak memelihara dan mengambil sarana-sarana agar tidak terjatuh ke dalam fitnah dan kerusakan, yaitu dengan menahan pandangan, bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan ketika bermuamalah dengan para wanita, berpuasa, dan sarana-sarana lainnya yang dapat menjaga agama serta menjauhkan hati dari ketertarikan terhadap wanita?

Ini adalah Permasalahan-permasalahan yang Terjadi Tentang Ikhtilat Jenis yang Ketiga, Sehingga Memerlukan Pembahasan dan Perincian

Sebab Terjadinya Ikhtilat

Layak untuk diperhatikan, bahwa sebab munculnya fitnah wanita adalah keluarnya mereka dari tempat asalnya, yaitu tetap berada di dalam rumah mereka sehingga tidak ada kebutuhan untuk berikhtilat dengan para laki-laki dan berhias di hadapan mereka. Hal tersebut disebabkan oleh pembenaran dan pengamalan atas firman Allah Ta'ala,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

"Hendaklah kalian (para wanita) tetap berada dirumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya orang-orang jahiliyah zaman dulu." (Qs. al-Ahzab: 33)

Oleh karena itu, syariat tetap memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka dan melarang mereka keluar dari rumah kecuali jika ada kebutuhan syar'i. Sebagaimana telah disebutkan oleh hadits Saudah binti Zum'ah radhiyallahu 'anha,

قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

"Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar untuk kebutuhan kalian." [2]

Yaitu, wanita yang keluar untuk memenuhi kebutuhannya. Khususnya, jika tidak ada orang yang menafkahi dia, atau dia keluar untuk perkara-perkara yang memang dibutuhkan atau kewajiban seperti menyambung tali silaturahim, serta yang terkait dengan kebutuhan wanita lainnya, selama aman dari fitnah.

Dengan demikian, bolehnya wanita keluar dari rumahnya pada keadaan tersebut merupakan pengecualian dari hukum asal, yaitu wanita tetap tinggal di rumah.

Berbeda hukumnya dengan laki-laki. Ketika mereka keluar untuk bekerja dan mencari rezeki, maka mereka memang diperintahkan untuk menafkahi keluarganya. Berdasarkan firman Allah Ta'ala,

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya." (Qs. ath-Thalaq: 7)

Juga firman Allah Ta'ala,

وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

"Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakain kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf." (Qs. al-Baqarah: 233)

Allah mewajibkan bagi laki-laki untuk memberi nafkah pada istrinya dan menjadi pemimpin atas semua urusannya. Allah Ta'ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

"Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), serta karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (Qs. an-Nisa': 34)

Maka, laki-laki adalah qayyim bagi para wanita yaitu pemimpinnya dan menjadi hakim atasnya. Hal ini disebabkan oleh keutamaan yang ada pada laki-laki daripada wanita, serta karena laki-laki telah memberi nafkah dan mahar kepada mereka, sehingga layak untuk memimpin mereka (wanita). [3]

Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

"Bagi laki-laki ada mempunyai satu tingkatan lebih daripada wanita." (Qs. al-Baqarah: 228)
Sama saja, baik dia sebagai wali atau sebagai suami, sampai para wanita tetap berada di rumah. Para wanita alam akan ditanyai tentang tempat yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagaiman sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَالمرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

"Wanita adalah pemimpin di rumah tangga suami dan pemimpin anak-anaknya, dan dia akan ditanya tentang mereka." [4]

Dalil-dalil ini menegaskan dan menguatkan tentang hukum asal tempat wanita (yaitu, di rumahnya), sebagaimana firman Allah Ta'ala,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

"Tetaplah kalian berada dirumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya orang-orang jahiliyah zaman dulu." (Qs. al-Ahzab: 33)

Oleh karena itu, tidak boleh bagi para laki-laki untuk masuk ke dalam rumah wanita, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

"Hati-hatilah kalian ketika masuk ke dalam (rumah) wanita. Salah seorang sahabat dari kalangan Anshar berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang saudara ipar?" Beliau menjawab, "Saudara ipar adalah al-maut (bahaya)." [5]

Meskipun wanita diperbolehkan keluar dari tempat asalnya (rumahnya) karena adanya pengecualian, tetapi dipersyaratkan bahwa hal tersebut boleh jika aman dari fitnah dan tetap menunaikan aturan-aturan syariat [6].

Di antara syarat tersebut adalah tetap mengenakan jilbab, tidak memakai parfum, berjalan di tepi jalan bukan malah di tengahnya, dengan tetap menjaga diri dari perbuatan atau gerakan tubuh yang dapat mengundang perhatian dan syahwat para laki-laki, dalam rangka untuk menjaga diri dari jerat-jerat setan dan menjauhkan diri dari tipu dayanya, karena setan selalu memerintahkan kepada perbuatan keji dan mungkar. Demikian juga, jiwa manusia itu cenderung untuk memerintahkan kepada keburukan, karena hawa nafsu itu bisa membutakan orang dan membuat orang tidak mampu lagi mendengar (nasihat).

Fitnah ini terjadi karena wanita keluar dari tempat asalnya (rumah) tanpa ada kebutuhan syar'i dan keadaan yang mengharuskan dia (untuk keluar). Maka, tidak diragukan lagi kalau wanita tersebut berdosa, karena dia menjadi penyebab fitnah.

Adapun laki-laki, maka dia tidak berdosa jika dia benar-benar mengingkari hal tersebut sebisa mungkin, demi penjagaan terhadap agama dan keselamatan kehormatannya. Demikian ini dilakukan dengan menempuh penyebab yang dapat menjaga supaya tidak tertarik kepada para wanita dan terjerumus ke dalam jerat-jerat mereka. [7]

Tidak mengapa bila wanita yang keluar dari rumah karena adanya kebutuhan syar'i, berdasarkan hadits Saudah binti Zum'ah radhiyallahu ‘anha sebelumnya, tetapi dengan syarat: tidak menimbulkan fitnah, dengan tetap memegang dan melaksanakan aturan-aturan syariat. [8]

Perlu diketahui bahwa ikhtilat yang demikian ini tidaklah diharamkan zat-nya. Oleh karena itu, terdapat kaidah fikih yang menyatakan:

مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ يُبَاحُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ وَمَا حُرِّمَ لِغَيْرِهِ يُبَاحُ عِنْدَ الحَاجَة

"Sesuatu yang diharamkan zat-nya adalah dibolehkan ketika keadaan darurat, dan sesuatu yang diharamkan karena sebab yang lainnya adalah dibolehkan ketika ada kebutuhan."

مَا حُرِّمَ سَدًّا لِلذَّرِيعَةِ أُبِيحَ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ

"Sesuatu yang diharamkan untuk menutup jalan terhadap sesuatu yang haram adalah diperbolehkan jika ada maslahat yang lebih kuat."

Di antara contoh kaidah ini adalah firman Allah Ta'ala,

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang mereka perbuat." (Qs. an-Nur: 30)

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya". (Qs. an-Nur: 31)

Ketika menjelaskan sisi pendalialan ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Ketika menundukkan pandangan merupakan cara utama untuk menjaga kemaluan, maka penyebutannya didahulukan. Ketika haramnya (melihat wanita) disebabkan oleh keharaman wasilah atau sarana, maka dibolehkan (memandang wanita), jika ada maslahat yang lebih besar, dan diharamkan jika dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan. Maslahat yang lebih besar ini dengan kerusakan (akibat memandang wanita) bukan merupakan hal yang dipertentangkan, karena Allah tidaklah memerintahkan menundukkan pandangan secara mutlak. Akan tetapi, Allah memerintahkan untuk menundukkan sebagian pandangan. Adapun menjaga kemaluan, maka hukumnya wajib dalam setiap keadaan, tidaklah dibolehkan kecuali terhadap orang yang halal. Hal ini disebabkan oleh keumuman perintah untuk menjaga kemaluan." [9]

Di antara dalil dari sunnah Nabi yang menunjukkan kaidah ini adalah:

"Pada suatu hari, Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith keluar untuk melakukan safar ke rumah Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam, ketika itu dia sudah tua. Maka, datanglah suaminya untuk meminta Rasullallah shallallahu' alaihi wa sallam supaya mengembalikan Ummu Kultsum kepadanya. Akan tetapi Rasullallah shallallahu' alaihi wa sallam tidak mengembalikan Ummu Kultsum kepadanya, sehingga turun ayat tentang wanita ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir." (Qs. al-Mumtahanah: 10)

Demikian juga, safarnya Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika tertinggal (dari rombongan Nabi) bersama Shafwan bin Muatthal. [11]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Terlarangnya berdua-duaan dengan wanita non-mahram, safar dengannya, dan memandangnya adalah karena (seluruh hal tersebut) akan menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu, maka wanita dilarang untuk melakukan safar, kecuali jika dia bersafar bersama dengan suami atau mahramnya....

Sesungguhnya, hal tersebut terlarang dengan tujuan untuk mencegah jalan menuju suatu hal yang haram. Hal ini dibolehkan jika ada maslahat yang lebih besar, sebagaimana dibolehkan memandang wanita yang akan dilamar. Dengan demikian, safar bersama wanita yang dikhawatirkan keselamatannya, seperti safarnya wanita dari negeri kafir, sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu Kultsum, serta safarnya Aisyah ketika tertinggal (dari rombongan Nabi) bersama Shafwan bin Muatthal adalah safar yang tidak terlarang, kecuali jika hal tersebut malah mengantarkan kepada kerusakan. Jika hal tersebut untuk meraih maslahat yang lebih besar, maka (pertimbangan akan) kerusakan atau mafsadatnya menjadi terabaikan." [12]

Dengan demikian, jika tidak ada kebutuhan syar'i, maka terlarang bagi wanita untuk keluar (dari rumahnya). (Hal ini adalah) dalam rangka mencegah kerusakan.

Telah terdapat nash-nash dari sunnah Nabi yang menegaskan perkara ini, di antaranya:

Tidak disukai bagi wanita bila mereka keluar untuk mengiringi jenazah, sebagaimana hadits Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata,

كُنَّا نُنْهَى عَنِ اتِّبَاعِ الجَنَائِزِ، وَلَم يُعْزَمْ عَلَيْنَا

"Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, namun bukanlah larangan yang ditekankan kepada kami." [13]

Di antara sebab penjagaan dari terjadinya ikhtilat adalah larangan ikhtilat didalam shaf ketika shalat. Nabi shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

"Shaf terbaik bagi laki-laki adalah paling depan sedangkan yang terjelek adalah paling belakang, dan shaf terbaik bagi wanita adalah paling belakang sedangkan terjelek adalah paling depan." [14]

Maka Nabi menginginkan jauhnya tempat wanita dari para laki-laki, dan menjadikan shaf terakhir wanita sebagai shaf terbaik baginya. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan jauhnya tempat wanita dari para laki-laki. Demikian juga Nabi bersabda kepada para wanita,

لاَ تَرْفَعْنَ رُؤوسَكُنَّ حَتَّى يَسْتَوِيَ الرِّجَالُ جُلُوسًا

"Janganlah kalian (para wanita) mengangkat kepala kalian sehingga sama dengan posisinya laki-laki ketika duduk." [15]

Nabi shallallahu'alaihi wa sallam telah memberi berita tentang bahaya ikhtilat dan segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada tersebarnya keburukan dan kerusakan disebabkan fitnah wanita, serta bahaya keluarnya wanita (dari rumahnya). Dalam sabda beliau,

مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً أَضَرَّ بِهَا عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

"Tidaklah aku meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi para laki-laki kecuali fitnah wanita." [16]

فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

"Hati-hatilah kalian terhadap fitnah dunia dan fitnah wanita, karena fitnah yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah fitnah wanita." [17]

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: أَرَأَيْتَ الحَمْوَ؟ قَالَ: الحَمْوُ المَوْتُ

"Hati-hatilah kalian ketika masuk ke dalam (rumah) wanita." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulallah bagaimana menurutmu tentang saudara ipar?" Beliau menjawab, "Saudara ipar adalah al-maut (bahaya)."

Demikian juga, tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu terhadap firman Allah Ta'ala,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

"Dia mengetahui mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan didalam dada." (Qs. Ghafir: 19)

"Yaitu, seorang laki-laki yang berada dalam suatu kampung, kemudian ada seorang wanita yang melewati kampung tersebut, maka laki-laki tadi memperlihatkan kepada warga kampungnya bahwa dia adalah orang yang menundukkan pandangan terhadap wanita tadi, sedangkan jika warga kampung lalai maka laki-laki tadi melihat wanita tersebut, maka jika laki-laki tadi khawatir terhadap warga kampungnya maka dia tundukkan pandangannya. Padahal Allah mengetahui apa yang ada didalam hatinya bahwa hatinya menginginkan untuk melihat aurat wanita tersebut."

وإذا كان الله تعالى وصف اختلاس النظر إلى ما لا يحلُّ من النساء بأنَّها خائنة، -ولو كانت في بيوت محارمها- فكيف بالاختلاط الآثم المؤدِّي إلى الهلكة.

Maka apabila Allah menyifati memandang wanita yang tidak halal baginya merupakan pandangan khianat, meskipun berada di rumah mahram wanita tersebut, maka bagaimana lagi dengan ikhtilat terlarang yang dapat menghantarkan kepada kebinasaan?

Tidak diragukan lagi bahwa penurunan dan kerusakan akhlak akan melemahkan umat dan kekuatan suatu bangsa, sebagaimana perkataan seorang penyair,

Sesungguhnya yang tersisa dari masyarakat adalah akhlak.
Jika akhlak sudah tidak ada, maka hancurlah masyarakat.

Seorang laki-laki jika pergi ke kantor tempat dia kerja untuk mencari rezeki, maka tidak ada tuntutan supaya kembali ke rumahnya, meskipun tempat kerjanya tidaklah terbebas dari fitnah wanita. Akan tetapi, dia dituntut untuk memutus segala sebab yang dapat mendatangkan fitnah, yaitu dengan menundukkan pandangan, berhati-hati ketika berbicara dengan mereka (wanita), bertakwa kepada Allah dengan menjauhi (tempat) wanita sebisa mungkin. [19]

Hanya saja, hal tersebut (kembali ke rumah) dituntut bagi wanita yang keluar dari tempat asalnya (rumah), maka wanita tersebut berdosa karena telah menyelisihi dalil-dalil yang memerintahkan kepada wanita untuk tetap tinggal di rumahnya.

Selain itu, wanita tersebut berdosa karena sebab berhias ketika keluar rumah, membuka wajah, atau malah seperti orang yang tidak berpakaian. Ini merupakan fitnah yang sangat berbahaya bagi para laki-laki, seluruh umat, dan agama.

Maka, bagi laki-laki yang berada di tempat kerjanya tidaklah berdosa jika dia berusaha menjaga agama dia sebisa mungkin, karena memberi nafkah kepada keluarga dan orang yang menjadi tanggungannya merupakan kewajiban baginya. Berbeda dengan wanita, dia adalah orang yang diberi makan. [20]

Yang penting untuk jadi perhatian adalah bahwa jika ada wanita yang keluar untuk kebutuhan syar'i, seperti menuntut ilmu syar'i, yang mana ilmu tersebut tidak dapat diperoleh kecuali dengan keluar rumah dan ilmu tersebut diperlukan untuk menjaga dirinya dari api neraka, karena mengamalkan firman Allah Ta'ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian serta keluarga kalian dari api neraka." (Qs. at-Tahrim: 6)

Maka, keluarnya wanita tersebut dari rumahnya tidaklah berdosa dan tercela, karena untuk mendapatkan maslahat (manfaat) yang lebih besar, sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Menjaga diri agar tidak terjerumus kedalam api neraka hanya bisa didapatkan dengan iman dan amal shalih, dan tidaklah mungkin memperoleh keduanya kecuali dengan ilmu syar'i yang benar, sebagaimana kaidah:

ما لا يتمُّ الواجب إلاَّ به فهو واجب

"Suatu kewajiban tidak dapat sempurna kecuali dengan perkara yang lain, maka perkara tersebut hukumnya menjadi wajib."

Kemudian, jika wanita yang keluar rumah untuk tujuan bekerja dan memelihara kehidupannya karena sudah tidak ada lagi orang yang menafkahinya saja diperbolehkan, maka keluarnya wanita untuk menegakkan agama dia lebih diperbolehkan lagi. Akan tetapi, keluarnya wanita tersebut tetap disyaratkan menjaga aturan-aturan syariat dan aman dari fitnah.

Kesimpulannya:

Merupakan kewajiban seorang laki-laki untuk berusaha sekuat tenaga mencari tempat kerja yang terhindar dari fitnah wanita atau paling tidak, sedikit fitnahnya, sebagai pengamalan kaidah "mencegah kerusakan lebih utama dari kehilangan kebaikan."

Akan tetapi, jika tidak ada tempat kerja yang demikian, dan hal ini lebih banyak dan lebih umum, maka boleh baginya untuk pergi ke tempat kerja dan menyibukan diri dengan pekerjaannya untuk memenuhi nafkahnya dan keluargannya. Sedangkan berikhtilatnya dengan wanita di tempat kerja tidaklah menjadi sebab untuk meninggalakan pekerjaannya.

Serta, tidaklah menjadi dosa baginya jika dia menjaga dirinya, membenci keadaannya itu, dan mengingkarinya walau dengan tingkatan pengingkaran yang paling rendah, sehingga dia tidak ridha dengan kemaksiatan yang terjadi karena ikhtilat tersebut. Hal tersebut berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Jika kesalahan di muka bumi dilakukan, maka orang yang menyaksikannya dan membencinya --atau di riwayat yang lain, "...dan mengingkarinya," maka dia seperti orang yang tidak menghadirinya. Sedangkan orang yang tidak menghadirinya dan dia ridha dengannya, maka dia seperti orang yang menyaksikannya." [21]

Sebagai padanannya adalah ikhtilat yang terjadi karena darurat, kepentingan yang mendesak dan keluarnya wanita dengan kaidah-kaidah syar'yiyah, seperti yang terjadi di tempat-tempat ibadah, tempat-tempat shalat, atau seperti yang terjadi pada pelaksanaan manasik haji dan umrah [22] di kedua tanah haram, maka hal itu tidaklah terlarang.

Sebabnya adalah, keadaan darurat dan kepentingan tersebut merupakan pengecualian dari hukum asalnya, ditinjau dari satu sisi. Ditinjau dari sisi yang lain, kerusakan yang ditimbulkan oleh fitnah tersebut juga tertutup oleh kebaikan ibadah karena "jenis amal yang diperintahkan lebih utama dari jenis hal yang dilarang", seperti yang tercantum dalam kaidah umum.

Adapun orang yang menyelisihi hukum asal wanita untuk tinggal di rumah dan keluar menuju pintu-pintu fitnah tanpa sebab yang membolehkannya atau tanpa ketentuan-ketentuan syari'ah berupa tabarruj, tanpa kerudung, telanjang, dan aib, maka dia lebih memilih perbuatan dosa.

Ilmu hanyalah di sisi Allah Ta'ala, dan akhir seruan kami adalah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat dan keselamatan semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya sampai hari kebangkitan.

Al Jazair 28 Sya'ban 1428 H, bertepatan dengan 10 September 2007 M.

Catatan Kaki:

[1] Lihat keadaan ketiga dalam fatwa dan risalah Syekh Muhammad bin Ibrahim Ali asy-Syaikh (10/35--44).

[2] Dikeluarkan oleh Bukhari dalam (Nikah), bab "Keluarnya Wanita untuk Kebutuhannya": (4939), Muslim dalam (Salam), bab "Bolehnya Keluarnya Wanita untuk Menunaikan Keperluan Manusia": (5668), Ahmad: (23769), Baihaqi dalam (Sunan Kubra): (13793), dari hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[3] Tafsir Ibnu Katsir (1/491).
[4] Bukhari mengeluarkannya dalam (Ahkam), bab Firman Allah: " taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu": (7138), Muslim dalam (Imaroh) bab
Keutamaan Pemimpin yang Adil dan Balasan Bagi yang Zalim": (1829), Abu Daud dalam (Kharaj dan Imaroh), bab "Apa yang harus dipenuhi pemimpin dari hak rakyat: (2928) dan Turmudzi dalam (Jihad), bab "Hal-hal tentang Pemimpin": (1705), dari hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu'anhuma.

[5] Bukhari mengeluarkannya dalam (Nikah), bab "Laki-laki Tidak Bertamu kepada Perempuan Kecuali Mahramnya": (4934), Muslim dalam (Salam), bab "Larangan Berduaan dengan Wanita yang Bukan Mahram dan Bertamu Kepadanya": (5674), Turmudzi dalam (Radha'), bab "Hal-hal Tentang Dibencinya Bertamu Kepada Istri-istri yang Ditinggal Suaminya": (1171), dan Ahmad: (16945), dari hadist Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu.

[6] Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah ditanya tentang wanita yang belajar di universitas yang bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan, Beliau menjawab, "Kami memberikan wasiat kepadamu untuk memegang teguh agama, selalu menggunakan hijab syar'i dan besemangat untuk menutup diri, menjauhi ikhtilat, menyelisihi laki-laki, serta menjaga diri dari sebab-sebab kemaksiatan dan dosa. Kami juga mewasiatakan kepadamu untuk bersemangat dalam menaati ibu dan membahagiakannya, mencari keridhaannya semampunya untuk melanjutkan pendidikan jika aman dari fitnah. Jika diperlukan untuk masuk sekolah yang terdapat ikhtilat di dalamnya, hendaknya setiap pemudi menjauhi pemuda dan menutup diri, dan tidak menampakkan perhiasan dengan semampunya. Wallahu A'lam. (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 12636)

[7] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, "Bolehkan seorang muslim masuk pasar sedangkan dia tahu bahwa di dalamnya ada wanita yang berpakaian tapi telanjang dan ada ikhtilat yang tidak diridhai Allah ‘Azza wa Jalla? Beliau menjawab, "(Pasar yang seperti itu tidak boleh dimasuki kecuali bagi orang yang akan melakukan amar ma'ruf nahi munkar, atau untuk keperluan mendesak dengan menundukan pandangan dan berhati-hati dari sebab-sebab fitnah, demi menjaga kehormatannya, dan menjauhi keburukan)." (Fatawa –Kitab Dakwah Syekh Bin Baz (2/227, 228). Lihat: [Fatawa Wanita Muslimah] memperhatikannya Ibnu Abdul Maqsud: (2/574), Adhwa' Assalaf, Dar Ibnu Hazm)

Syekh Inbu Utsaimin rahimahullah ditanya, "Di universitas kami di Mesir banyak terjadi ikhtilat antara mahasiswa dan mahasiswi, lalu apa yang harus kami lakukan sedangkan kami membutuhkan pendidikan itu untuk melayani Islam dan kaum muslimin di negara kami, dan tidak membiarkan tempat-tempat tersebut diambil alih oleh non-muslim sehingga mereka bisa menguasai urusan-urusan kaum muslimin yang penting, seperti: kedokteran, teknik, dan lainnya? Beliau menjawab, "Ikhtilat antara laki-laki dan perempuan adalah fitnah yang besar, maka jagalah diri kalian darinya sebisa mungkin, dan ingkarilah semampunya. Kami memohon keselamatan kepada Allah bagi diri kami dan kalian." (Dari risalah Syekh dengan tulisan tangannya, pada tanggal 4/4/1406 H, dari Fatawa Syekh Muhammad Shaleh Al 'Utsaimin (2/896). Lihat: (Fatawa Wanita Muslimah) yang diperhatikan Ibnu Abdul Maqsud: (2/572), Adhwa' Assalaf – Dar Ibnu Hazm)

Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah ditanya tentang permasalan bermuamalah dengan wanita saat bekerja. Beliau menjawab, "Kami menasihatkan kepadamu untuk meninggalkan pekerjaan yang terdapat ikhtilat dengan wanita, apalagi jika mereka tidak berkerudung. Akan tetapi jika Anda harus melakukan pekerjaan itu, menjadi kewajiban Anda untuk mengarahkan mereka untuk berhijab dan menutup diri. Hendaknya Anda tidak berbicara dengan mereka kecuali seperlunya saja, tanpa disertai lemah-lembut dan kegenitan. Jangan berduaan dengan salah satu dari mereka, bahkan jangan duduk bersama mereka kecuali darurat dengan kondisi ruangan yang tidak tertutup dan terdapat kumpulan orang laki-laki dan perempuan. Anda juga harus mengarahkan wanita-wanita tersebut untuk menjauhi kumpulan laki-laki demi keamanan dan menjauhi fitnah beserta sebab-sebabnya." (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 12627)

[8] Syekh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafizahullah ditanya, "Apa hukum percakapan antara wanita dengan pemilik toko baju dan penjahit? Beserta arahan secara umum bagi wanita." Beliau menjawab, "Pembicaraan seorang perempuan dengan pemilik toko adalah pembicaraan yang sesuai kebutuhan, tidak ada fitnah di dalamnya maka tidaklah mengapa. Kaum wanita hendaklah berbicara dengan laki-laki dalam kebutuhan dan urusan-urusan yang tidak mengandung fitnah sesuai dengan kebutuhan. Adapun jika disertai dengan canda dan basa-basi atau dengan suara yang mengundang fitnah, maka hal itu terlarang dan tidak diperbolehkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (Qs. al-Ahzab: 32), dan perkataan yang baik atau ma'ruf adalah perkataan yang dimengerti oleh manusia dan sebatas kebutuhan.

Adapun selebihnya, berupa canda, basa-basi, suara yang mengandung fitnah, atau hal lainnya, atau membuka wajahnya di depan pemilik toko, membuka hastanya atau telapak tangannya, maka semuanya itu adalah hal yang haram, munkar, mengundang fitnah, dan merupakan sebab terjatuhnya dalam perbuatan keji. Wajib bagi seorang wanita muslimah yang takut kepada Allah untuk bertakwa kepada-Nya, dan tidak berbicara kepada laki-laki dengan perkataan yang mengundang fitnah terhadap hati-hati mereka, dan menjauhi hal-hal tersebut. Apabila perlu untuk pergi ke toko atau tempat yang ada laki-lakinya, maka hendaklah malu, menutup diri dan beradab dengan adab Islam. Dan jika berbicara dengan laki-laki hendaklah berbicara dengan baik, tanpa fitnah dan kebimbangan di dalamnya. (Al-Mufti dari Fatawa Syekh Shaleh bin Fauzan: 3/156, 157)

[9] Raudhatul Muhibbin, Ibnul Qayyim (92).

[10] Bukhari mengeluarkannya dalam (Syuruth) (5/312), bab "Hal-hal yang Boleh dari Syarat-syarat dalam Islam, Hukum-hukum dan Penjelasan", no. (2711, 2712), dari hadist Marwan dan Masurah bin Makhzamah radhiyallahu ‘anhuma.

[11] Bukhari mengeluarkannya dalam (Maghazy) (7/431), bab "Hadits Ifki", No (4141), dan Muslim dalam (Taubat) (17/102), bab "Hadist Ifki dan Diterimanya Tobat Penuduh Zina", dari hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[12] Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah (23/186--187).

[13] Bukhari mengeluarkannya di (Janaiz), bab "Wanita Mengikuti Jenazah": (1219). Muslim di (Janaiz), bab "Larangan bagi Wanita untuk Mengikuti Jenazah": (2166), dan Ahmad: (26758), dari hadist Ummu 'Athiyah radhiyallahu 'anha.

[14] Muslim mengeluarkannya di (Shalat), bab "Meluruskan shaf, Menegakkannya, dan Keutamaan Shaf yang Pertama": (1013), Abu Daud dalam (Shalat), bab "Shaf Wanita dan Tidak Disukainnya Terlambat dari Shaf Pertama": (687), Turmudzi dalam (Shalat), bab "Hal-hal Tentang Keutamaan Shaf Pertama": (224), Nasa'i dalam (Imamah), bab "Shaf Perempuan": (1053), dan Ahmad: (7565), dari hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

[15] Bukhari mengeluarkannya dalam (Shalat), bab "Jika Baju Sempit": (355), Muslim dalam (Shalat), bab "Perintah bagi Wanita yang Shalat Di Belakang Laki-laki untuk Tidak Mengangkat": (986), Abu Daud dalam (Shalat), bab Laki-laki yang Mengikat Baju Di Tengkuknya Kemudian Shalat": (530), Nasa'i dalam (Qiblat), bab "Shalat Dengan Sarung": (766) dan Ahmad: (15134), dari hadist Sahl bin Sa'ad radhiyallahu ‘anhu.

[16] Bukhari mengeluarkannya dalam (Nikah), bab "Apa yang Dijaga dari Kesialan Wanita: (4808), Muslim dalam (Riqaq), bab "Mayoritas Penghuni Surga Adalah Orang-orang Miskin dan Mayoritas Penghuni Neraka Adalah Wanita": (6945), Turmudzi dalam (Adab), bab "Riwayat Tentang Ancaman dari Fitnah Wanita": (2780), Ibu Majah dalam (Fitan), bab "Fitnah Wanita": (3989) dan Ahmad: (21239), dari hadist ‘Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma.

[17] Muslim mengeluarkannya dalam (Zikir dan Do'a), bab "Mayoritas Penghuni Surga Adalah Orang-orang Miskin dan Mayoritas Penghuni Neraka": (6948), Turmudzi dalam (Fitan), (2191), Ibu Majah dalam (Fitan), bab "Fitnah Wanita": (4000). Ibnu Hiban: (3221), Ahmad: (10785), dan Baihaqi: (6746) dari hadist Abu Sa'id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu.

[18] Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya dalam (Mushanaf): (13246), Sa'id bin Manshur, Ibnu Mundzir dan Ibnu Abi Hatim mengeluarkannya seperti yang dikatakan Al Jalal Suyuthi dalam (Darul Matsur): (7/282), dan Ibnu Katsir menyebutnya dalam tafsirnya: (7/123).

[19] Syekh Muhammad bin Shaleh Al ‘Ustaimin rahimahullah ditanya tentang hukum belajar di sekolah yang berikhtilat. Beliau menjawab, "Bagaimanapun kami katakan, wahai Saudaraku, Anda harus mencari sekolah yang tidak seperti itu. Jika tidak ada dan Anda membutuhkan pendidikan, maka hendaklah Anda membaca, belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari perbuatan keji dan fitnah, dengan menundukkan pandangan, menjaga ucapan, tidak berbicara dengan perempuan dan tidak melewati mereka." (Dari situs ‘Allamah Syekh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimain, Maktabah Fatawa: Fatawa Nur ‘ala Ad Darbi (Nashiyah): Ilmu)

[20] Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah ditanya tentang hukum belajar dan mengajar di sekolah yang berikhtilat. Beliau menjawab, "Terlarang bagi wanita untuk belajar di sekolah yang bercampur dengan laki-laki, baik itu sebagai murid ataupun sebagai guru; karena adanya fitnah dalam hal tersebut. Adapun laki-laki, maka boleh bagi mereka untuk belajar dengan berusaha keras untuk menundukkan pandangan dan menjauhi wanita-wanita yang tidak berkerudung. Wallahu a'lam." (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 11661)

Dalam jawaban beliau yang lain, "Hal tersebut tidak diperbolehkan jika memiliki kemampuan untuk meninggalakannya. Wajib hukumnya untuk menjauhkan antara laki-laki dan perempuan di setiap jenjang pendidikan karena adanya fitnah dalam ikhtilat. Jika seorang murid laki-laki tidak mendapatkan sekolah selain itu, hendaklah dia berusaha keras untuk menjauhi pandangan dan ikhtilat yang akan menimbulkan fitnah. (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 11754)

[21] Abu Daud mengeluarkannya dalam (Malamih), bab "Perintah dan Larangan": (4345), dan Thabari dalam (Mu'jam Kabir) (345) dari hadist Al ‘Ars Ibnu ‘Umairah Al Kindi radhiyallahu ‘anhu. Hadist dihasankan oleh Albani dalam (Shahih Jami') (702) dan (Shahih Abi Daud) (4345).

[22] Lihat (Fatawa Syekh Muhammad bin Ibrahim) (10/22--44).

***

Penulis: Syeikh Muhammad Ali Farqus Al-Jazairi
Penerjemah: Ustadz Didik Suyadi & Ustadz Adi Wira
Artikel: PengusahaMuslim.Com
Hadiah untuk Pekerja Berkedok Parsel, Bolehkah?

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Kamis, 03 Juni 2010 08:06 | Dibaca : 208 kali

Dari Abu Humaid as-Sa’idi, “Rasulullah mengangkat seseorang dari kabilah al-Azd, yang bernama Ibnu Utbiah, sebagai amil zakat bagi Bani Sulaim. Ketika tiba di hadapan Rasulullah, Nabi menyuruh seseorang untuk menghitung harta yang terkumpul. Ketika itu, Ibnu Utbiah berkata, ‘Ini harta untukmu, sedangkan yang ini adalah hadiah (untukku, pent).’ Nabi lantas bersabda, ‘Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu, sehingga engkau diberi hadiah jika engkau memang diberi hadiah!’

Setelah itu, Nabi berkhotbah. Setelah memuji dan menyanjung Allah, beliau bersabda,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلاَّنِى اللَّهُ فَيَأْتِى فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِى. أَفَلاَ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا وَاللَّهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلاَّ لَقِىَ اللَّهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِىَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعِرُ

"Aku mengangkat seseorang untuk mengerjakan tugas yang Allah bebankan kepada diriku. Lalu dia datang dan berkata, ‘Ini hartamu, sedangkan yang ini adalah hadiah untukku.’ Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, sehingga diberi hadiah jika memang dia diberi hadiah? Demi Allah, tidaklah ada seseorang yang mengambil harta tanpa alasan yang benar, kecuali pasti dia berjumpa dengan Allah dalam keadaan memikul harta tersebut. Sungguh, aku tahu ada seseorang yang berjumpa dengan Allah dengan memikul unta yang bersuara, sapi yang bersuara, atau kambing yang mengembek.’

Kemudian, Nabi mengangkat kedua tangannya sehingga putih ketiaknya terlihat jelas, lantas berkata, ‘Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?’” Abu Humaid berkata, “Demikianlah yang kulihat dengan mata kepalaku, dan kudengar dengan telingaku.” (Hr. Bukhari no. 2597, dan Muslim no. 4844 dan 4845)

Ibnu Hajar mengatakan bahwa di antara kandungan hadits di atas adalah bahwa para pekerja (pejabat, PNS, karyawan swasta, dan lain-lain, pent) dilarang menerima hadiah dari orang yang dia bawahi.

Hal ini berlaku jika penguasa (instansi, yayasan, dan lain-lain, pent) tidak mengizinkannya. Pengecualian ini berdasar pada hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Qais bin Hazim dari Muadz bin Jabal. Beliau berkata, “Rasulullah mengutusku ke Yaman, lalu beliau bersabda, ‘Janganlah engkau mendapatkan harta sedikit pun tanpa seizinku, karena harta seperti itu adalah ghulul (pengkhianatan terhadap amanah).’”

Al-Muhallab mengatakan bahwa di antara kandungan hadits di atas adalah bahwa hadiah yang diambil oleh pekerja tadi diserahkan ke baitul mal. Ini berlaku umum, kecuali untuk harta hadiah yang diizinkan oleh penguasa.

Perkataan beliau tersebut didasari oleh kandungan hadits, yaitu bahwa Ibnu Lutaibah mengambil harta yang diambil dengan status sebagai hadiah, dan itu memang yang sesuai dengan rentetan kisah…. Meski tidak tegas menunjukkan demikian.

Perkataan serupa disampaikan oeh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, ketika membahas risywah (suap). Beliau berkata, “Pekerja tersebut wajib memulangkannya kepada orang yang memberi. Namun tidak salah jika (‘hadiah’ itu) diserahkan ke baitul mal, karena Nabi tidak memerintahkan Ibnu Lutaibah untuk memulangkan hadiah tersebut kepada orang yang memberikannya.”

Ibnu Mundzir berkata bahwa sabda Nabi “mengapa dia tidak duduk di rumah bapak dan ibunya” menunjukkan bolehnya seorang pekerja menerima hadiah dari orang yang biasa memberi hadiah sebelum dia memegang jabatan.

Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir. Namun jelas pendapat beliau tersebut hanya berlaku jika nilai atau kadar hadiah tersebut tetap seperti yang dulu, sebelum si penerima hadiah mempunyai jabatan. (Fathul Bari: 20/206)

Sedangkan an-Nawawi dalam Syarh Muslim menyatakan bahwa di antara kandungan hadits ini adalah penjelasan bahwa hadiah untuk para pekerja (karyawan, pejabat, dan lain-lain) adalah haram dan merupakan bentuk ghulul (khianat amanah), karena pekerja tersebut berarti telah berkhianat terhadap amanah dan kewenangannya. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut disebutkan bahwa hukumannya adalah memikul hadiah tersebut pada hari kiamat, sebagaimana hukuman untuk orang yang mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan.

Dalam hadits tersebut, Nabi menjelaskan sebab diharamkannya hadiah untuk pekerja, yaitu karena hadiah tersebut disebabkan oleh kewenangan yang dimiliki oleh si pekerja. Sebaliknya, hadiah untuk non-pekerja (karyawan, pejabat, dan lain-lain) itu dianjurkan.

Telah dijelaskan bahwa harta yang didapatkan seorang pekerja dengan kedok hadiah, harus dipulangkan kepada pihak yang memberi hadiah. Jika tidak memungkinkan, maka diserahkan ke baitul mal. (Al-Minhaj: 6/304)

Syekh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan, “Terdapat beberapa hadits dari Rasulullah yang menunjukkan bahwa para pekerja (‘ummal) dan pegawai (muwazhzhafin) dilarang mendapatkan harta meski sedikit (dikarenakan kewenangannya, pent), walau dengan kedok hadiah.” (Kaifa Yu`addi al-Muwazhzhaf al-Amanah, hlm. 10)

Jadi, ketentuan di atas berlaku untuk hadiah siswa kepada guru, santri pesantren kepada ustadz atau ustadzah, guru kepada kepala sekolah, dan bawahan kepada atasan. Demikian pula, berlaku untuk lembaga kepada pegawai atau pejabat instansi yang menaungi atau berada di atasnya. Semisal pabrik obat kepada pejabat yang duduk di badan pengawasan obat, pabrik industri kepada pejabat di departemen perindustrian, dan seterusnya, baik dengan kedok THR, parsel hari raya, hadiah, dan sebagainya.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com


Adakah Pemutihan Utang dengan Utang dalam Islam?


Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Selasa, 01 Juni 2010 08:18 | Dibaca : 757 kali

Pengertian

Dalam khazanah ekonomi Islam dikenal istilah "muqashshah". Dalam bahasa Arab, muqashshah berarti, A mempunyai utang kepada B sebesar utang B kepada A, sedangkan secara istilah, muqashshah adalah dianggap lunasnya utang A kepada B, karena B mempunyai utang kepada A. Jadi, muqashshah adalah salah satu cara melunasi utang. Ibnu Jizzi, seorang ulama bermazhab Maliki mengatakan, "Muqashshah adalah pemutihan utang dengan utang."

Beda Muqashshah Dengan Ibra'

Dalam bahasa Arab, ibra' (pemutihan utang) memiliki makna membersihkan, memurnikan, dan menjauhi sesuatu. Adapun secara istilah, ibra’ adalah pemutihan kewajiban yang ada di pihak lain. Bedanya dengan muqashshah, muqashshah adalah pemutihan utang dengan kompensasi, sedangkan ibra’ adalah pemutihan utang tanpa kompensasi apa pun.

Hukum Muqashshah

Muqashshah itu disyariatkan dengan dalil hadits dan logika. Dalam hadits, Ibnu Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, tunggu sebentar, aku hendak bertanya. Aku menjual unta di Baqi’ dan harganya ditetapkan dengan dinar, namun uang yang kuambil berbentuk dirham. Terkadang, harganya ditetapkan dengan dirham, namun uang yang kuterima berupa dinar. Aku ambil ini dari itu dan kuberikan itu dengan ini. Rasulullah bersabda,

لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

"Tidak apa-apa kau mengambilnya, asalkan dengan harga yang berlaku pada hari tersebut, dengan syarat sebelum kalian berpisah, semua pihak sudah menerima haknya masing-masing." (Hr. Abu Daud, no. 3354; dinilai dhaif oleh al-Albani)

Hadits ini merupakan dalil tegas yang menunjukkan bolehnya mengganti harga suatu barang yang terutang dengan yang lainnya. Logika pun mendukung bolehnya transaksi ini.

Macam-Macam Muqashshah

Muqashshah terbagi menjadi dua:

Pertama, ikhtiyariyyah yaitu muqashshah yang terjadi dengan dasar kerelaan dua orang yang berutang.

Kedua, jabariyyah yaitu muqashshah yang terjadi pada dua buah utang dengan syarat-syarat tertentu.

Menurut mayoritas pakar fikih, untuk muqashshah jabariyyah, disyaratkan adanya kesamaan antara kedua belah utang dalam jenis, sifat, jatuh tempo, dan daya kuat utang. Syarat ini tidak berlaku untuk muqashshah ikhtiyariyyah.

Jika dua buah utang berbeda jenis, sifat, jatuh tempo atau yang satu lebih kuat dari pada yang lain, maka muqashshah tidak terjadi kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak, baik sebab utang itu sama ataupun berbeda.

Obyek Muqashshah

Obyek muqashshah adalah utang, karenanya muqashshah tidak terjadi antara barang dengan barang, dan barang dengan utang, kecuali jika barang tersebut berubah status menjadi utang. Jika sudah berubah, maka boleh asalkan syarat-syaratnya terpenuhi.

Syarat-syarat Muqashshah

Menurut Syafi’iyyah, syarat muqashshah adalah sebagai berikut:
1. Obyeknya adalah utang, sehingga tidak ada muqashshah untuk barang karena muqashshah dalam barang berstatus sebagai transaksi tukar-menukar, sehingga dibutuhkan kerelaan kedua belah pihak. Adapun dalam utang, merupakan suatu yang sia-sia jika uang pembayaran utang kita serahkan lalu dikembalikan seketika.

Oleh karena itu, terlarang untuk mengambil harta orang yang berutang tanpa kerelaannya, selama dia mengakui kalau dia mempunyai utang dan dia akan menunaikan kewajibannya. Orang yang berutang punya hak untuk memilih bentuk pelunasan utang yang dia kehendaki. Tidak bisa kita katakan, setelah harta diambil, bahwa muqashshah telah terjadi, karena muqashshah hanya dalam utang bukan barang.
2. Terjadi pada nilai, bukan pada benda yang bisa diganti dengan yang, semisal bahan makanan dan biji-bijian.
3. Utang tersebut bukan dari transaksi salam. Jika kedua utang tersebut adalah transaksi salam maka tidak boleh, meski kedua belah pihak rela. Demikianlah yang ditegaskan dalam al-Umm, karya Imam Syafi'i.
4. Jenis utang dan waktu jatuh temponya sama. Jika yang satu berupa utang rupiah namun yang kedua adalah utang dolar, maka muqashshah tidak terjadi.
5. Setelah salah satu pihak menagih utang. Jika belum ada pihak yang menagih utang, maka menurut Qadhi Husain, muqashshah tidak terjadi tanpa ada perbedaan pendapat (di antara ulama Mazhab Syafi’i).
6. Tidak terkait dengan harta yang harus disikapi dengan hati-hati. Ibnu Abdis Salam mengatakan, "Jika tidak mungkin menerima haknya, maka seorang dibolehkan mengambil haknya kecuali jika haknya tersebut pada harta orang gila, anak yatim, dan harta umum milik semua umat Islam."
7. Tidak ada muqashshah dalam hukum qishash dan hukum had. Jika ada dua orang yang saling melakukan qazaf (tuduhan berzina), maka tidak ada muqashshah. Demikian pula, jika ada dua orang yang saling melukai, maka masing-masing pihak wajib membayar diyat.

Berdasar kriteria di atas, maka jika A mempunyai utang kepada B sebesar utang B kepada A, baik penyebab utang itu sama seperti antara transaksi salam dan qardh (utang-piutang) atau pun berbeda, semisal transaksi qardh dengan kredit barang dan kedua utang tersebut sama jenis, sifat, dan jatuh temponya, maka dalam hal ini para ulama Mazhab Syafi'i memiliki empat pendapat.

Pendapat terkuat menurut Nawawi, dan inilah yang ditegaskan dalam al Umm, adalah muqashshah terjadi secara otomatis tanpa memerlukan adanya kerelaan. Alasannya, meminta uang kepada pihak lain, namun nominalnya sama dengan utang yang menjadi kewajibannya, adalah sesuatu yang sia-sia.

Muqashshah Dalam Zakat

Jika ada seseorang yang kaya mengutangi orang yang miskin, lalu mengatakan, “Utang tersebut aku tetapkan sebagai bagian dari pembayaran zakatku,” maka ini tidak sah hingga si miskin melunasi utang, kemudian orang kaya tersebut kembali menyerahkan uang tersebut kepada si miskin. Demikian pendapat terkuat dalam Mazhab Syafi’i.

Muqashshah Dalam Barang Titipan

Para ulama Mazhab Hanafi menegaskan bahwa jika A menitipkan barang kepada B, dan A punya utang kepada B berupa barang yang sejenis dengan barang titipan, maka tidaklah terjadi muqashshah kecuali jika keduanya berkumpul dan mengadakan muqashshah, dalam keadaan barang titipan dipegang secara riil. Demikian pula, pendapat Zarkasi dari Mazhab Syafi'i.

Muqashshah Dalam Harta Rampasan

Jika seseorang yang merampas benda milik seseorang mengutangi orang yang dirampas, dan utang tersebut berupa barang yang sejenis dengan barang yang dirampas, maka tidak secara otomatis terjadi muqashshah, kecuali setelah ada kesepakatan dan barang dipegang di tangan. Demikian penegasan para ulama Mazhab Hanafi.

Penulis: Ustadz Abu 'Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com


Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Rabu, 26 Mei 2010 07:49 | Dibaca : 542 kali



Bila Zakat Diinvestasikan


Karena menginginkan zakat benar-benar berfungsi secara efektif, maka ada sebagian kalangan yang mengusulkan agar harta zakat itu diinvestasikan. Artinya, harta zakat dari beberapa orang dikumpulkan, lalu dimanfaatkan untuk membuat suatu usaha industri. Keuntungan dari kegiatan industri ini dibagikan kepada sejumlah orang miskin setiap bulannya, secara rutin. Perlu diketahui, status kepemilikan usaha tersebut adalah milik bersama, namun pemilik tidak memiliki kewenangan untuk menjual bagiannya dari usaha tersebut.

Inilah yang disebut dengan menginvestasikan zakat. Yaitu, suatu usaha untuk mengembangkan harta zakat dalam jangka waktu tertentu, dengan berbagai metode investasi yang diperbolehkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang-orang yang berhak menerima zakat. Bagaimanakah hukum kreasi semacam ini?

Investasi harta zakat bisa dibagi menjadi tiga kategori, yaitu investasi yang dilakukan oleh mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat) setelah dia menerimanya, atau dilakukan oleh muzakki (orang yang berkewajiban membayar zakat), atau dilakukan oleh penguasa atau pengganti penguasa yang memiliki wewenang untuk mengawasi pengumpulan harta zakat.

1. Investasi zakat yang dilakukan oleh mustahiq

Para pakar fiqh menegaskan tentang bolehnya investasi harta zakat yang dilakukan oleh mustahiq setelah dia menerima harta tersebut. Harta zakat yang sudah sampai ke tangan mustahiq merupakan milik sempurna bagi mustahiq. Karenanya, dia memiliki kewenangan penuh untuk mengelola harta tersebut, sebagaimana mengelola harta asli miliknya. Mustahiq boleh saja memanfaatkan harta tersebut untuk membuat usaha investasi, membeli alat-alat kerja, dan lain-lain.

Imam Nawawi mengatakan, “Para sahabat kami (para ulama Mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa gharim (orang yang terlilit hutang) dibolehkan untuk memperdagangkan bagian zakat yang dia terima, jika bagian tersebut belum mencukupi untuk melunasi utangnya. Akhirnya, bagian zakat tersebut bisa cukup untuk melunasi hutang setelah dikembangkan.” (Al-Majmu’: 6/210)

2. Investasi zakat oleh muzakki

Masalah ini berhubungan erat dengan apakah zakat wajib segera dibayarkan ataukah tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa harta zakat wajib segera dikeluarkan, jika memang sudah sampai nishab dan atau genap satu tahun. Diharamkan menunda-nunda pembayaran zakat dari waktu wajibnya, kecuali memang ada alasan yang bisa diterima.

Inilah pendapat yang lebih kuat karena beberapa alasan.

Allah berfirman,

وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).” (Qs. al-An’am: 141)

Yang dimaksud dengan haknya dalam ayat ini adalah zakat, sedangkan perintah itu harus segera dilaksanakan.

عن ابن أبي مليكة أن عقبة بن الحارث رضي الله عنه حدثه قال : صلى بنا النبي صلى الله عليه و سلم العصر فأسرع ثم دخل البيت فلم يلبث أن خرج فقلت أو قيل له فقال ( كنت خلفت في البيت تبرا من الصدقة فكرهت أن أبيته فقسمته )

Dari Ibnu Abi Mulaikah dari Uqbah bin ‘Harits, “Nabi melaksanakan shalat ashar bersama kami, setelah selesai beliau segera masuk ke dalam rumah. Tak lama sesudah itu, beliau keluar rumah, lalu ada yang bertanya kepada beliau perihal penyebab beliau cepat-cepat pulang ke rumah. Beliau bersabda, ‘Kutinggalkan di rumah emas sedekah. Aku tidak suka emas tersebut bermalam di rumahku, karenanya segera kubagikan emas tersebut.’” (Hr. Bukhari)

As-Sarkhasi mengatakan, “Barangsiapa yang menunda pembayaran zakat tanpa alasan yang bisa diterima, maka persaksiannya tidak bisa diterima.... Dalam zakat terdapat hak fakir. Menunda pembayaran zakat berarti menyengsarakan mereka.” (Al-Mabsuth: 3/233)

3. Investasi zakat oleh penguasa atau badan amil

Pada asalnya, harta zakat yang sampai ke tangan penguasa atau badan amil yang menggantikan tugas penguasa adalah segera dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, para pakar fikih kontemporer bersilang pendapat tentang masalah ini.

Ada yang berpandangan bahwa boleh menginvestasikan harta zakat, baik jumlah harta zakat melimpah ataupun bukan. Diantara yang berpendapat semacam ini adalah Syekh Musthafa Zarqa.

Di antara alasan yang membolehkan adalah sebagai berikut:

Alasan pertama. Memang, pihak-pihak yang berhak menerima zakat sudah ditentukan dalam Qs. at-Taubah: 60, namun cara pembagian zakat kepada delapan golongan tersebut tidak diatur secara baku. Menunda pembayaran zakat yang dilakukan oleh badan amil zakat hanyalah memenej distribusi zakat, sehingga sah-sah saja secara syar’i.

Di samping itu, hal ini dikokohkan dengan beberapa hadits yang menunjukkan anjuran untuk bekerja, melakukan usaha yang produktif, dan menginvestasikan harta serta tenaga yang dia miliki. Semisal hadits dari Anas bin Malik.

Inti hadits tersebut adalah ada seorang miskin yang barang agak berharga miliknya dilelangkan oelh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barang-barang tersebut akhirnya laku seharga dua dirham. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan agar satu dirham untuk membeli makanan dan satu dirham yang lain untuk membeli kapak. Dengan kapak tersebut, orang tersebut bisa bekerja mencari kayu bakar lalu menjualnya.

Setelah lima belas hari, orang tersebut bisa mengumpulkan uang sebanyak sepuluh dirham. Sebagiannya untuk membeli baju, dan yang lain untuk membeli bahan makanan.

Jika penguasa diperbolehkan untuk menginvestasikan harta seorang fakir yang kebutuhan pokoknya belum terpenuhi, maka tentu penguasa boleh menginvestasikan harta zakat yang menjadi hak fakir miskin sebelum digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, namun hadits tersebut dinilai lemah oleh al-Albani dalam Dhaif Sunan Abu Daud no. 360 dan komentar beliau untuk Misykatul Mashabih no. 1851. Sehingga, hadits tersebut tidak layak digunakan sebagai dalil.

Alasan kedua. Qiyas dengan investasi zakat yang dilakukan oleh penerima zakat dan dikuatkan dengan hadits-hadist yang mendorong untuk mewakafkan harta dan memiliki sedekah jariyah. Jika pengelola tanah wakaf diperbolehkan untuk memberdayakan harta zakat demi kemaslahatan sasaran wakaf, maka seorang penguasa diperbolehkan untuk memberdayakan harta zakat.

Alasan ketiga. Qiyas dengan pengelola harta anak yatim yang diperbolehkan untuk menginvestasikan harta anak yatim. Jika ini saja diperbolehkan, padahal benar-benar hal milik si yatim, maka diperbolehkan untuk menginvestasikan harta zakat sebelum diserahkan kepada yang berhak menerima, demi kepentingan orang-orang yang berhak menerima zakat. Harta zakat tidaklah lebih mulia jika dibandingkan dengan harta anak yatim.

Alasan keempat. Berdalil dengan logika, meski pada asalnya hal ini tidak diperbolehkan, tetapi terdapat kebutuhan mendesak di zaman ini, dan dalam investasi zakat berarti mengamankan sumber-sumber finansial yang permanen untuk memenuhi kebutuhan mustahiq zakat yang semakin meningkat setiap harinya.

Di sisi lain terdapat ulama yang melarang invesatasi zakat, semisal Dr. Wahbah Zuhaili. Alasan yang digunakan untuk mendukung pendapat ini adalah sebagai berikut:

Alasan pertama. Investasi zakat dalam bidang industri, pertanian, dan perdagangan menyebabkan zakat tidak segera diterima oleh para mustahiq karena harus menunggu keuntungan yang didapatkan. Singkat kata, hal ini menyebabkan penyelisihan terhadap pendapat mayoritas ulama, yang berpendapat bahwa zakat itu harus segera dibayarkan.

Alasan kedua. Investasi zakat bisa menyebabkan harta zakat amblas, karena yang namanya investasi itu boleh jadi untung dan boleh jadi rugi.

Alasan ketiga. Investasi zakat menyebabkan zakat tidak lagi dimiliki oleh individu. Sehingga, hal ini menyelisihi pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan pemilikan individu dalam pembayaran zakat, karena dalam Qs. at-Taubah: 60, Allah menyebutkan orang-orang yang berhak menerima zakat dengan menggunakan huruf “lam” yang menunjukkan adanya hak kepemilikan bagi yang menerima zakat.

Alasan keempat. Investasi zakat menyebabkan banyak harta zakat yang habis untuk keperluan administrasi penunjang jalannya investasi.

Ringkasnya, jika kita bandingkan dua pendapat di atas, tampak bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat ulama yang melarang untuk menginvestasikan harta zakat. Sehingga, zakat bisa diserahkan kepada fakir miskin dalam wujud uang tunai, dengan saran agar dijadikan sebagai modal usaha, bukan hanya untuk keperluan komsumtif atau dalam bentuk alat yang membantu profesi penerima zakat.

Jika dalam bentuk tunai kita hanya bisa memberi saran, karena begitu harta zakat di terima orang miskin tersebut, maka harta tersebut telah menjadi miliknya dan dia mempunyai wewenang penuh dalam mengatur dan membelanjakan hartanya sendiri.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com


Asuransi Adalah Judi, Benarkah?


Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Sabtu, 22 Mei 2010 11:43 | Dibaca : 1049 kali
Sejarah Asuransi
Dalam bahasa Arab, asuransi disebut dengan istilah “ta’min”. Ta’min merupakan salah satu transaksi baru bagi kaum muslimin. Transaksi semacam ini tidaklah dikenal oleh kaum muslimin, kecuali pada abad ke-13 hijriyah, ketika hubungan perdagangan antara timur dan barat menguat paska Revolusi Industri di Eropa.

Transaksi ini dikenal kaum muslimin melalui perwakilan dagang asing yang berada di berbagai negeri kaum muslimin. Mereka lantas memasukkan transaksi ini, dimulai dengan
”ta’min bahri” (asuransi lautan), untuk kepentingan ekspor-impor. Kemungkinan besar, pakar fikih pertama yang menyinggung transaksi ini adalah Muhammad bin Abidin, penulis kitab Raddul Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Abshar yang merupakan salah satu kitab fikih Mazhab Hanafi.

Pengertian Asuransi

Menurut tinjauan bahasa, ta’min berasal dari kata “al-amn” yang bermakna ketenangan hati dan hilangnya rasa takut.

Adapun secara istilah, transaksi ta’min adalah sebuah transaksi yang berisikan kesediaan lembaga asuransi untuk menyerahkan kepada nasabah atau orang yang ditunjuk oleh nasabah sejumlah uang atau kompensasi materi yang lain pada saat terjadi musibah atau bahaya yang disebutkan dalam kesepakatan. Kompensasi ini merupakan timbal balik dari premi yang disetorkan oleh nasabah kepada lembaga asuransi.

Berdasar definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa transaksi ta’min memiliki empat rukun.

Yang pertama, dua pihak yang mengadakan transaksi, yaitu lembaga asuransi dan nasabah.

Kedua, bahaya atau musibah, yaitu peristiwa yang dimungkinkan terjadi pada masa yang akan datang.

Ketiga, premi, yaitu sejumlah uang yang diserahkan oleh nasabah secara berkala sesuai dengan kesepakatan awal.

Keempat, kompensasi materi yang jumlahnya boleh jadi telah dipastikan di awal atau tergantung besarnya nilai kerugian yang terjadi. Lihat al-Iqtishad al-Islami karya Hasan Siri, hlm. 252--253.

Hukum Asuransi

Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syeikh, Mufti Saudi sebelum Syekh Ibnu Baz, mengatakan, “Transaksi ta’min itu menyelisihi syariat Islam karena mengandung berbagai hal yaitu:
1. Gharar (spekulasi), jahalah (ketidakjelasan), dan khathar (untung-untungan), sehingga transaksi ini termasuk memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan.
2. Mirip dengan judi karena dalam transaksi ini terdapat unsur taruhan (untung-untungan).

Ringkasnya, setiap orang yang merenungkan transaksi ini dengan seksama akan berkesimpulan bahwa tidak ada transaksi yang dibenarkan oleh syariat yang selaras dengan transaksi ta’min. Oleh karena itu, kerelaan kedua belah pihak dalam hal ini tidaklah teranggap. Kerelaan kedua belah pihak itu teranggap jika transaksi yang dilakukan oleh keduanya tegak di atas landasan keadilan yang sesuai dengan syariat.”

Haiah Kibar Ulama’ (semacam MUI di Saudi Arabia) juga telah mengeluarkan keputusan no. 55, tahun 1397 H, terkait “ta’min tijari” (asuransi yang berorientasi bisnis). Inti dari keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Transaksi ta’min tijari itu termasuk transaksi tukar-menukar finansial yang mengandung gharar (spekulasi) yang sangat berlebihan. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual-beli yang mengandung unsur gharar.
2. Transaksi ta’min merupakan salah satu taruhan karena dalam transaksi ini terdapat unsur untung-untungan terkait dengan finansial, kerugian dalam adanya kesalahan, dan mendapatkan keuntungan tanpa kompensasi atau ada kompensasi namun sangat tidak layak.
3. Asuransi termasuk permainan yang mengandung taruhan. Padahal hal semacam ini tidak dibolehkan, melainkan yang mengandung pembelaan terhadap Islam, dan ini sudah Nabi batasi dalam tiga hal, yaitu taruhan dalam perlombaan panah, pacuan unta, atau pacuan kuda. Adapun asuransi tidak termasuk tiga hal tersebut.

Adapun Majma` al-Fikih Islami yang berada di bawah naungan OKI mengatakan, “Sesungguhnya transaksi ta’min tijari dengan premi yang konstan, sebuah transaksi yang dipergunakan oleh berbagai lembaga asuransi yang berorientasi kepada bisnis, adalah sebuah transaksi yang mengandung unsur gharar yang besar yang membatalkan transaksi. Oleh karena itu, hukumnya adalah haram, menurut syariat.”

Sikap yang senada juga diberikan oleh al-Majma` al-Fikih al-Islami yang berada di bawah Rabithah Alam Islami. Al-Majma` mengatakan, “Setelah kajian yang cukup mendalam dan bertukar pikiran tentang asuransi, maka secara mayoritas (selain Syekh Mushthafa Zarqa) majelis menetapkan haramnya asuransi dengan berbagai bentuknya, baik asuransi jiwa, barang dagangan, ataupun jenis harta yang selainnya. Namun, secara aklamasi majelis al-Majma` menyepakati keputusan Haiah Kibar Ulama’ (Saudi Arabia) tentang bolehnya asuransi kerja sama (ta’min ta’awuni) sebagai alternatif pengganti ta’min tijari yang haram sebagaimana di atas.”

Dalam keputusan penjelas, terdapat enam alasan yang dipergunakan al-Majma` untuk mendukung keputusan di atas, di antaranya adalah:

Alasan pertama. Transaksi ta’min tijari merupakan salah satu transaksi tukar-menukar finansial yang mengandung unsur “gambling” (judi -ed) dan gharar (spekulasi) yang keterlaluan. Saat transaksi, nasabah tidaklah mengetahui nilai total dari jumlah premi yang harus dia berikan dan nilai jumlah kompensasi finansial yang akan dia dapatkan.

Boleh jadi, dia baru menyerahkan premi sebanyak satu atau dua kali lalu terjadi musibah, sehingga dia berhak mendapatkan kompensasi finansial yang telah disanggupi oleh lembaga asuransi. Kemungkinan yang lain, musibah tak kunjung terjadi sehingga nasabah menyerahkan semua premi namun tidak dapat timbal balik apa pun.

Demikian pula, pihak lembaga asuransi tidak bisa menetapkan jumlah uang yang didapat dan yang harus diserahkan untuk masing-masing transaksi, sedangkan dalam hadits yang shahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi).

Alasan kedua. Transaksi ta’min tijari itu mengandung riba fadhl (riba karena ada ketidaksamaan antara dua barang yang dipertukarkan) dan riba nasi`ah (riba karena pertukaran tidak dilakukan secara langsung).

Jika pihak lembaga asuransi menyerahkan kompensasi finansial kepada nasabah, ahli waris, atau orang yang ditunjuk, lebih besar dari uang yang diterima maka ini adalah riba fadhl. Di samping itu, lembaga asuransi menyerahkan kompensasi tersebut tidak secara tunai, sehingga ini adalah riba nasi`ah.

Namun, bila pihak lembaga asuransi hanya menyerahkan kompensasi sesuai dengan total premi yang diterima, maka dalam transaksi ini hanya terdapat riba nasi`ah saja. Kedua jenis riba ini haram dengan dasar dalil disamping ijma’.

Memanfaatkan Uang Asuransi

Untuk menjawab masalah ini, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i, seorang ulama dari negeri Yaman, pernah ditanya, “Apa hukum asuransi jiwa atau barang?”

Jawaban beliau, “Asuransi yang tersebar di permukaan bumi ini, termasuk di antaranya di tengah-tengah kaum muslimin, meski dengan sangat disayangkan, secara global termasuk asuransi yang haram karena di dalamnya terdapat unsur membahayakan pihak lain dan mengambil harta milik orang lain dengan cara paksa. Padahal, harta milik orang lain tidak boleh diambil kecuali dengan cara yang benar, sebagaimana firman Allah,

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Qs. al-Baqarah: 188)

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah harta seorang muslim itu halal diambil, kecuali dengan kerelaan hatinya.” (Hr. Ahmad , no. 19774; shahih karena memiliki banyak riwayat penguat; lihat: Shahih Jami’, no. 7662)

Adapun asuransi kerja sama (ta’awuni), maka dibolehkan. Caranya, sekelompok penduduk atau sekelompok orang yang memiliki pekerjaan tertentu saling membantu. Mereka menyerahkan setoran harian, bulanan, atau tahunan dalam nominal tertentu pada kas. Uang tersebut diserahkan dengan maksud untuk saling bantu dan untuk sedekah.

Ketika ada yang membutuhkan, maka uang yan terkumpul tersebut disedekahkan kepadanya. Transaksi semacam ini dibolehkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah Lajnah Daimah para ulama Saudi Arabia.

Adapun asuransi jenis pertama, maka tidak diperbolehkan. Bukan berarti orang yang terkena musibah tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, orang tersebut boleh mengambilnya, namun hanya sekedar sejumlah premi yang pernah dia setorkan kemudian mengembalikan sisanya.

Kecuali jika berasal dari negara, sebelumnya negara telah memotong gajimu sebagai premi asuransi maka tidak mengapa mengambil lebih dari lebih dari jumlah premi yang pernah disetorkan, sebab di dalamnya terdapat gaji yang telah dipotong sebelumnya.” (Bingkisan Ilmu dari Yaman, hlm. 240)

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: pengusahamuslim.com

Serba-Serbi Denda

Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Sabtu, 08 Mei 2010 08:35 | Dibaca : 720 kali

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.

Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.

Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.

Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.

b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)

Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”

Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.

Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:
Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23--28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.

Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.

Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.

Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.

Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).

Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.

Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.

Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.

Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.

Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.

Yang kedua adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.

Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.

Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.

Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa`: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253--255)

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah utang-piutang, semisal jual-beli kredit dan transaksi salam.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com

Adab Berhutang

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh superadmin on Senin, 03 Mei 2010 09:06 | Dibaca : 1397 kali

ADAB BERHUTANG

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc

“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”

Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [Al-Baqarah : 208]

Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.

Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.

HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]

Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih)” [1]

Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan” [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka tulislah …” maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi" [3]

“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]

BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”

Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?

Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]

Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.

Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.

ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]

2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya” [8]

3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

"Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?

4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.

5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً

" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". [An-Nisa : 58]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]

Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.

a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. :

أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

"Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]

Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20

b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم

“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :

لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه

"Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]

c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]

d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.

Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]

Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]

Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.

6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.

Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.

8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

"Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]

9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ

“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]

10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]

BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.

Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.

1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.

2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.

Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :

كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ

"Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)". [20]

3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.

Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.

Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.

Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]

Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.

Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
Sumber: www.almanhaj.or.id
________
Footnotes.
[1]. Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263


Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Selasa, 13 April 2010 08:07 | Dibaca : 1170 kali



Pandangan Syariah Tentang Membalik Utang


Membalik Utang (bagian pertama dari dua tulisan)

Qalbu dain (membalik utang) adalah suatu hal yang haram, dengan kesepakatan ulama. Yang dimaksud dengan qalbu dain adalah menambahkan nilai utang yang menjadi tanggung jawab orang yang berutang, dengan cara apa pun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika jatuh tempo utang sudah tiba sedangkan orang yang berutang sedang dalam kondisi kesulitan membayar utangnya, maka tidak diperbolehkan membalik utang, baik dengan transaksi tertentu atau pun tanpa transaksi, dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin. Bahkan, wajib memberi penangguhan kepadanya. Jika orang yang berutang dalam kondisi mampu melunasi utangnya, maka dia berkewajiban untuk segera melunasi utangnya. Jadi, tidak ada alasan untuk membalik utang, baik orang yang berutang itu mampu melunasi utangnya atau pun sedang dalam kondisi kesulitan.” (Majmu` Fatawa: 29/419)

Terdapat dalam Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayah al-Muntaha: 3/62, sebuah buku fikih Hambali, “Dan pembalikan utang diharamkan sampai batas waktu tertentu terhadap orang yang kesulitan membayar utang, dan ulama sepakat dalam hal ini. Syaikh Taqiyuddin (yaitu Ibnu Taimiyah) mengatakan, ‘Orang yang mengutangi diharamkan untuk menolak memberikan tempo, jika orang yang berutang memang dalam kondisi sulit. Jika yang mengutangi memberikan ancaman, ‘Ada dua pilihan, melakukan pembalikan utang atau kulaporkan ke pengadilan,’ lalu orang yang berutang merasa takut jika dipenjara karena dia tidak memiliki bukti bahwa dirinya sedang mengalami kesulitan finansial untuk membayar utang (padahal sebenarnya dia memang dalam kondisi sulit). Akhirnya, dia memilih untuk melakukan pembalikan utang dengan alasan ini. Meski demikian, transaksi ini tetap haram dan tidak wajib dipenuhi, dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin.

Dalam hal ini, orang yang berutang berstatus sebagai orang yang dipaksa tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Barangsiapa yang mengatakan bahwa bolehnya membalik utang dengan trik adalah pendapat salah seorang imam, maka dia telah keliru dalam pernyataannya tersebut,’”

Syekh as-Sa’di mengatakan, “Bentuk riba yang paling parah adalah qalbu dain, baik dengan cara terang-terangan atau pun dengan trik, karena Allah mengetahui kalau itu hanya sekadar trik. Jika jatuh tempo utang sudah tiba, maka orang yang berutang berkewajiban untuk membayar utang, jika dia mampu. Jika dia tidak mampu, maka orang yang mengutangi berkewajiban memberi penangguhan waktu pembayaran.” (Al-Fatawa as-Sa’diyyah, hlm. 353)

Qalbu dain adalah istilah yang ada dalam Mazhab Hambali, sedangkan dalam Mazhab Maliki diistilahkan dengan “faskh dain bi dain” (pembatalan utang dengan utang).

Al-Qairawani al-Maliki mengatakan, “Tidak boleh membatalkan utang dengan utang. Misalnya, ada orang yang mempunyai utang, lalu utangnya ini diganti dengan utang yang lain yang bertempo.” (Al-Fawakih ad-Dawani: 2/101)

Bahkan, di halaman yang sama, beliau mengatakan, “Faskh dain itu lebih haram lagi, karena hal itu termasuk riba jahiliah.” Lebih jauh lagi, para ulama bermazhab Maliki menilainya sebagai bentuk yang paling parah untuk jual-beli utang dengan utang, yang hukumnya haram, dan ulama sepakat tentang hal ini.” (Lihat: Al-Fawakih ad-Dawani: 2/101)

Ada dua metode yang digunakan untuk melakukan qalbu dain

Yang pertama, dengan terang-terangan. Orang yang mengutangi berkata kepada orang yang berutang, “Ada dua pilihan, kau lunasi hari ini atau ada tambahan pembayaran.” Orang yang berutang lalu mengatakan, “Berilah aku tempo dan aku rela memberi tambahan.” Inilah riba jahiliah.

Metode kedua adalah dengan beberapa trik licik. Di sinilah para pemakan riba berkreasi. Mereka menggunakan transaksi yang sekilas tampak halal, dalam rangka melakukan qalbu dain.
Ada beberapa trik yang biasa digunakan:

Trik pertama. B memiliki utang kepada A sampai jangka waktu tertentu. Ketika telah jatuh tempo, B tidak memiliki uang untuk membayar utangnya. A lalu mengatakan, “Kuberi utang padamu untuk melunasi utangmu yang pertama.” Lalu, B menerima uang dari A untuk melunasi utangnya yang pertama kepada A. Namun, konsekuensinya ada tambahan (riba) untuk pelunasan utang kedua. Perbuatan ini termasuk riba, bahkan termasuk dalam firman Allah di surat Ali Imran: 130. Perbuatan ini termasuk perbuatan jahiliah.

Dalam riba jahiliah, saat utang telah jatuh tempo, orang yang mengutangi berkata, “Ada dua pilihan, kau lunasi sekarang juga atau ada tambahan pembayaran.” Bedanya, dalam riba jahiliah, mereka memberikan tambahan kepada utang dengan terus terang tanpa trik, sedangkan dalam perbuatan di atas terdapat penambahan riba pada utang dengan menggunakan trik. (Risalah Mudayanah, karya Ibnu Utsaimin, hlm. 14--15)

Trik kedua. B mempunyai utang kepada A. Ketika jatuh tempo tiba, A berkata kepada B, “Engkau punya dua pilihan, lunasi utangmu saat ini juga atau kau pergi ke tempat C. C akan mengutangimu. Uang yang kau terima dari C bisa kau gunakan untuk melunasi utangmu kepadaku.” Sementara itu, sudah ada kesepakatan terlebih dahulu antara A dan C, bahwa masing-masing dari keduanya akan memberi utang baru kepada orang yang terlibat utang dengan salah satu dari keduanya. Dengan utang baru tersebut, orang yang berutang bisa melunasi utang lamanya. Pada akhirnya, orang yang berutang kembali memiliki utang yang wajib dia lunasi kepada pemberi utang yang baru.

Boleh jadi pula, A berkata kepada B, “Temuilah C, mintalah pinjaman uang (utang) kepadanya.” Padahal, sudah ada kesepakatan, atau semi kesepakatan, antara A dan C, agar C memberi utang kepada B. Jika B telah melunasi utangnya kepada A, maka dilakukanlah qalbu dain, sehingga B memiliki kewajiban untuk melunasi utangnya kepada C. Inilah trik dalam qalbu dain dengan menggunakan tiga pihak (Al-Fatawa as-Sa’diyyah, hlm. 350 dan Risalah Mudayanah, hlm. 15--16). Berdasarkan definisi qalbu dain di atas, maka dalam trik ini pada utang yang kedua tentu terdapat penambahan.

Trik ketiga. Ada orang yang mempunyai utang 100 ribu ketika jatuh tempo tiba, sedangkan orang yang berutang belum memiliki uang untuk melunasi utangnya. Pemberi utang ingin memberi utang sebesar 100 ribu, agar orang yang berutang bisa melunasi utangnya yang pertama. Akan tetapi, bunga (riba) seratus ribu yang kedua lebih tinggi daripada bunga seratus ribu yang pertama. Misalnya, riba untuk seratus ribu yang pertama adalah 2 persen, maka riba untuk seratus ribu yang kedua adalah 4 persen, karena menimbang nilai seratus ribu yang kedua. Orang yang berutang menerima hal ini karena terpaksa. (Al-Fatawa as-Sa’diyyah, hlm. 352)

Trik keempat. B memiliki utang kepada A. Ketika jatuh tempo tiba dan A datang menagih utang, ternyata B tidak mampu melunasi utangnya sama sekali. Akan tetapi, B memiliki barang yang sebenarnya tidak senilai dengan utangnya. A lalu mengambil barang tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk pelunasan utang B. Setelah itu, barang tersebut kembali dijual oleh A kepada B, dengan harga yang lebih besar daripada nilai utang B. Hal ini adalah sesuatu yang tidak boleh, karena barang yang diterima A lalu dijual kembali kepada B dinilai tidak ada fungsinya. Hakikat transaksi ini adalah pembatalan utang pertama dengan adanya utang kedua, dan utang kedua ini nilainya lebih besar. Sehingga, ini adalah riba jahiliah. (Al-Fawakih ad-Dani: 2/102)

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com

Jual Beli Ginjal

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Rabu, 07 April 2010 08:31 | Dibaca : 1071 kali

Pengantar

Di “Kolom Pembaca” beberapa surat kabar, terkadang kita temui ada orang yang menawarkan dan menjual ginjalnya dengan alasan kesempitan hidup. Bolehkah hal ini?

Jual-beli ginjal termasuk dalam pembahasan hukum jual-beli anggota badan, dan hal ini adalah turunan dari permasalahan “apakah badan seseorang itu milik orang tersebut ataukah bukan?”

Ada beberapa poin penting yang terkait dengan hal ini:

1. Apakah badan seseorang itu hak milik orang tersebut ataukah sekadar amanah dan wasiat yang wajib dijaga? Apakah badan manusia itu hak Allah, hak manusia, ataukah hak bersama (dengan pengertian: hak Allah sekaligus hak manusia)?

2. Jika kita katakan bahwa badan manusia adalah hak bersama, maka manakah yang lebih dominan, hak Allah ataukah hak manusia?

3. Jika suatu hal berstatus sebagai hak bersama, maka manusia boleh menggugurkan haknya, dengan catatan, tidak menggugurkan hak Allah. Memenuhi hak Allah adalah tujuan penciptaan manusia. Jika demikian, maka manusia tidak memiliki kewenangan untuk memperlakukan badannya yang berakibat mengganggu tujuan penciptaannya.

Hukum Menjual Anggota Badan

Pendapat pertama: memperbolehkan jual-beli anggota badan

Ada sebagian ulama yang memperbolehkan menjual anggota badan, dengan mengajukan beberapa alasan.

Alasan pertama, analog dengan hukum seorang wanita yang menjual air susunya.

Syafi’iyah dan Hanabilah menegaskan tentang bolehnya seorang wanita memerah susunya ke dalam suatu gelas lalu menjualnya. Alasan ulama dari kedua mazhab tersebut adalah karena susu itu tidak najis, bisa dimanfaatkan dan bisa dikonsumsi manusia, sehingga boleh dijual. Di sisi lain, Hanafiyah dan Malikiyah melarang tindakan ini. Alasan mereka, susu adalah bagian dari manusia yang wajib dihormati, tidak boleh diberikan kepada orang lain dengan cara jual-beli, karena ini dinilai menghinakan bagian badan manusia. Alasan yang lain, menurut mereka, susu tidak termasuk harta. Oleh karena itu, susu tidak bisa dijual.

Jika dilakukan telaah lebih lanjut, analog yang digunakan dalam hal ini kurang tepat, karena menganalogkan dua hal yang berbeda. Susu adalah produk yang dihasilkan badan, dan jika sudah diperas maka akan keluar susu berikutnya. Bahkan, jika susu terkumpul di payudara akan, maka timbul dampak negatif. Hal ini, tentunya jauh berbeda dengan anggota badan, yang merupakan unsur pembentuk badan.

Alasan kedua, analog dengan diyat anggota badan.

Maksudnya, jika ada orang yang memotong anggota badan kita, maka kita bisa meminta ganti rugi finansial kepada pelaku.

Argumen ini juga tidak tepat, karena akal dan badan yang sempurna adalah hak Allah, bukan hak manusia. Buktinya, manusia tidak memiliki hak pilih antara memiliki badan yang sempurna ataukah cacat. Oleh karena itu, manusia tidak boleh menghilangkan kesempurnaan badan tersebut, sedangkan menerima diyat karena anggota badan kita dirusak oleh orang lain adalah hak manusia secara murni.

Cacat tersebut terjadi tanpa usahanya dan bukan disebabkan oleh perbuatan kita. Hal tersebut telah terjadi dan tidak mungkin dihilangkan. Dengan demikian, kita mempunyai hak pilih, antara meminta diyat ataukah tidak. Dalam konteks ini, diyat berstatus seperti piutang yang kita miliki.

Alasan ketiga, analog dengan bolehnya menjual budak.

Maksud analog ketiga ini adalah, jika menjual seluruh badan budak diperbolehkan, maka hukum menjual sebagian badan orang pun boleh.

Alasan ini juga tidak pada tempatnya. Adanya perbudakan adalah kondisi situasional yang dituntut oleh maslahat. Maslahat dalam hal ini ditentukan oleh penguasa.

Di samping itu, Islam mendorong umatnya untuk memerdekakan budak dengan menjadikan pemerdekaan budak sebagai kafarat untuk berbagai kesalahan, semisal melanggar sumpah. Bolehnya menjual budak bukan berarti menunjukkan bahwa budak tidak boleh menikmati hak hidup atau boleh dizalimi. Buktinya, kafarat menampar budak adalah dengan memerdekakannya.

Pendapat kedua: tidak memperbolehkan jual-beli anggota badan

Pendapat kedua dalam masalah ini adalah tidak boleh menjual anggota badan. Inilah yang difatwakan oleh Majma’ Fikih Islami, dan inilah pendapat yang benar, dengan beberapa alasan berikut ini:

Alasan pertama, anggota badan manusia bukanlah milik manusia dan manusia tidak mendapatkan izin dari syariat untuk menjualnya. Dengan demikian, menjual anggota badan termasuk menjual sesuatu yang bukan miliknya.

Alasan kedua, menjual anggota badan berarti menghinakannya. Padahal, Allah telah memuliakan manusia. Dari sisi ini, orang yang menjual anggota badannya telah menyelisihi tujuan mulia dari syariat. Oleh karena itu, banyak pakar fikih melarang jual-beli badan manusia, dengan alasan Allah telah memuliakan manusia.

Dalam ad-Durr al-Mukhtar: 2/64, ketika Syekh Ala’uddin menjelaskan bentuk-bentuk jual-beli yang terlarang, beliau mengatakan bahwa rambut manusia tidak boleh dijual karena mulianya manusia, meski itu adalah rambut orang kafir.

Dalam Hasyiah Ibnu Abidin: 5/215 dijelaskan, “Jika ada orang yang berkata kepada orang yang kelaparan, ‘Potonglah tanganku, lalu makanlah!’ maka itu tetap tidak boleh karena daging manusia tidaklah menjadi halal meski dalam kondisi darurat, karena manusia adalah makhluk yang dimuliakan.”

Dalam Fatawa Khaniyyah: 3/404 disebutkan, “Jika ada orang kelaparan dan dikhawatirkan mati karena kelaparan, lalu temannya berkata kepadanya, ‘Potonglah tanganku, lalu makanlah!’ maka itu tidak diperbolehkan.”

Dalam Fatawa Hindiyyah: 5/354 termaktub, “Tidak diperbolehkan memanfaatkan anggota badan manusia. Ada yang beralasan karena potongan badan manusia itu najis. Pendapat kedua mengatakan karena mulianya manusia. Pendapat kedualah yang lebih tepat.”

Adapun dalam Fatawa Bazaziyyah: 6/365 disebutkan, “Dimakruhkan untuk mengobati luka dengan tulang manusia karena tulang manusia itu tidak boleh dimanfaatkan.”

Pada halaman 366 dari kitab yang sama dijelaskan, “Jika ada orang yang khawatir mati karena kelaparan, lalu temannya berkata kepadanya, ‘Potonglah tanganku, lalu makanlah!’ maka itu tetap tidak boleh karena daging manusia tidaklah menjadi halal dalam kondisi terpaksa sekali pun, mengingat mulianya manusia.”

Al Qarafi al-Maliki dalam al-Furuq mengatakan, “Membunuh dan melukai adalah haram, dalam rangka menjaga nyawa, anggota badan, dan fungsi anggota badan. Seandainya ada orang yang menggugurkan haknya tersebut (membolehkan untuk dibunuh dan dilukai -pent), maka kerelaannya tidaklah dianggap ada, sehingga kerelaannya tetap tidaklah menyebabkan bolehnya membunuh atau melukai orang tersebut.”

Asy Syathibi al-Maliki dalam al-Muwafaqat: 2/376 berkata, “Hidup, berakal sempurna, dan berbadan sempurna adalah hak Allah, bukan hak manusia. Oleh karena itu, jika Allah telah menyempurnakan kehidupan, akal, dan badan seorang manusia, yang dengan itu semua manusia bisa melaksanakan syariat yang dibebankan kepadanya, maka orang tersebut tidak boleh menggugurkannya.”

Dalam Raudhah ath-Thalibin (sebuah kitab fikih Syafi’i): 3/285 disebutkan, “Memotong anggota badan orang lain untuk kepentingan sendiri hukumnya tidak boleh. Seseorang juga tidak boleh memotong anggota badannya sendiri, lalu diberikan kepada orang yang kelaparan.”

Dalam Mughni al-Muhtaj (sebuah kitab fikih Syafi’i): 4/400, juga disebutkan, “Secara tegas, diharamkan atas seseorang untuk memotong sebagian anggota badannya untuk orang lain yang sedang kelaparan.”

Dalam Kasyf al-Qana’: 6/198 termaktub, “Jika ada orang yang kelaparan namun tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikan makanan kecuali manusia yang tidak halal untuk dibunuh, maka dia tidak boleh membunuh atau pun memotong badan orang tersebut.”

Dalam Majalah Majma’ Fikih Islami, edisi 4, juz 1, hlm. 1, Dr Muhammad al-Barr mengatakan, “Para pakar fikih sepakat bahwa menjual anggota badan orang yang merdeka itu tidak diperbolehkan.”


Menjual Anggota Badan Orang yang Tidak Memiliki Hak Hidup

Bolehkah menjual anggota badan orang yang tidak memiliki hak hidup, semisal orang yang dijatuhi hukuman mati, murtad, dan pezina muhshan?

Ada dua pendapat dalam hal ini. Ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang (semisal Majma’ Fikih Islami).

Alasan yang memperbolehkan:

1. Terdapat kaidah “mengambil yang paling ringan bahayanya”. Oleh karena itu, kehidupan orang yang berhak untuk hidup bisa dilindungi dengan menghilangkan kehidupan orang yang tidak berhak untuk hidup.

2. Syafi’iyah dan Hanabilah memperbolehkan orang yang kelaparan untuk memakan daging orang kafir harbi, jika dengan itu bisa menyelamatkan kehidupan orang yang kelaparan tadi.

3. Menjaga kehidupan seorang muslim adalah termasuk lima hal darurat yang harus dijaga. Dengan demikian, melindungi anggota badan orang yang tidak memiliki hak untuk hidup adalah hal sekunder yang bisa dikalahkan dengan hal primer.

Berdasarkan pendapat yang memperbolehkan, lalu siapakah yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dalam hal ini? Apakah orang yang mempunyai anggota badan, ahli warisnya, ataukah penguasa?

Pemilik anggota badan jelas tidak memiliki wewenang untuk mengatur hidup dan anggota badannya, sedangkan ahli waris tidak memiliki kewenangan dalam masalah ini, baik ketika orang tersebut masih hidup ataukah sesudah matinya. Ahli waris hanya punya hak dalam masalah harta peninggalannya.

Adapun penguasa, maka ada yang berpendapat bahwa penguasa punya hak dalam hal ini, karena penguasa diberi kewenangan untuk melaksanakan hukum, sesuai dengan ketentuan hukum syariat. Selain itu, penguasa memiliki kekuasaan luas terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin. Akan tetapi, pendapat ini terbantahkan dengan kenyataan bahwa penguasa tidak memiliki wewenang untuk menjual barang yang bukan miliknya.

Alasan yang melarang:

1. Hal ini bukanlah hak manusia, karena itu termasuk dalam kategori menjual yang bukan miliknya. Badan manusia adalah milik Allah. Hal ini juga bukan hak ahli waris dan bukan hak penguasa, karena syariat tidak memperbolehkan penguasa untuk menjual yang bukan miliknya.

2. Tindakan ini menyelisihi tujuan Allah memuliakan manusia.

Simpulan

Simpulan dalam masalah ini adalah sebagaimana keputusan Majma’ Fikih Islami, “Patut diperhatikan bahwa kesepakatan Majma’ untuk memperbolehkan transplantasi anggota badan manusia dalam kondisi-kondisi yang telah dijelaskan itu adalah dengan syarat. Syaratnya adalah hal itu tidak melalui transaksi jual-beli. Penjualan anggota badan manusia tidak boleh dilakukan sama sekali.”

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com

Hak Karya Tulis

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Senin, 05 April 2010 08:22 | Dibaca : 729 kali

Hak Karya Tulis
(Pendapat Ulama Kontemporer Tentangnya)

Dr. Ahmad al-Haji al-Kurdi tidak mengakui adanya hak karya tulis. Oleh karena itu, beliau berpendapat bahwa kompensasi finansial dari hak ini adalah tidak halal. Dasar untuk pendapat ini adalah sebagai berikut:

Alasan pertama, pengakuan terhadap hak ini akan menyebabkan buku ilmiah yang ditulis tidak bisa dicetak dan diterbitkan, kecuali dengan adanya kompensasi finansial yang didapatkan oleh penulis. Padahal, menyembunyikan ilmu adalah suatu hal yang terlarang, sebagaimana dalam hadits,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian menyembunyikannya, maka dia akan diberi tali kekang dari api pada hari kiamat nanti.” (Hr. Tirmidzi, no. 2649; dinilai shahih oleh al-Albani)

Dalam al-Maqashid al-Hasanah, as-Sakhawi mengatakan,

ويشمل الوعيد حبس الكتب عمن يطلبها للانتفاع بها لا سيما مع عدم التعدد لنسخها الذي هو أعظم أسباب المنع وكون المالك لا يهتدي للمراجعة منها والابتلاء بهذا كثير

“Ancaman dalam hadits ini juga mencakup orang yang tidak mau menyerahkan buku kepada orang yang memintanya untuk diambil manfaatnya, terlebih lagi jika jumlah buku terbatas dan inilah sebab yang paling penting yang mendasari seseorang untuk tidak menyerahkan bukunya, padahal pemilik buku juga tidak membaca buku tersebut. Banyak orang yang melakukan hal ini.” (Maqashid Hasanah, hlm. 223, Maktabah Syamilah)

Akan tetapi, pendapat ini tidak bisa diterima, berdasarkan realita bahwa adanya hak cipta dalam hal ini, tidak menyebabkan terhalanginya berbagai buku untuk dicetak dan diterbitkan.

Alasan kedua, ilmu adalah sebuah ibadah dan ketaatan, dan seseorang tidak boleh mendapatkan kompensasi finansial karena melakukan sebuah ibadah, sebagaimana sikap para salaf. Namun, para ulama muta`akhkhirin memfatwakan bolehnya mengambil upah karena melakukan ketaatan, semacam menjadi imam masjid, muazin, dan pengajar al-Quran.

Alasan ketiga, dianalogkan dengan hak syuf’ah yang tidak boleh diperjualbelikan karena murni adalah hak. Akan tetapi, ini adalah analogi terhadap dua hal yang berbeda, karena hak syuf’ah adalah hak yang ditetapkan oleh syariat Islam dalam rangka mencegah bahaya dari orang yang memegang hak ini. Oleh karena itu, hak syuf’ah tidak boleh diperjualbelikan.

Adapun hak cipta dalam dunia tulis menulis, bukanlah dalam rangka mencegah bahaya dari penulis, tetapi merupakan timbal balik dari jerih payah pemikiran dan badan.

Dalam permasalahan hukum hak karya tulis, terdapat pendapat kedua, yang mengakui adanya hak cipta dalam tulis-menulis. Inilah pendapat yang dianut banyak ulama kontemporer, semisal Syekh Mushthafa az-Zarqa. Alasan mereka berpendapat demikian, adalah sebagai berikut:

Alasan pertama, manfaat atau jasa tergolong sebagai harta, menurut mayoritas ulama fikih (baik dari Mazhab Maliki, Syafi’i, ataupun Hanabilah). Alasannya, hukum asal mahar dalam pernikahan itu harus berupa harta. Meski demikian, mahar berupa jasa juga diperbolehkan, semisal dalam pernikahan Nabi Musa. Jika jasa saja dinilai sebagai harta, padahal jasa itu bersifat abstrak, maka hasil jerih payah pemikiran itu juga semisal dengan jasa.

Alasan kedua, kebiasaan manusia (urf) telah mengakui adanya hak seorang penulis dalam tulisan dan kreatifitasnya, lalu urf juga mengakui adanya kompensasi dalam hal ini. Urf ini sama sekali tidak bertentangan dengan dalil syariat, sedangkan urf memiliki peran besar untuk menentukan sesuatu itu berstatus harta ataukah bukan.

As-Suyuthi mengatakan, “Status harta tidaklah diberikan kecuali untuk sesuatu yang memiliki nilai yang bisa diperjualbelikan, dan orang yang merusaknya memiliki kewajiban untuk menggantinya meski nilainya kecil, selama manusia tidak membuangnya.”

Alasan ketiga, tidak boleh menisbatkan pendapat kepada pihak yang bukan mengatakannya, meski agar mendapatkan kebaikannya dan menanggung dosanya. Abu Hamid al-Ghazali menceritakan, bahwa Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang salah satu kertas catatannya terjatuh di jalan. Dalam kertas tersebut terdapat beberapa hadits atau catatan ilmiah, misalnya. Apakah orang yang menemukan kertas tersebut diperbolehkan untuk mencatat isi kertas tersebut, baru kemudian mengembalikannya kepada pemiliknya? Jawaban Imam Ahmad, “Tidak boleh, dia harus minta izin terlebih dahulu.”

Alasan keempat, seorang penulis akan dimintai pertanggungjawaban terhadap semua tulisannya. Oleh karena itu, penulis memiliki hak terhadap kompensasi dari kebaikan yang disampaikan. Hal ini sebagai bentuk praktik dari kaidah “al-ghurmu bil ghurmi” (keuntungan adalah kompensasi dari menanggung kerugian).

Alasan kelima, kreasi pikiran merupakan landasan bagi berbagai sarana untuk mendapatkan materi, semisal jual beli mobil, pesawat terbang, dan lain-lain, dapat dilakukan setelah ada orang yang menemukannya. Oleh karena itu, sepatutnya kreasi pemikiran tersebut memiliki nilai finansial.

Alasan keenam, menggunakan kaidah maslahat-mursalat. Dengan mengakui adanya hak cipta, dalam hal ini, akan memberikan manfaat bagi masyarakat, penulis, dan penerbit. Tidak mengakui adanya hal ini bisa menyebabkan orang berhenti menulis karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan, terperasnya pikiran, dan tidak ada faktor pendorong, yaitu hak cipta dari hasil karyanya.

Hak Cipta Penemuan

Mungkin bisa kita gunakan kaidah maslahat-mursalat di atas untuk mengakui adanya hak cipta dalam penemuan. Sisi maslahatnya adalah untuk memotivasi agar orang berkreasi dan berinovasi untuk menemukan hal-hal yang baru.

Lajnah Daimah (Komite Fatwa Para Ulama Saudi Arabia), dalam fatwa no. 18845, memberikan fatwa sebagai berikut, “Tidaklah terlarang mengopi kaset-kaset yang bermanfaat lalu menjualnya. Demikian pula, tidaklah terlarang mengopi buku dan menjualnya. Mengingat hal tersebut membantu untuk tersebarnya ilmu. Ketentuan di atas berlaku selama pemegang hak tidak melarangnya. Jika mereka melarangnya, maka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemilik hak. ”(Fatawa Lajnah Daimah: 13/187; Fatwa ini ditandatangani oleh Ibnu Baz, Abdul Aziz Alu Syekh, Abdullah Ghadayan, Shalih al-Fauzan, dan Bakr Abu Zaid.)

Demikian pula, Lajnah Daimah memfatwakan tidak bolehnya mengopi program komputer jika pemilik hak melarang untuk mengopinya melainkan dengan seizin mereka.

Pertanyaan,

“Aku bekerja di bidang komputer. Sejak aku bekerja di bidang ini, aku mengopi berbagai program komputer untuk keperluan pekerjaan. Aku melakukan itu, tanpa membeli CD program yang asli. Perlu diketahui, bahwa di program ini dijumpai kalimat peringatan tentang larangan mengopi, sebagaimana ada kalimat ‘hak cetak dilindungi’ pada sebagian buku. Boleh jadi, pemilik program adalah seorang muslim atau pun seorang kafir. Pertanyaannya, apakah diperbolehkan mengopi program dengan cara semacam ini?”

Jawaban Lajnah Daimah,

“Tidak diperbolehkan mengopi program-program yang pemiliknya melarang untuk mengopi kecuali dengan seizin mereka. Hal ini karena menimbang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya),

“Kaum muslimin itu mempunyai kewajiban untuk memenuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud, no. 3594; dinilai shahih oleh al-Albani)

Demikian pula, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya),

“Tidaklah halal harta seorang muslim, melainkan dengan kerelaan hatinya.” (Hr. Ahmad, no. 20714. Menurut Syekh Syu’aib al-Arnauth, “Shahih li ghairihi.”)

Demikian pula, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya),

“Barangsiapa yang terlebih dahulu mendapatkan hal yang mubah, maka dialah yang lebih berhak atasnya.” (Hr. Abu Daud, no. 4694)

Ketentuan ini bersifat umum, baik pemilik program tersebut adalah seorang muslim atau kafir, asalkan bukan kafir harbi, karena hak orang kafir yang bukan harbi itu wajib dihormati sebagaimana seorang muslim.” (Fatawa Lajnah Daimah: 13/188, no. fatwa: 18453; Fatwa ini ditandatangani oleh Ibnu Baz, Abdul Aziz alu Syekh, Shalih al-Fauzan, dan Bakr Abu Zaid.)

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com


Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Teropong Suap

Ditulis oleh Sholih on Minggu, 04 April 2010 08:55 | Dibaca : 624 kali

Pengertian

Dalam bahasa Arab, suap diistilahkan dengan “risywah”. Dalam bahasa Arab, risywah bermakna upah atau pemberian yang diberikan untuk suatu maslahat. Al-Fayumi mengatakan bahwa risywah adalah pemberian seseorang kepada hakim atau yang lainnya supaya (hakim tersebut) memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi melakukan keinginan orang yang memberi.

Ibnul Atsir berkata bahwa makna risywah adalah alat penghubung terwujudnya kebutuhan dengan sikap yang dibuat-buat. Asal-muasal kata “risywah” adalah “rasya’” yang bermakna tali timba yang berfungsi mengantarkan timba sehingga bisa sampai ke air.

Adapun secara istilah, risywah adalah pemberian yang diberikan kepada seseorang supaya yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Jadi, makna risywah secara istilah lebih sempit dibandingkan makna risywah secara bahasa. Secara istilah, suatu pemberian berstatus risywah ketika tujuannya adalah membuat yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar.

Suap Dalam Hukum

Dalam aturan hukum Islam, suap dan menyuap pejabat untuk mendapatkan suatu pekerjaan hukumnya haram, tanpa ada perselisihan ulama dalam hal ini. Bahkan, perbuatan ini termasuk dosa besar.

Allah berfirman,

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang suht.” (Qs. al-Maidah: 42)

Menurut penjelasan Hasan al-Basri dan Said bin Jubair, yang dimaksud dengan “suht” dalam ayat ini adalah suap (risywah).

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, serta (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 188)

Dari Abdullah bin Amr,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat penyuap dan orang yang menerima suap.” (Hr. Abu Daud, no 3580, dan lain-lain; Dinilai shahih oleh al-Albani)

Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat ar-ra`isy, yaitu penghubung antara penyuap dan pihak yang disuap (hadits riwayat Hakim, no 7068). Meski hadits ini lemah, namun maknanya benar. Orang yang menjadi penghubung antara penyuap dan yang disuap berarti membantu orang untuk berbuat dosa, dan ini adalah suatu perbuatan yang terlarang.

Jadi, meminta suap, memberi suap, menerima suap, dan menjadi penghubung antara pihak penyuap dan yang disuap, adalah perbuatan terlarang.

Akan tetapi, menurut mayoritas ulama, menyerahkan suap demi mendapatkan sesuatu yang menjadi hak seseorang atau untuk mencegah bahaya dan kezaliman, adalah sesuatu yang diperbolehkan. Dalam kondisi ini, yang berdosa adalah pihak yang menerima suap, bukan yang menyuap.

Abu Laits as-Samarqandi al-Hanafi mengatakan, “Tidaklah mengapa jika ada seseorang yang membela diri dan hartanya dengan suap.”

Ada ulama yang menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa syariat memperbolehkan untuk memanfaatkan bahaya demi mencegah bahaya yang lebih besar. Contohnya adalah membebaskan tawanan. Sebenarnya, menyerahkan harta kepada orang kafir itu haram, dan hal ini termasuk kategori membuang-buang harta. Namun, dalam hal ini, menyerahkan harta kepada orang kafir diperbolehkah karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar. Sehingga, tentu lebih layak untuk diperbolehkan jika melakukan hal yang terlarang namun tidak mengandung bahaya untuk mencegah perkara yang lebih terlarang.

Akan tetapi, jika hak yang hendak dipertahankan itu nilainya remeh, maka usaha untuk mempertahankannya tanpa dalil syar’i adalah suatu yang diharamkan. Hal ini dikarenakan bahayanya lebih besar daripada manfaat yang diharapkan.

Jumhur ulama berdalil dengan riwayat dari Ibnu Mas’ud. Ketika di Ethiopia, Ibnu Mas’ud menyuap senilai dua dinar agar bisa melanjutkan perjalanan.

Beliau mengatakan,

إنّ الإثم على القابض دون الدّافع

“Sesungguhnya, dosanya ditanggung oleh pihak yang menerima suap, bukan yang menyerahkan suap.”

Atha’ dan Hasan al-Basri berkata, “Seseorang diperbolehkan bersikap pura-pura (pura-pura memberi hadiah/suap -pent) untuk membela diri dan hartanya jika dia khawatir dizalimi.”

Macam-Macam Suap

Para ulama Mazhab Hanafi membagi suap menjadi empat kategori:

Pertama, suap supaya diangkat sebagai hakim dan pejabat (demikian pula, supaya bisa menjadi PNS -pent). Suap ini hukumnya haram bagi pihak yang menerima dan yang menyerahkan.

Kedua, permintaan suap dari seorang hakim sebelum dia mengambil sebuah keputusan. Suap ini juga haram bagi pihak yang menyerahkan dan yang menerima, meski hukum yang dijatuhkan adalah hukum yang benar dan adil, karena menjatuhkan hukuman yang adil adalah kewajiban seorang hakim.

Ketiga, menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang dalam rangka mencegah bahaya (kezaliman) orang tersebut atau untuk mendatangkan manfaat (yaitu, menerima sesuatu yang menjadi haknya -pent). Suap ini hukumnya haram untuk pihak yang menerima saja.

Keempat, memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang bisa membantu untuk mendapatkan hak. Menyerahkan dan menerima harta semisal ini hukumnya boleh karena uang yang diserahkan sebagai kompensasi bantuan itu tidak ubahnya sebagaimana upah.

Suap untuk Hakim

Suap untuk seorang hakim adalah haram, dengan kesepakatan seluruh ulama.

Al-Jashshash mengatakan, “Tidak ada perselisihan tentang haramnya suap untuk hakim karena itu termasuk suht yang Allah haramkan dalam al-Quran, dan seluruh umat Islam pun sepakat akan keharamannya. Hal ini diharamkan untuk orang yang menyuap dan yang menerima suap.”

Dalam kitab Kasysyaf al-Qana’ disebutkan, “Seorang hakim diharamkan menerima hadiah. Seorang hakim yang meminjam barang orang lain, status hukumnya sebagaimana hadiah, karena jasa yang bisa didapatkan dari benda tersebut statusnya sama dengan benda itu sendiri.

Demikian pula, seandainya seorang hakim mengkhitankan anaknya atau yang lainnya, lalu hakim ini diberi hadiah, meski dengan kedok hadiah untuk anak pak hakim. Hal ini diharamkan karena menjadi sarana menuju suap. Jika ada yang memberi sedekah (karena pak hakim tersebut miskin -pent), maka pendapat yang lebih tepat, status hukum sedekah itu sebagaimana hadiah, meski dalam kitab al-Funun termaktub bahwa hakim boleh menerima sedekah.” (Diolah dari Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah pada entri “risywah”)

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com



Transaksi Oper Kontrak

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Jumat, 02 April 2010 09:02 | Dibaca : 750 kali

Dalam keseharian, kita sering menjumpai transaksi berbentuk oper kontak, baik rumah maupun ruko dagang. Apa hukum transaksi ini dalam pandangan para ulama yang berkompenten?

Masalah ini dibahas oleh para ulama dalam materi pembahasan “badal khuluw”, yang dalam tinjauan bahasa Arab bermakna "kompensasi dari pengosongan tempat".

Adapun secara istilah, didefinisikan dengan “sejumlah harta yang diserahkan oleh seseorang sebagai kompensasi untuk orang yang memanfaatkan aktiva tetap, semisal tanah, rumah, dan ruko dagang yang merelakan hak pemanfaatan aktiva tetap tersebut”.

Badal khuluw ini bisa dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:

Kategori pertama: pemilik mengambil badal khuluw dari penyewa pada saat transaksi.

Dalam kasus ini terdapat dua pendapat ulama. Ada yang berpendapat bahwa uang yang diambil pemilik dalam hal ini adalah diperbolehkan, karena harta tersebut adalah hartanya. Dengan demikian, dia bisa menyewakannya sesuka hatinya. Jadi, pada hakikatnya, sesuatu yang diambil oleh pemilik adalah uang sewa yang dibagi menjadi dua bagian, ada yang dibayar di muka dan ada yang dibayarkan kemudian hari, sedangkan semacam ini diperbolehkan dengan sepakat ulama, baik diberi nama upah sewa atau pun badal khuluw.

Ada juga yang melarang, dengan argumen bahwa ini adalah uang yang tidak beralasan dan tidak bisa dibenarkan, sehingga dinilai termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Pendapat kedua itu kurang tepat karena pemilik mempunyai hak untuk meminta tambahan upah dan inilah hakikat badal khuluw dalam kasus ini. Jadi, yang benar adalah pendapat yang memperbolehkan.

Kategori kedua: badal khuluw yang diambil oleh penyewa dari pemilik.

Kasus ini perlu dirinci menjadi dua. Yang pertama, badal khuluw ini terjadi sesudah masa sewa berakhir. Jika demikian, maka penyewa tidak memilik hak untuk menerima badal khuluw, karena pemilik boleh saja menyewakan kembali kepadanya atau pun kepada orang lain.

Akan tetapi, jika penyewa membuat bangunan baru atau tambahan bangunan pada tempat yang dia sewa dengan seizin pemilik, maka jika bangunan tersebut bisa dipindah, wajib dipindah. Akan tetapi, jika tidak memungkinkan untuk dipindah, maka penyewa bisa meminta ganti kepada pemilik. Terlebih lagi, jika bangunan tersebut akan berkurang nilainya jika dipaksakan untuk dipindahkan.

Yang kedua, badal khuluw sebelum masa sewa berakhir. Terdapat dua pendapat ulama dalam kasus ini disebabkan adanya perbedaan pandangan tentang status hukum untuk membatalan transaksi sewa yang dilakukan oleh pihak pemilik.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa itu uang haram, karena pembatalan transaksi (iqalah) adalah fasakh (sekadar pembatalan, bukan transaksi baru). Adapun pembatalan transaksi dalam sewa, jual-beli, dan lain-lain hanya boleh dengan menyerahkan kembali uang yang telah disepakati, baik pembatalan terjadi setelah serah-terima barang atau pun sebelum serah-terima. Penambahan biaya dalam pembatalan transaksi bahkan dinilai sebagai persyaratan yang batil. Jadi, dalam pembatalan transaksi yang dilakukan oleh penyewa tidak terdapat penambahan atau pun pengurangan dari biaya yang telah disepakati di awal transaksi.

Di satu sisi, ulama-ulama Mazhab Maliki dan Abu Yusuf (murid senior Abu Hanifah) memperbolehkan. Hal ini karena, dalam pandangan para ulama tersebut, pembatalan transaksi (iqalah) adalah transaksi baru. Jadi, pemilik boleh menyerahkan uang tambahan, lebih dari uang sewa yang sudah diterima, sebagai kompensasi dari pembatalan transaksi yang dia lakukan.

Pendapat yang terkuat adalah pendapat mayoritas ulama. Perselisihan pendapat di atas berlaku jika terdapat perjanjian antara penyewa dengan pemilik pada awal transaksi. Akan tetapi, jika pemilik dengan suka rela memberikan uang tambahan kepada penyewa, maka diperbolehkan.

Kategori ketiga: badal khuluw yang diterima penyewa dari penyewa baru.

Inilah yang disebut dalam bahasa keseharian sebagai “oper kontrak”. Badal khuluw dalam kondisi ini dirinci menjadi dua.

Yang pertama, sesudah masa sewa berakhir. Dalam kondisi ini, badal khuluw tidak diperbolehkan karena ini berarti menyewakan milik orang lain tanpa persetujuan pemilik.

Yang kedua, sebelum masa sewa berakhir. Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama. Ulama yang memperbolehkan (semisal Ibnu ‘Abidin dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, Syekh ‘Ilyasy, Zarqani, dan Hamusi dari kalangan ulama-ulama Mazhab Maliki, serta sebagian ulama Mazhab Hambali) membawakan beberapa alasan:
1. Hal ini sudah membudaya di tengah masyarakat, sedangkan budaya dan kebiasaan yang tidak bertabrakan dengan syariat itu diperbolehkan.
2. Dalam kondisi ini, badal khuluw adalah hak milik manfaat, bukan hak milik pemanfaatan. Orang yang memiliki hak milik pemanfaatan hanya boleh memanfaatkan untuk kepentingannya sendiri, tidak boleh menyewakan, menghadiahkan, dan meminjamkan. Adapun pemilik manfaat boleh menyewakan, menghadiahkan, dan meminjamkan, selain bahwa dia boleh memanfaatkan untuk kepentingan pribadinya. Jadi, barang sewaan tersebut bisa dimanfaatkan oleh penyewa atau pun orang lain. Sebagaimana penyewa punya hak untuk melepas hak sewanya dengan mendapatkan kompensasi dari pihak lain, atau pun tidak mendapat kompensasi apa pun.
3. Alasan lainnya adalah memperbolehkan menerima badal khuluw merupakan kebutuhan yang cukup mendesak, sehingga dengan memperbolehkannya menyebabkan hilangnya kesempitan.

Adapun ulama yang mengharamkan badal khuluw dalam kasus ini, memberikan beberapa alasan:
1. Penyewa tidak memiliki hak untuk menyewakan kecuali dengan seizin pemilik barang, karena hal tersebut menyebabkan pemilik terhalangi untuk mengatur hartanya sendiri.

Alasan ini jelas tidak tepat, karena penyewa hanya menyewakan barang tersebut sehingga mendapatkan badal khuluw hanya sampai masa sewa berakhir.
2. Mereka juga beralasan bahwa penyewa tidak diperbolehkan menyewakan dengan biaya sewa yang lebih mahal daripada biaya sewa yang telah dia bayarkan.

Beralasan dengan pernyataan di atas jelas bermasalah, karena masalah yang dijadikan dasar berargumen tersebut diperselisihkan ulama. Bahkan, pendapat yang benar adalah boleh menyewakan dengan harga sewa yang lebih mahal. Inilah pendapat mayoritas ulama dan merupakan pendapat Imam Syafi’i, serta inilah pendapat yang dinilai sebagai pendapat yang benar di kalangan ulama Mazhab Hambali. Alasan mayoritas ulama adalah bahwa sewa itu hak milik manfaat, sedangkan hukum untuk manfaat itu sama persis dengan hukum benda.

Adapun ulama-ulama Mazhab Hanafi melarang penyewa menyewakan barang dengan harga sewa yang lebih mahal, kecuali jika penyewa pertama telah mengadakan renovasi bangunan atau membuat bangunan tambahan.

Ringkasnya, pendapat yang tepat adalah: penyewa boleh menerima badal khuluw dari penyewa baru yang menggantikannya.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com

Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Rabu, 31 Maret 2010 09:41 | Dibaca : 1117 kali



Tren Bekam Sebagai Profesi


Pengertian Bekam

Dalam bahasa Arab, bekam diistilahkan dengan “hijamah”. Menurut tinjauan bahasa Arab, bekam berarti “mengisap” atau “menyedot”.

Adapun secara istilah, menurut sebagian ulama fikih, bekam adalah mengeluarkan darah dari tengkuk dengan cara dihisap setelah digores dengan alat bekam. Jadi, tidak hanya digores, namun harus ada pengisapan.

Menurut az-Zarqoni, bekam tidak hanya berlaku untuk tengkuk, tetapi juga untuk seluruh bagian badan. Pendapat beliau ini juga diamini oleh al Khathabi.

Berobat Dengan Bekam

Berobat dengan bekam, hukumnya mandub/dianjurkan. Terdapat beberapa hadits tentang hal ini.

إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya metode pengobatan yang terbaik adalah bekam,” atau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Bekam adalah termasuk metode pengobatan yang terbaik.” (Hr. Muslim, no. 4121, dari Anas bin Malik)

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الشِّفَاءُ فِي ثَلاَثَةٍ شَرْطَةِ مِحْجَمٍ ، أَوْ شَرْبَةِ عَسَلٍ ، أَوْ كَيَّةٍ بِنَارٍ ، وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنِ الْكَيِّ

Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kesembuhan itu ada dalam tiga hal: sayatan alat bekam, minum madu, dan sengatan kay (pengobatan dengan besi yang dipanaskan). Namun, aku melarang umatku untuk berobat dengan kay.” (Hr. Bukhari, no. 5357)

Bekam Sebagai Profesi

Mayoritas ulama, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu pendapat para ulama Hanabilah, berpendapat bolehnya menjadikan bekam sebagai profesi dan mendapatkan upah dari membekam.

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ :احْتَجَمَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ وَلَوْ عَلِمَ كَرَاهِيَةً لَمْ يُعْطِهِ

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa hal tersebut terlarang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberi upah kepadanya.” (Hr. Bukhari, no. 2159)

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ وَلَوْ عَلِمَهُ خَبِيثًا لَمْ يُعْطِهِ

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dibekam dan beliau memberi upah kepada tukang bekam. Seandainya beliau mengetahui bahwa upah bekam itu khabits/kotor, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikannya.” (Hr. Abu Daud, no. 3423; Dinilai shahih oleh al-Albani)

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ أَجْرِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ ، وَأَعْطَاهُ صَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ

Dari Anas, beliau ditanya tentang hukum mendapatkan upah dari membekam. Beliau menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam. Yang membekamnya adalah Abu Thaibah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua sha’ gandum kepadanya.” (Hr. Bukhari no. 5371, dan Muslim no. 62)

Seandainya mengupah tukang bekam itu haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengizinkan seorang pun untuk makan dari upah jasa membekam.

Selain itu, bekam adalah jasa yang bersifat mubah (diperbolehkan –ed), maka boleh meminta upah dengannya, sebagaimana jasa tukang bangunan dan penjahit. Juga, banyak orang yang membutuhkan bekam, dan tidak semua orang yang pandai membekam mau membekam dengan cuma-cuma. Oleh karena itu, boleh meminta upah dengannya sebagaimana upah menyusui anak orang lain.

Akan tetapi, banyak di antara ulama yang memperbolehkan bekam sebagai sebuah profesi, yang berpendapat bahwa bekam adalah sebuah pekerjaan yang hina karena harus akrab dengan najis --yaitu darah-- sebagaimana tukang sapu. Dengan pertimbangan ini, maka berprofesi sebagai tukang bekam dimakruhkan.

Al-Qurthubi mengatakan, “Yang benar adalah bahwa penghasilan tukang bekam itu termasuk pendapatan yang baik. Siapa saja yang mengambil harta yang baik maka kehormatannya tidaklah gugur dan martabatnya tidaklah turun.”

Setelah menyebutkan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam, Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa penghasilan tukang bekam itu adalah sesuatu yang baik, karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi upah sebagai kompensasi untuk sesuatu yang batil.”

Adapun sebagian Hanabilah (pengikut Mazhab Hambali) dan juga Qadhi Abu Ya’la menyatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan upah tukang bekam itu tidak diperbolehkan. Andai orang yang membekam mendapatkan sesuatu sesudah membekam tanpa ada perjanjian terlebih dahulu, maka boleh diambil, namun dimanfaatkan untuk makanan ternak atau biaya membekam, dan pemberian itu tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi tukang bekam tersebut.

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hasil penjualan kambing itu kotor. Hasil melacur itu juga kotor. Pendapatan tukang bekam itu kotor.” (Hr. Muslim, no. 4095, dari Rafi’ bin Khadij)

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa hasil yang didapat oleh tukang bekam itu kotor. Bahkan, upah tukang bekam itu, disejajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan upah seorang pelacur.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ مَهْرَ الْبَغِيِّ وَثَمَنَ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ وَكَسْبَ الْحَجَّامِ مِنَ السُّحْتِ

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, upah pelacur, hasil penjualan anjing dan kucing, serta pendapatan tukang bekam itu suht (haram).” (Hr. Ibnu Hibban, no. 4941; Syekh Syu’aib al-Arnauth mengatakan, “Sanadnya shahih sebagaimana kriteria Muslim.”)

Pendapat yang Kuat

Syekh Abdullah al-Bassam mengatakan, “Bentuk kompromi yang paling bagus untuk menggabungkan dalil-dalil dari dua pendapat ini adalah mengatakan bahwa istilah 'khabits' terkadang digunakan dengan pengertian haram, serta terkadang digunakan dalam pengertian sesuatu yang hina dan pendapatan yang jelek, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah: 267, juga sebutan “khabits” untuk bawang merah dan bawang putih.

Jadi, upah yang didapat oleh tukang bekam adalah khabits dengan pengertian yang kedua, karena bekam adalah profesi yang hina dan pekerjaan yang dina. Padahal, Allah memotivasi kita untuk melakukan hal-hal yang baik, termasuk juga pekerjaan yang baik dan mulia. Sehingga, upah bekam itu khabits (jelek) dilihat dari sudut pandang ini, meski upah itu tetap halal bagi tukang bekam tersebut.” (Taisir ‘Allam: 2/161, Maktabah as-Sawadi)

Tanggung Jawab Tukang Bekam

Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada pasien bekam, maka secara hukum agama, tukang bekam tidaklah bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi kepada pasien, asalkan dia membekam sebagaimana permintaan pasien dan pada diri tukang bekam tersebut terpenuhi dua syarat.

Pertama, telah bersikap profesional dalam melakukan bekam, sehingga bisa membekam dengan baik. Kedua, tidak kelewat batas dalam melakukan tindakan untuk kasus semisal yang ditanganinya.

Dasar hukum dalam masalah ini adalah hadits berikut,

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ تَطَبَّبَ وَلاَ يُعْلَمُ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan praktik pengobatan padahal dia tidaklah dikenal menguasai dunia pengobatan, maka dia bertanggung jawab memberi ganti rugi jika pasien dirugikan.” (Hr. Abu Daud, no. 4586; Dinilai hasan oleh al-Albani)

Secara tidak langsung, hadits di atas menunjukkan bahwa jika seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang pengobatan melakukan praktik pengobatan dan dia tidak melakukan malpraktik, lalu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (dalam praktik pengobatannya), maka itu di luar tanggung jawabnya.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com



Jual-Beli Dengan Uang Muka (Persekot)
Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Senin, 29 Maret 2010 08:19 | Dibaca : 1079 kali

Di antara transaksi yang berkembang di masyarakat kita adalah jual-beli dengan menggunakan uang muka atau persekot. Pada umumnya, jenis transaksi ini digunakan untuk jual-beli barang-barang yang memiliki nilai nominal yang cukup tinggi, misalnya: tanah. Terdapat nilai nominal atau persentasi tertentu dari keseluruhan jumlah harga yang harus diserahkan di awal transaksi sebagai tanda jadi.

Konsekuensinya, jika ternyata akad dibatalkan oleh pihak pembeli, maka uang muka tersebut menjadi milik penjual. Akan tetapi, bila transaksi berlanjut, maka uang muka tersebut menjadi bagian dari harga yang telah disepakati.

Apakah transaksi seperti ini tidak termasuk kezaliman? Inilah yang akan kita bahas pada kesempatan ini.

Dalam kitab-kitab para ulama, model transaksi tersebut biasa disebut dengan “ba’i ‘urbun”. Boleh juga disebut “urbun” (dengan hamzah), ‘urban ataupun urbun (dengan hamzah).

Hadits yang menjelaskan tentang jenis transaksi ini adalah riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ba’i ‘urban” (Hr. Malik; Imam Malik mengatakan, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits dari ‘Amr bin Syu’aib”. Lihat Bulughul Maram, hadits no. 680)

Singkat kata, hadits di atas adalah hadits yang lemah. Penjelasannya bisa disimak di Taudhih al-Ahkam karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam: 4/290.

Seandainya hadits di atas adalah hadits yang kuat, maka hadits di atas merupakan dalil yang gamblang menunjukkan haramnya transaksi ‘urbun, sehingga transaksi tersebut dinilai batal (tidak sah –ed). Akan tetapi, tidak kita dapatkan dalil yang tegas dalam masalah ini, sehingga para ulama bersilang pendapat tentang status hukum transaksi ini.

Hanya Imam Ahmad yang menegaskan keabsahan transaksi ‘urbun, sehingga penjual berhak memiliki uang muka yang telah diserahkan pembeli ketika pembeli mengurungkan niatnya.

Pendapat beliau ini diselisihi oleh tiga imam mazhab yang lain, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i. Pendapat ini juga diriwayatkan sebagai pendapat Abdullah bin Abbas (dari kalangan para sahabat) dan al-Hasan al-Basri (dari generasi tabi’in). Pendapat ini beralasan dengan hadits di atas, yang telah jelas kelemahannya, sehingga tidak layak dijadikan dalil.

Alasan lainnya adalah, persekot merupakan kesepakatan yang menguntungkan penjual tanpa timbal balik apa pun dari penjual, dan hal semacam ini tidak bisa dibenarkan . Oleh karena itu, Malikiyah (pengikut mazhab Imam Malik -ed), Syafi’iyyah, dan Hanafiyyah menilai tidak sahnya transaksi ini, dengan vonis batil dalam istilah Malikiyyah dan Syafi’iyyah, serta vonis fasid dalam istilah Hanafiyyah.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Dalam istilah jual-beli, ’urbun adalah (suatu transaksi) dimana pembeli menyerahkan uang dalam nominal tertentu kepada penjual dengan perjanjian, dan jika pembeli mengambil barang, maka sejumlah uang tersebut dinilai sebagai bagian dari seluruh harga total barang. Akan tetapi, jika pembeli tidak jadi mengambil barang, maka uang tersebut menjadi hak milik penjual. Imam Ahmad mengatakan tentang hal ini, ‘(Transaksi jenis ini) tidaklah mengapa dilakukan karena Khalifah Umar bin Khaththab melakukannya.’”

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau juga memperbolehkan jenis transaksi ini. Sa’id bin Musayyib dan Muhammad bin Sirin mengatakan, “Jika pembeli merasa tidak suka, maka dia boleh mengembalikan barang tersebut kepada penjual, sambil menyerahkan sejumlah uang kepadanya.”

Pendapat dua ulama besar dari generasi tabi’in tersebut dikomentari oleh Imam Ahmad dengan mengatakan, “’Urbun itu sejenis dengan transaksi di atas.” Artinya, Imam Ahmad memperbolehkan transaksi ‘urbun dengan dasar penganalogan (permisalan -ed) dengan transaksi yang diperbolehkan oleh Said bin Musayyib dan Muhammad bin Sirin di atas. (Lihat Taudhih al-Ahkam: 4/292)

Di antara ulama masa kini yang melarang transaksi ‘urbun adalah Syekh Abu Bakr Jabir al-Jazairi. Dalam kitabnya, Minhajul Muslim hlm. 303, beliau mengatakan, “Seorang muslim tidak diperbolehkan mengadakan transaksi ‘urbun atau mengambil uang muka yang telah diserahkan oleh pembeli, sama sekali, karena diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang transaksi ‘urbun (hadits riwayat Malik).

Ketika menjelaskan hadits tersebut, Imam Malik mengatakan, ‘Urbun adalah (transaksi dimana) seseorang yang hendak membeli suatu barang atau menyewa suatu kendaraan mengatakan kepada penjual atau penyewa, ‘Aku berikan kepadamu uang sejumlah satu dinar, dengan ketentuan: jika aku tidak jadi mengambil barang tersebut atau tidak jadi menyewa maka uang tersebut manjadi hakmu.’”

Di sisi lain, para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah (Komite Fatwa Para Ulama Saudi Arabia) dengan tegas memperbolehkan jenis transaksi ini. Dalam fatwa no. 19637, Lajnah Daimah mengatakan, “Transaksi ‘urbun itu diperbolehkan. Transaksi ‘urbun adalah (transaksi dimana) pembeli menyerahkan sejumlah uang --yang nominalnya kurang dari harga total barang-- kepada penjual atau wakil penjual, setelah kesepakatan jual-beli disetujui oleh kedua belah pihak. Uang ini diberikan dengan maksud memastikan bahwa barang tersebut tidak akan dijual kepada pihak lain, dengan perjanjian: jika pembeli jadi mengambil barang maka uang yang telah diserahkan merupakan bagian dari seluruh harga total. Akan tetapi, jika pembeli tidak jadi mengambil barang maka penjual berhak mengambil uang tersebut dan memilikinya.

Transaksi ‘urbun adalah transaksi yang sah, baik waktu pelunasan telah ditentukan ataupun tidak. Secara hukum agama, penjual memiliki hak untuk menuntut pembeli agar segera melunasi sisa harga yang belum dia lunasi jika transaksi jual-beli telah sempurna dan pembeli telah mengambil barang yang dia beli.

Dalil diperbolehkannya transaksi ini adalah perbuatan Umar bin al-Khaththab. Tentang transaksi ‘urbun, Imam Ahmad mengatakan, “Tidak mengapa.” Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan transaksi ini. Adapun Said bin Musayyib dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tidak mengapa, jika pembeli ternyata tidak suka dengan barang yang dibeli, lalu dia menyerahkan kembali barang tersebut kepada penjual sambil menyerahkan sesuatu kepadanya.”

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang transaksi ‘urbun, adalah hadits yang lemah. Hadits tersebut dinilai lemah oleh Imam Ahmad dan ulama lain, sehingga hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi).”

Fatwa ini ditandatangani oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Abdul Aziz Alu Syekh (yang sekarang menduduki jabatan Mufti Besar Saudi Arabia), Shalih al-Fauzan, dan Bakr Abu Zaid.

Dalam Fatwa Lajnah Daimah no. 17341 ditegaskan, “Menurut pendapat terkuat dari dua pendapat ulama dalam hal ini, dalam transaksi ‘urbun, (penjual) diperbolehkan untuk mengambil uang muka yang telah diserahkan pembeli dan tidak mengembalikannya kepada pembeli jika pembeli membatalkan transaksi. Hal ini dengan syarat, di awal transaksi, penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu.” (Lihat Fatawa Lajnah Daimah: 13/133--134)

Simpulan yang bagus tentang masalah ini diberikan oleh Dr. Abdurrazaq as-Sanhuri dalam kitabnya, Mashadir al-Haq. Beliau mengatakan, “Yang pertama, ulama yang berpendapat tentang batalnya transaksi ‘urbun mendasari pendapatnya dengan hadits Nabi yang melarang transaksi ‘urbun. Selain itu, ulama tersebut juga beralasan bahwa transksi ini merupakan persyaratan yang menguntungkan penjual tanpa ada kompensasi dari penjual, dan ini merupakan persyaratan yang tidak sah. Transaksi ini juga mirip dengan khiyar (hak membatalkan transaksi) yang tidak jelas batasan waktunya.

Dalam transaksi ‘urbun, pembeli menetapkan syarat bahwa dia berhak membatalkan transaksi tanpa ada penegasan tentang batas waktu berlakunya. Hal ini persis dengan perkataan pembeli, “Aku memiliki hak khiyar. Kapan saja aku mau aku bisa mengembalikan barang yang sudah kubeli sambil kuserahkan sejumlah uang.”

Yang kedua, Imam Ahmad memperbolehkan transaksi ‘urbun dan mendasari pendapatnya dengan riwayat dari Khalifah Umar, dan beliau juga melemahkan hadits yang melarang transaksi ‘urbun. Selain itu, beliau berdalil menggunakan analog dengan transaksi yang disepakati para ulama boleh dan sahnya. Yaitu, tidaklah mengapa jika pembeli ternyata merasa tidak suka dengan barang yang telah dibeli, lalu dia mengembalikan barang tersebut kepada penjual sambil menyerahkan sesuatu kepadanya. Imam Ahmad mengatakan, “Transaksi ‘urbun itu semisal dengan transaksi tersebut.”

Yang ketiga, kami berpandangan bahwa argumentasi lain dari ulama yang menyatakan tidak sahnya transaksi ‘urbun bisa dipatahkan, yaitu argumen bahwa ‘urbun adalah perjanjian yang menguntungkan penjual tanpa ada kompensasi balik dari penjual. Sebenarnya, dalam transaksi ‘urbun, kompensasi yang diberikan penjual adalah memberi waktu kepada pembeli sehingga pembeli menjatuhkan pilihan, tetap membeli barang ataukah tidak dan menghilangkan kesempatan calon pembeli yang lain untuk membeli barang tersebut sampai batas waktu tertentu. Jadi, transaksi ‘urbun itu berbeda dengan khiyar yang tidak jelas batas akhirnya.

Dalam transaksi ‘urbun, pembeli hanya mensyaratkan khiyar untuk membatalkan transaksi jual-beli. Jika dia tidak membatalkan, maka transaksi terus berlanjut dan hak khiyar hilang dengan sendirinya”. (Lihat Taudhih al-Ahkam: 4/291--292).

Singkat kata, transaksi ‘urbun itu diperbolehkan, menurut pendapat ulama yang terkuat. Wallahu a’lam.
Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com

Adakah Riba Pada Uang Kertas?

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Ibnu Munzir on Minggu, 21 Maret 2010 18:46 | Dibaca : 2454 kali

Kebanyakan ulama', di antaranya yang tergabung dalam ketiga mazhab; Maliki, Syafi'i dan Hambali, menegaskan bahwa alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah alat untuk jual beli, dan sebagai alat ukur nilai harta benda lainnya. Dengan demikian, kegunaan emas dan perak (dinar dan dirham) terletak pada fungsi ini, tidak hanya pada nilai intrinsik bendanya. (Baca Al Mughi oleh Ibnu Qudamah 6/56, As Syarhul Kabir oleh Abul Faraj Ibnu Qudamah 12/12, Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/471 dan Al Fatawa Al Kubra 5/391)
Di antara hal yang menguatkan penjelasan ini ialah fakta sejarah uang dinar dan dirham. Sejarah telah membuktikan bahwa nilai ekstrinsik dinar dan dirham bersifat fluktuatif layaknya nilai mata uang kertas zaman sekarang. Perubahan nilai uang dinar dan dirham dipengaruhi oleh berbagai faktor ekstenal, diantaranya:
1. Banyaknya pemalsuan uang dinar dan dirham. Al Mawardi pada kitabnya Al Ahkaam As Sulthaniyah mengisahkan bahwa bersama redupnya kejayaan bangsa Persia redup pula mata uang mereka, akibat dari banyaknya pemalsuan mata uang mereka, yang kala itu berupa dinar dan dirham.
Bahkan Ibnu Atsir dalam kitabnya Al Kamil mengisahkan bahwa pada tahun 462 H, pemalsuan mata uang merajalela, sehingga Khalifah yang berkuasa kala itu memerintahkan agar dicantumkan nama putra mahkota pada setiap mata uang dinar, dan selanjutnya dinar ini dikenal dengan dinar Al Amiri. Dan agar tindak pemalsuan uang tidak berkepanjangan, ia melarang masyarakat menggunakan mata uang selain mata uang dinar yang baru ini.
2. Banyaknya pemotongan uang dinar dan dirham yang kemudian diubah fungsinya menjadi perhiasan atau batangan atau lainnya.
Tindak kejahatan ini menjadikan mata uang menjadi langka sehingga nilainya melambung tinggi. Keadaan semacam ini tentu menyusahkan masyarakat, karenanya para ulama' melarang/mengharamkan perbuatan ini. Dan bahkan para khalifah sejak dahulu bersikap terhadap para pelaku kejahatan ini. Dikisahkan bahwa Marwan bin Al Hakam berhasil menangkap seseorang yang memotong-motong (merusak) mata uang dirham. Dan iapun menjatuhkan hukuman yang tidak tanggung-tanggung, yaitu berupa potong tangan.
Gubernur kota Madinah, yang bernama Aban bin Utsman, juga bersikap keras kepada para perusak (dinar dan dirham -ed). Ia menghukumi mereka dengan dicambuk sebanyak 30 kali, lalu mereka diarak keliling kota.
Seusai menyebutkan kisah kedua ini, Al Mawardi dalam kitab Al Ahkaam As Sulthaniyah menyatakan: "Apa yang dilakukan oleh Aban bin Utsman adalah tindakan yang tepat, ia tidak melampaui batas yang berlaku pada hukum ta'zir. Sedangkan menjatuhkan hukuman ta'zir atas tindak pemalsuan ini dibenarkan."
3. Hukum pasar, yang terwujud pada perbandingan antara penawaran dan permintaan (supply and demand).
Ahli sejarah, diantaranya Ibnul Atsir dalam kitabnya Al Kamil fi At Tarikh mengisahkan bahwa pada tahun 329 H, terjadi paceklik, sampai-sampai rumah atau tanah yang sebelumnya seharga 1 dinar, hanya laku dijual 1 dirham.
Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wa An Nihayah mengisahkan bahwa pada tahun 462 H di Mesir terjadi paceklik yang luar biasa. Begitu parahnya paceklik yang terjadi, sampai-sampai penduduk setempat memakan bangkai dan anjing. Kala itu, seekor anjing dijual seharga 5 dinar.
Anda bisa bayangkan, betapa jatuhnya nilai mata uang kala itu, sehingga anjingpun dibeli seharga 5 dinar.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk membedakan antara dinar dan dirham dari mata uang kertas yang berlaku sekarang ini.
Bila anda pikirkan matang-matang, sejatinya faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekacauan pada mata uang kertas zaman sekarang bukan karena letak nilai jualnya. Akan tetapi pada sikap dan ulah umat manusia sendiri. Ambisi umat manusia zaman sekarang telah melebihi segala batasan, sampai-sampai uang yang sejatinya menjadi alat ukur nilai kekayaan, turut mereka jadikan sebagai komoditi perniagaan. Akibatnya umat manusia kehilangan alat ukur yang baku. Yang tersisa hanyalah ambisi dan keserakahan untuk mengeruk keuntungan. Tidak heran bila mereka menempuh cara-cara yang tidak terpuji demi melampiaskan ambisi mereka. Tidak jarang mereka merekayasa suatu kondisi untuk menjatuhkan nilai mata uang suatu negeri, agar selanjutnya mereka bisa mengeruk keuntungan dari bencana yang menimpa negeri tersebut.
Andai, mata uang yang berlaku zaman sekarang tidak diperdagangkan, kecuali pada batas yang sempit, yaitu bila benar-benar ada keperluan dan dengan ketentuan yang telah digariskan dalam syari'at, yaitu:
• Pembayaran kontan.
• Dan dalam jumlah yang sama bila pertukaran antara mata uang yang sama jenis, atau dengan pembayaran kontan walaupun berbeda jumlah bila pertukaran antara mata uang yang berbeda jenis, niscaya tidak terjadi kekacauan seperti yang kita alami saat ini.
Dengan demikian anggapan bahwa bunga perbankan yang ada pada zaman sekarang halal, karena sebagai antisipasi terhadap terjadinya perubahan nilai mata uang, tidak benar adanya. Perubahan nilai mata uang, baik uang kertas atau uang emas, telah terjadi sejak zaman dahulu kala, akibat dari beberapa faktor yang disebutkan di atas dan juga lainnya.
Untuk membuktikan kepada para pembaca tentang fenomena mata uang dinar dan dirham pada zaman dahulu, marilah kita menyimak kisah sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma. Dikisahkan, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Aku biasa berdagang onta di daerah baqi'. Aku menjual dengan harga dinar, akan tetapi ketika pembayaran aku menerima pembayaran dengan uang dirham. Dan kadang kala sebaliknya, aku menjual dengan harga dirham, akan tetapi aku menerima pembayaran dengan uang dinar. Demikianlah, aku menjual dengan mata uang ini, akan tetapi ketika pembayaran aku menerimanya atau membayarnya dalam bentuk mata uang lainnya." Menanggapi pertanyaan sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak mengapa engkau melakukan hal itu dengan harga yang berlaku pada hari itu juga, asalkan ketika engkau berpisah (dari lawan transaksi) tidak tersisa sedikitpun pembayaran yang harus dibayarkan." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Menurut banyak ulama' jalur sanad hadits ini sejatinya hanya berhenti pada sahabat Ibnu Umar)

Kisah ini telah menjadi bukti nyata bahwa nilai mata uang dinar dan dirham bersifat fluktuatif, naik dan turun selaras dengan perubahan berbagai faktor terkait.
Dengan demikian, adanya perubahan nilai mata uang bukanlah alasan berlakunya hukum riba pada dinar dan dirham. Akan tetapi alasan berlakunya hukum riba pada keduanya, karena keduanya sebagai alat ukur nilai harta kekayaan. Diberlakukannya hukum riba pada keduanya, bertujuan untuk menjaga kestabilan hidup umat manusia, sehingga nilai harta kekayaan mereka stabil dan benar-benar riil dan selaras dengan hukum pasar yang berlaku pada setiap masa. Sebagaimana dengan hukum ini, masyarakat dapat terhindar dari kejahatan dan ambisi segelintir orang yang berjiwa keji, yang berusaha mempermainkan kehidupan mereka.
Ditambah lagi, anggapan bahwa nilai mata uang akan senantiasa turun sejatinya adalah salah satu belenggu para rentenir yang dililitkan pada leher masyarakat. Mereka menghembuskan bisikan "MADESU"; Masa Depan Suram, dengan demikian, masyarakat dengan mudah digiring masuk ke jaring-jaring riba.
Bila anda cermati dengan seksama, sebenarnya nilai mata uang tidak selalu bergerak menyusut turun, akan tetapi bergerak dinamis, naik dan turun.
Kesimpulan ini semakin kuat dengan fakta yang terjadi dalam dunia fiqih kontemporer. Dapat dikatakan bahwa seluruh ulama' kontemporer atau kalaupun tidak seluruh mereka, maka mayoritas dari mereka mengharamkan bunga bank.
Belum lagi bila ditinjau di sisi lain, yaitu dari jenis transaksi yang mengikat antara bank dengan nasabah. Nyata-nyata akad yang mengikat antara mereka sejatinya adalah akad hutang piutang.
Dalam syari'at Islam, akad hutang piutang digolongkan ke dalam akad sosial, yang biasanya bertujuan memberikan uluran tangan kepada orang yang sedang dalam kesulitan. Karenanya, tidak dibenarkan adanya bunga atau riba atau keuntungan padanya.

عن أبي بردة قال قدمت المدينة، فلقيت عبد الله بن سلام، فقال: انطلق معي المنزل فأسقيك في قدح شرب فيه رسول الله صلى الله عليه و سلم وتصلي في مسجد صلى فيه؟ فانطلقت معه، فسقاني سويقا، وأطعمني تمرا، وصليت في مسجده. فقال لي: إنك في أرض، الربا فيها فاش، وإن من أبواب الربا: أن أحدكم يقرض القرض إلى أجل، فإذا بلغ أتاه به، وبسلة فيها هدية، فاتق تلك السلة وما فيها. رواه البخاري والبيهقي
Dari Abu Burdah, ia mengisahkan: "Aku tiba di Madinah, lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam, maka beliau berkata (kepadaku): 'Mari singgah ke rumahku, dan akan aku hidangkan untukmu minuman di bejana yang pernah digunakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk minum, dan engkau dapat menunaikan sholat di tempat yang pernah beliau gunakan untuk shalat.' Maka akupun pergi bersamanya. Selanjutnya ia menghidangkan untukku minuman dari gandum (sawiq), dan kurma. Lalu aku menunaikan sholat di tempat ia sholat (musholla dalam rumah-pen). Selanjutnya beliau berpesan kepadaku: 'Sesungguhnya engkau tinggal di suatu negeri yang padanya praktek riba merajalela, dan sesungguhnya di antara pintu-pintu riba ialah: Seseorang dari kalian memberikan piutang hingga tempo tertentu, dan bila telah jatuh tempo, penghutang (debitur) datang dengan uang yang ia hutang sambil membawa serta keranjang yang berisikan hadiah. Hendaknya engkau menghindari keranjang beserta isinya itu.'" (HR Bukhari dan al-Baihaqi).

Dan para ulama' ahli fiqih telah menuangkan ketentuan ini dalam suatu kaidah yang sangat masyhur, yaitu:

كل قرض جر نفعا فهو ربا.

"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba." (Baca Al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu 'Uyun al-Basha'ir 5/187, As-Syarhul Mumthi' 9/108-109 dan lain-lain)
Adapun anda merasa berdosa atau tidak merasa bila memungut bunga perbankan, maka itu tidak dapat dijadikan dasar hukum. Hukum Syari'at halal dan haram hanya bisa ditentukan melalui study terhadap dalil-dalil dari Al Qur'an dan As sunnah, dan bukan melalui perasaan atau persepsi manusia. Betapa banyak orang yang berbuat dosa, akan tetapi ia tidak menyadarinya, bahkan sebaliknya ia merasa berbuat baik.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً {103} الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا {104} أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا {105} ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikian balasan mereka itu neraka jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan perolok-olokan. (Qs. Al Kahfi: 103-106)

Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa patuh dan taat yang senantiasa berkata:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan: 'Kami mendengar dan kami patuh'. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Qs. An Nur: 51)

Wallahu Ta'ala a'alam bisshawab.

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

Goresan Nasehat untuk Wanita Karir

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Jumat, 12 Maret 2010 07:24 | Dibaca : 1173 kali

Fenomena wanita berkarir sebenarmya bukanlah fenomena yang baru muncul kemarin sore, melainkan sejak zaman awal diciptakannya manusia. Hanya cara dan istilahnya yang berbeda pada masing masing zaman. Dan hal yang perlu diperhatikan oleh kita semua khususnya para Muslimah terkait fenomena tersebut adalah tentang bagaimana cara wanita berkarir dalam pandangan Islam. Apa–apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam Islam terkait wanita berkarir.
Gejolak tentang karir wanita dan wanita karir dewasa ini semakin hangat, juga di negara Indonesia yang kita cintai ini. Banyak kalangan yang serius mencurahkan perhatiannya akan masalah ini, termasuk juga komunitas yang menamakan diri mereka kaum Feminis dan pemerhati wanita.
Mereka sering mengusung tema “pengungkungan” Islam terhadap wanita dan mempromosikan motto emansipasi dan persamaan hak di segala bidang tanpa terkecuali atau lebih dikenal dengan sebutan kesetaraan gender. Banyak wanita muslimah terkecoh olehnya, terutama mereka yang tidak memiliki basic ilmu pemahaman keagamaan yang kuat dan memadai.
Semoga tulisan ini menggugah wanita-wanita muslimah untuk kembali kepada fithrah mereka dan memahami hak dan kewajiban Allah atas dirinya . Amîn.
Kondisi Wanita di Dunia Barat
• Dari sisi historis, terjunnya kaum wanita ke lapangan untuk bekerja dan berkarir semata-mata karena unsur keterpaksaan. Ada dua hal penting yang melatarbelakanginya:

Pertama, terjadinya revolusi industri yang mengundang arus urbanisasi kaum petani pedesaan, tergiur untuk mengadu nasib di perkotaan, karena himpitan sistem kapitalis yang melahirkan tuan-tuan tanah yang rakus. Berangkat ke perkotaan mereka berharap mendapatkan kehidupan yang lebih layak namun realitanya, justru semakin sengsara terpuruk dan menghinakan diri dengan menjadi budak pemilik harta. Mereka mendapat upah yang rendah,dan kadang diperlakukan dengan semena-mena layaknya budak dan tuan.

Kedua, kaum kapitalis dan tuan-tuan tanah yang rakus sengaja menggunakan momen terjunnya kaum wanita dan anak-anak, dengan lebih memberikan porsi kepada mereka di lapangan pekerjaan, karena mau diupah lebih murah daripada kaum lelaki, meskipun dalam jam kerja yang panjang dan melelahkan.
• Kehidupan yang dialami oleh wanita di Barat yang demikian mengenaskan, sehingga menggerakkan nurani sekelompok pakar untuk membentuk sebuah organisasi kewanitaan yang diberi nama Humanitarian Movement yang bertujuan untuk membatasi eksploitasi kaum kapitalis terhadap para buruh, khususnya dari kalangan anak-anak. Organisasi ini berhasil mengupayakan undang-undang perlindungan anak, akan tetapi tidak demikian halnya dengan kaum wanita. Mereka tetap saja dihisap darahnya oleh kaum kapitalis tersebut. Laksana lintah menghisap mangsa yang tidak akan dilepas hingga tidak ada tempat diperutnya.
• Hingga saat ini pun, kedudukan wanita karir di Barat belum terangkat dan masih saja mengenaskan, meskipun sudah mendapatkan sebagian hak mereka. Di antara indikasinya, mendapatkan upah lebih kecil daripada kaum laki-laki, keharusan membayar mahar kepada laki-laki bila ingin menikah, keharusan menanggung beban penghidupan keluarga bersama sang suami, dan lain sebagainya yang jelas keluar dari fitrah wanita .
Beberapa Dampak Negatif dari Terjunnya Wanita untuk Berkarir
Di antara dampak-dampak negatif tersebut adalah:
1. Penelitian kedokteran di lapangan (dunia Barat) menunjukkan telah terjadi perubahan yang amat signifikan terhadap bentuk tubuh wanita karir secara biologis, sehingga menyebabkannya kehilangan naluri kewanitaan. Meskipun jenis kelamin mereka tidak berubah menjadi laki-laki, namun jenis wanita semacam ini dijuluki sebagai jenis kelamin ke tiga. Menurut data statistik, kebanyakan penyebab kemandulan para istri yang merupakan wanita karir tersebut bukan karena penyakit yang biasa dialami oleh anggota badan, tetapi lebih diakibatkan oleh ulah wanita di masyarakat Eropa yang secara total, baik dari aspek materiil, pemikiran maupun biologis lari dari fithrahnya (yakni sifat keibuan).
2. Penyebab lainnya adalah upaya mereka untuk mendapatkan persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam segala bidang. Hal inilah yang secara perlahan melenyapkan sifat keibuan mereka, banyaknya terjadi kemandulan serta mandegnya air susu ibu (ASI) sebagai akibat perbauran dengan kaum laki-laki.
3. Di barat, muncul fenomena yang mengkhawatirkan sekali akibat terjunnya kaum wanita sebagai wanita karir, yaitu terjadinya tindak kekerasan terhadap anak-anak kecil berupa pukulan yang keras, sehingga dapat mengakibatkan mereka meninggal dunia, gila atau cacat fisik. Majalah-majalah yang beredar di sana menyebutkan nama penyakit baru ini dengan sebutan Battered Baby Syn (penyakit anak akibat dipukul). Majalah Hexagon dalam volume No. 5 tahun 1978 menyebutkan bahwa banyak sekali rumah – rumah sakit di Eropa dan Amerika yang menampung anak-anak kecil yang dipukul secara keras oleh ibu-ibu mereka atau terkadang oleh bapak-bapak mereka.
4. DR. Ahmad Al-Barr mengatakan, “Pada tahun 1967, lebih dari 6500 anak kecil yang dirawat di beberapa rumah sakit di Inggris, dan sekitar 20% dari mereka berakhir dengan meninggal, sedangkan sisanya mengalami cacat fisik dan mental secara akut. Ada lagi, sekitar ratusan orang yang mengalami kebutaan dan lainnya ketulian setiap tahunnya, ada yang mengalami cacat fisik, idiot dan lumpuh akibat pukulan keras.”
5. Para wanita karir yang menjadi ibu rumah tangga tidak dapat memberikan pelayanan secara berkesinambungan terhadap anak-anak mereka yang masih kecil, karena hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk karir mereka. Sehingga anak-anak mereka hanya mendapatkan jatah sisa waktu dalam keadaan cape dan loyo.
6. Berkurangnya angka kelahiran, sehingga pemerintah negara tersebut saat ini menggalakkan kampanye memperbanyak anak dan memberikan penghargaan bagi keluarga yang memiliki banyak anak. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi yang ada di dunia Islam saat ini.
Saksi: Mereka Berbicara
• Seorang Filosof bidang ekonomi, Joel Simon berkata, “Mereka (para wanita) telah direkrut oleh pemerintah untuk bekerja di pabrik-pabrik dan mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya, akan tetapi hal itu harus mereka bayar mahal, yaitu dengan rontoknya sendi-sendi rumah tangga mereka.”
• Sebuah lembaga pengkajian strategis di Amerika telah mengadakan ‘polling’ seputar pendapat para wanita karir tentang karir seorang wanita. Dari hasil ‘polling’ tersebut didapat kesimpulan: “Bahwa sesungguhnya wanita saat ini sangat keletihan dan 65% dari mereka lebih mengutamakan untuk kembali ke rumah mereka.”
Karir Wanita dalam Perspektif Islam
Allah Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.
Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an:
وَوَصَّينَا الإِنسٰنَ بِوٰلِدَيهِ حَمَلَتهُ أُمُّهُ وَهنًا عَلىٰ وَهنٍ وَفِصٰلُهُ فى عامَينِ أَنِ اشكُر لى وَلِوٰلِدَيكَ إِلَىَّ المَصيرُ – سورة لقمان
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang, Ibu Bapaknya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Qs. Luqman: 14)
Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
Oleh karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
Dienul Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membebankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.
Maka, selagi si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang lain, berdasarkan perincian yang disebutkan oleh para ulama fiqih kita.
Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.
Bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.
Solusi Islam Terhadap Fenomena Karir Wanita
Ada kondisi yang teramat mendesak yang menyebabkan seorang wanita terpaksa diperbolehkan bekerja ke luar rumah, namun tetap dengan persyaratan sebagai berikut:
• Disetujui oleh kedua orangtuanya atau wakilnya atau suaminya, sebab persetujuannya adalah wajib secara agama dan qadla’ (hukum).
• Pekerjaan tersebut terhindar dari ikhtilath (berbaur dengan bukan mahram), khalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan laki-laki asing. Sebab ada dampak negatif yang besar jika hal tersebut sampai terjadi,. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Artinya: “Tidaklah seorang lak-laki bersepi-sepian dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) kecuali setan mejadi yang ketiganya.” (Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Fitan 2165, Ahmad 115)

“Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan seorang wanita, kecuali bila bersama laki-laki (yang merupakan) mahramnya.” (HR. Bukhari)
• Menutupi seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang memicu timbulnya fitnah, baik di dalam berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum).
• Komitmen dengan akhlaq Islami dan hendaknya menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, alias tidak dibuat-buat dan sengaja melunak-lunakkan suara.Firman Allah: “Maka janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakan ucapan sehingga membuat condong orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan berkata-katalah dengan perkataan yang ma’ruf/baik.” (Qs. Al-Ahzab:32)
• Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti dalam bidang pengajaran, kebidanan, menjahit dan lain-lain.
Beberapa fatwa ulama berkenaan dengan masalah ini.
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apa lahan pekerjaan yang diperbolehkan bagi perempuan muslimah yang mana ia bisa bekerja di dalamnya tanpa bertentangan dengan ajaran-ajaran agamanya?
Jawaban:
Lahan pekerjaan seorang wanita adalah pekerjaan yang dikhususkan untuknya seperti pekerjaan mengajar anak-anak perempuan baik secara administratif ataupun secara pribadi, pekerjaan menjahit pakaian wanita di rumahnya dan sebagainya. Adapun pekerjaan dalam lahan yang dikhususkan untuk orang laki-laki maka tidaklah diperbolehkan baginya. Karena bekerja pada lahan tersebut akan mengundang ikhtilath sedangkan hal tersebut adalah fitnah yang besar yang harus dihindari.
Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:
Artinya: “Saya tidak meninggalkan fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi seorang laki-laki daripada fitnah perempuan.”
Maka seorang laki-laki harus menjauhkan keluarganya dari tempat-tempat fitnah dan sebab-sebabnya dalam segala kondisi.
(Fatawa Mar’ah, 1/103)
Pertanyaan:
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya: Apa hukum wanita yang bekerja? Dan lapangan pekerjaan apa saja yang diperbolehkan bagi seorang wanita untuk bekerja di dalamnya?
Jawaban:
Tidak seorang pun yang berselisih bahwa wanita berhak bekerja, akan tetapi pembicaraan hanya berkisar tentang lapangan pekerjaan apa yang layak bagi seorang wanita, dan penjelasannya sebagai berikut:
Ia berhak mengerjakan apa saja yang biasa dikerjakan oleh seorang wanita biasa lainnya dirumah suaminya dan keluarganya seperti memasak, membuat adonan kue, membuat roti, menyapu, mencuci pakaian, dan bermacam-macam pelayanan lainnya serta pekerjaan bersama yang sesuai dengannya dalam rumah tangga.
Ia juga berhak mengajar, berjual beli, menenun kain, membuat batik, memintal, menjahit dan semisalnya apabila tidak mendorong pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh syara seperti berduaan dengan selain mahram atau bercampur dengan laki-laki lain, yang mengakibatkan fitnah atau menyebabkan ia meninggalkan hal-hal yang harus dilakukannya terhadap keluarganya, atau menyebabkan ia tidak mematuhi perintah orang yang harus dipatuhinya dan tanpa ridha mereka.
(Majalatul Buhuts Al-Islamiyah 19/160)
Penutup
Sudah waktunya kita memahami betapa agungnya dien Islam di dalam setiap produk hukumnya, berpegang teguh dengannya, menjadikannya sebagai hukum yang berlaku terhadap semua aturan di dalam kehidupan kita serta berkeyakinan secara penuh, bahwa ia akan selalu cocok dan sesuai di dalam setiap masa dan tempat.
Ustadz Yusuf Iskandar
Sumber:
1. Amal al-Mar’ah Baina Al-Islam wa Al-Gharb” tulisan Ibrahim an-Ni’mah – Abu Hafshoh)
2. Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq
Disalin dari: http://www.hang106.or.id




Transaksi Jual Beli Salam
Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Rabu, 24 Februari 2010 08:17 | Dibaca : 1735 kali

Segala puji hanya milik Allah Ta'ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amiin. Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual belia dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran kontan pada saat akad dilaksanakan.
Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan). Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1. Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari'at jual-beli salam seusai larangan memakan riba.
Allah Ta'ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Qs. Al Baqarah: 282)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu berkata:
أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحله الله في الكتاب وأذن فيه، قال الله عز وجل يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه الآية. رواه الشافعي والطبري عبد الرزاق وابن أبي شيبة والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany)
Diantara dalil yang menguatkan penafsiran sahabat Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu di atas ialah akhir dari ayat tersebut yang berbunyi:
وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
"Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya.Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu'amalah itu) kecuali bila mu'amalah itu berupa perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tiada dosa atasmu bila kamu tidak menulisnya." (Qs. Al Baqarah: 282)
Dengan demikian, ayat diatas merupakan dalil disyari'atkannya jual-beli salam. Diantara dalil disyari'atkannya salam ialah hadits berikut:
عن ابن عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قال: قَدِمَ النبي الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ. فقال: (من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
"Dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata: "Ketika Nabi tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda: "Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Berdasarkan dalil di atas dan juga lainnya, para ulama' telah menyepakati akan disyari'atkanya jual-beli salam. Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Dan persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah disyari'atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan).
Pertama: Pembayaran Dilakukan di Muka (kontan).
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as-Salam yang berarti penyerahan, atau as-Salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Adapun bila pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan ayang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya.
Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عن بن عمر أن النبي نهى عن بيع الكالئ بالكالئ. رواه الدارقطني والحاكم والبيهقي وضعَّفه غير واحد من أهل العلم، منهم الشافعي وأحمد وأقرهما الألباني
"Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli piutang dengan piutang." (Riwayat Ad Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy dan hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama' diantaranya Imam As Syafi'i, Ahmad, dan disetujui oleh Al Albany)
Walau demikian halnya, banyak ulama' yang menyatakan bahwa kesepakatan ulama' telah bulat untuk melarang jual-beli piutang dengan piutang.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: "Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang hal ini (larangan menjual piutang dengan piutang-pen), akan tetapi kesepakatan ulama' telah bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang dengan piutang."

Ungkapan senada juga diutarakan oleh Ibnul Munzir: (1)

Ibnul Qayyim berkata: "Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as Salam; dikarenakan adanya penyerahan uang pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk ke dalam penjualan piutang dengan piutang, bahkan itulah sebanarnya penjualan piutang dengan piutang, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan."(2) Dilakukan pada barang-barang yang dapat ditentukan kriterianya.
Kedua: Dilakukan Pada Barang-barang yang Dapat Ditentukan Kriterianya.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa akad salam ialah akad pemesanan barang dengan pembayaran dimuka, maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo, kedua belah pihak –diharapkan- tidak terjadi percekcokan tentang barang yang dimaksud.
Persyaratan ini merupakan penerapan langsung dari syarat sahnya akad jual-beli: "Barang yang diperjual-belikan telah diketahui oleh kedua belah pihak."
Adapun barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya, misalnya: kulit binatang,(3) sayur mayur dan yang lainnya, maka tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena itu termasuk jual-beli ghoror (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:
أنَّ النبي نهى عن بيع الغرر. رواه مسلم
"Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan." (Riwayat Muslim)

Ketiga: Penyebutan Kriteria Barang Pada Saat Akad Dilangsungkan.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pada akad salam, penjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan mempengaruhi harga barang. Sebagai contoh: Bila A hendak memesan beras kepada B, maka A berkewajiban untuk menyebutkan, jenis beras yang dimaksud, tahun panen, mutu beras, daerah asal serta jumlah barang.
Masing-masing kriteria ini mempengaruhi harga beras, karena –sebagaimana diketahui bersama- harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenisnya, misalnya: beras rojo lele lebih mahal dibanding dengan beras IR.
Sebagaimana beras hasil panen 5 tahun lalu –biasanya- lebih murah bila dibanding dengan beras hasil panen tahun ini. Beras grade 1 lebih mahal dari grade 2, dan beras yang dihasilkan di daerah Cianjur, lebih mahal dari beras hasil daerah lainnya.
Adapun jumlah barang, maka jelas sangat mempengaruhi harga beras, sebab beras 1 ton sudah barang tentu lebih mahal bila dibandingkan dengan beras 1 kwintal dari jenis yang sama.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits di atas bersabda:
من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
"Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Diantara hal yang kadang mempengaruhi harga barang adalah warnanya, oleh karenanya pemesanan barang jenis ini, harus disertai dengan penentuan warna barang. Misalnya kendaraan, harganya selain dipengaruhi oleh hal-hal diatas, juga dipengaruhi oleh warnanya. Kendaraan berwarna putih lebih murah dibanding dengan yang berwarna metalik atau yang serupa. Karenanya, bila seseorang memesan kendaraan ia harus menentukan warna kendaraan yang diinginkan.
Setelah kriteria barang yang diperlukan telah disepakati, maka kelak ketika telah jatuh tempo, ada beberapa keumngkinan yang terjadi:
A. Kemungkinan Pertama: Penjual berhasil mendatangkan barang sesuai kriteria yang dinginkan, maka pembeli harus menerimanya, dan tidak berhak untuk membatalkan akad penjualan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
المسلمون على شروطهم. رواه أحمد والبيهقي وغيرهما وصححه الألباني
"Kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan mereka." (Riwayat Ahmad, Al Baihaqy dan lainnya, dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albani)
B. Kemungkinan Kedua: Penjual hanya berhasil mendatangkan barang yang kriterianya lebih rendah, maka pembeli berhak untuk membatalkan pesanannya dan mengambil kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan kepada penjual.
Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk menunda atau membuat perjanjian baru dengan penjual, baik yang berkenaan dengan kriteria barang atau harga barang dan hal lainnya yang berkenaan dengan akad tersebut, atau menerima barang yang telah didatangkan oleh penjual, walaupun kriterianya lebih rendah.
Sikap apapun yang ditentukan oleh pemesan pada keadaan seperti ini, maka ia tidak dicela karenanya. Walau demikian, ia dianjurkan untuk memaafkan, yaitu dengan menerima barang yang telah didatangkan penjual atau dengan memberikan tenggang waktu lagi.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

رحم الله رجلا سمحا إذا باع وإذا اشترى وإذا اقتضى. رواه البخاري
"Dari sahabat Jabir bin Abdillah semoga Allah meridhai keduanya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Semoga Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia menjual, ketika membeli dan ketika menagih." (Riwayat Bukhary)
Selain dianjurkan untuk memaafkan, pemesan juga diperintahkan untuk tetap bersikap terhormat, menjaga akhlaq karimah, dan tidak hanyak dalam amarah, sehingga ia bersikap kurang terpuji. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
من طلب حقا فليطلبه في عفاف واف أو غير واف. رواه الترمذي وابن ماجه وابن حبان والحاكم
"Barang siapa yang menagih haknya, hendaknya ia menagihnya dengan cara yang terhormat, baik ia berhasil mendapatkannya atau tidak." (Riwayat At Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al Hakim.) (4)
C. Kemungkinan Ketiga:
Penjual mendatangkan barang yang lebih bagus dari yang telah dipesan, dengan tanpa meminta tambahan bayaran, maka para ulama' berselisih pendapat; apakah pemesan berkewajiban untuk menerimanya atau tidak?
Sebagian ulama' menyatakan, bahwa pemesan berkewajiban untuk menerima barang tersebut, dan ia tidak berhak untuk membatalkan pemesanannya.

Mereka berdalih bahwa: Penjual telah memenuhi pesanannya tanpa ada sedikitpun kriteria yang terkurangi, dan bahkan ia telah berbuat baik kepada pemesan dengan memberikan nilai lebih tanpa meminta tambahan uang.(5)
Sebagian ulama' lainnya berpendapat: Bahwa pemesan berhak untuk menolak barang yang didatangkan oleh penjual, apabila ia menduga bahwa suatu saat penjual akan menyakiti perasaannya, yaitu dengan mengungkit-ungkit kejadian tersebut dihadapan orang lain. Akan tetapi bila ia yakin bahwa penjual tidak akan melakukan hal itu, maka ia wajib untuk menerima barang tersebut. Hal ini karena penjual telah berbuat baik, dan setiap orang yang berbuat baik tidak layak untuk dicela atau disusahkan:
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ التوبة 91
"Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik." (Qs. At-Taubah 91) (6)
Pendapat kedua inilah yang lebih moderat dan kuat, karena padanya tergabung seluruh dalil dan alasan yang ada pada permasalahan ini, wallahu a'alam bis shawab.
Keempat: Penentuan Tempo Penyerahan Barang Pesanan.
Tidak aneh bila pada akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang pesanan. Dan tempo yang disepakati –menurut kebanyakan ulama'- haruslah tempo yang benar-benar mempengaruhi harga barang.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
"Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Sebagai contoh: Bila A memesan kepada B, 1 ton beras jenis cisedani, hasil panen tahun ini, dan mutu no 1, maka keduanya harus menyepakati tempo/waktu penyediaan beras, dan tempo tersebut benar-benar mempengaruhi harga beras, misalnya 2 atau 3 bulan.
Akan tetapi bila keduanya menyepakati tempo yang tidak berpengaruh pada harga beras, misalnya: 1 atau 2 minggu atau kurang, atau bahkan tidak ada tempo sama sekali, maka - menurut jumhur ulama'- akad mereka berdua tidak dibenarkan.
Pendapat pertama: Ini adalah pendapat jumhur ulama', mereka berdalil dengan teks hadits di atas:
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه
"Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih).
Pada hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mensyaratkan agar pada akad salam ditentukan tempo yang disepakati oleh kadua belah pihak.
Sebagaimana mereka juga berdalil dengan himah dan tujuan disyari'atkannya akad salam, yaitu pemesan mendapatkan barang dengan harga yang murah, dan penjual mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia jalankan dengan dana dari pemesan tersebut. Oleh karenanya bila tempo yang disepakati tidak memenuhi hikmah dari disyari'atkannya salam, maka tidak ada manfaatnya syari'at salam. (7)
Pendapat kedua: Ulama' mazhab Syafi'i tidak sependapat dengan jumhur ulama', mereka menyatakan bahwa penentuan tempo dalam akad salam bukanlah persyaratan yang baku, sehingga dibenarkan bagi pemesan untuk memesan barang dengan tanpa tenggang waktu yang mempengaruhi harga barang, atau bahkan dengan tidak ada tenggang waktu sama-sekali.
Mereka beralasan bahwa: bila pemesanan barang yang pemenuhannya dilakukan setelah berlalu waktu cukup lama dibenarkan, yang mungkin saja penjual tidak berhasil memenuhi pesanan, maka pemesanan yang langsung dipenuhi seusai akad lebih layak untuk dibenarkan.(8)
Bila kita cermati kedua pendapat di atas, maka kita dapatkan pendapat kedualah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan alasan-alasan berikut:
1. Hukum asal setiap perniagaan adalah halal dan boleh, kecuali yang nyata-nyata diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada permasalahan kita ini, tidak ada satu dalilpun yang nyata-nyata melarang akad salam yang tidak disertai tenggang waktu untuk memenuhi pesanan.
2. Berdasarkan alasan di atas, sebagian ulama' menyatakan bahwa setiap akad perniagaan yang dapat ditafsirkan dengan penafsiran yang diobenarkan dalam syari'at, maka itulah yang wajib dilakukan oleh seorang ahli fatwa.
3. Adapun hadits di atas yang menjadi dalil jumhur ulama', maka tidak tegas dalam pensyaratan tempo, sebagaimana hadits ini dapat ditafsirkan: "bila kalian memesan hingga tempo tertentu, maka tempo tersebut haruslah diketahui/disepakati oleh kedua belah pihak". (9)
Setelah persyaratan tempo pengadaan barang ini disepakati oleh kedua belah pihak, maka ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi pada saat jatuh tempo:
A. Kemungkinan pertama: Pedagang berhasil mendatangkan barang pesanan pada tempo yang telah disepakati, maka pada keadaan ini, pemesan berkewajiban untuk menerimanya.
B. Kemungkinan Kedua: Pedagang tidak dapat mendatangkan barang pesanan, maka pemesan berhak menarik kembali uang pembayaran yang telah ia serahkan atau memperbaharui perjanjian (10).

C. Kemungkinan Ketiga: Pedagang mendatangkan barang sebelum tempo yang telah disepakati. Pada keadaan ini apabila pemesan tidak memiliki alasan untuk menolak barang yang ia pesan, maka ia diwajibkan untuk menerimanya. Hal ini dikarenakan pedagang telah berbuat baik, yaitu dengan menyegerakan pesanan, dan orang yang beruat baik tidak layak untuk disalahkan.

مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ التوبة 91
"Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik." (Qs. At Taubah 91)

Adapun bila pemesan memiliki tujuan yang dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati, maka ia dibenarkan untuk menolaknya.
Hal ini berdasarkan hadits berikut:

لا ضَرَرَ ولا ضِرَار. رواه احمد وابن ماجة وحسنه الألباني

"Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadharatan dengan yang lebih besar dari perbuatan." (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)

Sebagai contoh: bila barang yang dipesan adalah, buah-buahan, sehingga cepat rusak, padahal pemesan bermaksud menjualnya pada tempo yang telah disepakati, karena pada saat itu harga buah tersebut lebih mahal, atau banyak peminatnya, maka pemesan dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati.
Atau barang pesanannya membutuhkan gudang yang luas, sedangkan saat itu gudang yang dimiliki oleh pemesan sedang penuh, maka ia dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati.
Kelima: Barang Pesanan Tersedia di Pasar Pada Saat Jatuh Tempo.
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari'at Islam.
Sebagai contoh: Bila seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga ", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan.
Selain mengandung unsur ghoror (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah "memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits berikut: عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أن رسول الله
قال: رحم الله رجلا سمحا إذا باع وإذا اشترى وإذا اقتضى. رواه البخاري
"Dari sahabat Jabir bin Abdillah semoga Allah meridhai keduanya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Semoga Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia menjual, ketika membeli dan ketika menagih." (Riwayat Bukhary)
Ditambah lagi pengabaian syarat ketersedian barang di pasar pada saat jatuh tempo memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.
Oleh karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: عن أبي هريرة
قال: قال رسول الله : (لا تحاسدوا ولا تناجشوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يبع بعضكم على بيع بعض وكونوا عباد الله إخوانا، المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره) متفق عليه
"Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah sebagian dariu kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya." (Muttafaqun 'alaih)
Keenam: Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha.
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur ghoror (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya.
Sebagai contoh: Bila seorang pedagang memesan gabah kepada seorang petani dengan krioteria yang telah disepakati, maka pada akad salam ini, petani tidak boleh dibatasi ruang kerjanya, yaitu dengan menyatakan: gabah yang didatangkan harus dari hasil ladang miliknya sendiri. Akan tetapi petani harus diberi kebebasan, sehingga ketika jatuh tempo, ia berhak menyerahkan gabah dari hasil ladang sendiri atau dari hasil ladang orang lain. Contoh lain: Seorang pedagang yang di tokonya telah tersedia 100 bungkus semen, @ 50 Kg, dari merek tertentu, tatkala anda memesan 50 bungkus semen dari merek tersebut yang beratnya @ 50 Kg, untuk tempo 4 bulan yang akan datang. Maka ketika anda membuat perjanjian salam dengannya, anda berdua tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar semen yang diserahkan kelak adalah dari ke 100 bungkus semen yang sekarang ini telah dimiliki oleh pedagang. Karena mungkin saja semen yang serang telah ada ketika telah jatuh tempo menjadi rusak, atau dicuri orang.
Persyaratan ini adalah pendapat jumhur ulama', sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa persyaratan ini tidak diperlukan,(11) dengan alasan:
1. Hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang telah nyata-nyata diharamkan dalam dalil.
2. Berdasarkan hukum asal di atas, sebagian ulama' menyatakan: selama ada penafsiran yang dibenarkan untuk menafsirkan suatu transaksi, maka penafsiran itulah yang semestinya dijadikan dasar penilaian.
Oleh karena itu ulama' kedua ini menyatakan: bahwa akad pemesanan dari barang yang telah ada ada terbatas jumlahnya, pada hakekatnya bukanlah akad salam/pemesanan, akan tetapi akad jual beli biasa, hanya saja diiiringi dengan akad lain, yaitu penitipan barang dalam tempo waktu yang disepakati.
Dengan demikian, pada contoh kasus pemesanan semen diatas, pemesan telah membeli 50 bungkus semen, ketika akad berlangsung, dan sekaligus menitipkan semen yang teolah ia beli kepada pemilik toko hingga tempo 4 bulan. (12)
Permasalahan ini tercakup oleh kaedah fiqih yang sangat masyhur, yaitu:
هل العبرة بصيغ العقود أو بمعانيها

"Apakah yang menjadi pedoman adalah teks ketika menjalankan akad, atau kandungannya? (13)
Bila demikian adanya, maka pendapat yang lebih kuat ialah pendapat kedua.(14)
Ketujuh: Tidak dipersyaratkan pedagang adalah pemilik barang obyek salam.
Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa pedagang yang dibenarkan untuk menjalankan akad salam ialah pedagang yang memiliki barang obyek sakad salam. Ketahuilah saudaraku, ternyata anggapan ini tidak benar adanya. Oleh karena itu, dahulu semasa hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat tidak pernah bertanya kepada para pedagang yang menerima pesanan mereka: apakah mereka memiliki barang pesanannnya atau tidak. Muhammad bin Abil Mujalid mengisahkan:
مُحَمَّدُ بْنُ أَبِى الْمُجَالِدِ قَالَ بَعَثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ وَ أَبُو بُرْدَةَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى أَوْفَى - رضى الله عنهما - فَقَالاَ سَلْهُ هَلْ كَانَ أَصْحَابُ
النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فِى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - يُسْلِفُونَ فِى الْحِنْطَةِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِى الْحِنْطَةِ ، وَالشَّعِيرِ ، وَالزَّيْتِ ، فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . قُلْتُ إِلَى مَنْ كَانَ أَصْلُهُ عِنْدَهُ قَالَ مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ
"Pada suatu hari aku diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk bertanya kepada sahabat Abdullah bin Aufa radhiallahu 'anhu. Mereka berdua berpesan: bertanyalah kepadanya, apakah dahulu sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam semasa hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memesan gandum dengan pembayaran lunas di muka? Ketika sahabat Abdullah ditanya demikian, beliau menjawab: Dahulu kami memesan gandum, sya'ir (satu jenis gandum dengan mutu rendah), dan minyak zaitun dalam takaran, dan tempo penyerahan yang disepakati dari para pedagang Negri Syam. Muhammad bin Abil Mujalid kembali bertanya: Apakah kalian memesan langsung dari para pemilik ladang? Abdullah bin Aufa kembali menjawab: Kami tidak bertanya kepada mereka, tentang hal itu." (Riwayat Al Bukhari)
Berdasarkan praktek akad salam yang dilakukan oleh para sahabat ini, maka anda dibenarkan menjalin akad ini dengan para pedagang, walaupun mereka bukan prudusen atau pengrajin atau petani penghasil barang.
Inilah persyaratan akad salam secara global, dan yang –berdasarkan ilmu saya yang sempit- rajih dari berbagai persyaratan yang disebutkan dalam berbagai bukuh fiqih. Dan berikut, saya akan menyebutkan beberapa fatwa Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa kerajaan Saudi Arabia yang berkaitan dengan berbagai transaksi salam:

A. Pertanyaan:
Apabila ada seseorang yang sedang dalam kebutuhan, lalu ia mengambil dari orang lain sejumlah uang, dengan perjanjian: penghutang akan membayarnya setelah beberapa lamanya dengan beberapa sho' gandum atau kurma. Dan perjanjian ini dilakukan sebelum gandum dan kurma menua siap dipanen?

Jawaban:
Bila penghutang berjanji untuk membayar piutang dengan sejumlah sho' yang telah disepakati, maka kasus ini tergolong ke dalam permasalahan salam. Dan salam adalah salah satu bentuk transaksi jual-beli yang dibolehkan dengan beberapa persyaratan, yaitu:
Pertama: Dilakukan pada barang-barang yang dapat ditentukan kriterianya.
Kedua: Kedua belah pihak menyepakati berbagai kriteria barang yang mempengaruhi harganya.
Ketiga: Hendaknya jumlah barang ditentukan, baik dengan takaran pada komoditi yang ditakar, atau dengan timbangan pada komoditi yang ditimbang, atau dengan meteran pada komoditi yang dihitung panjangnya. (15)
Keempat: Hendaknya pengadaan barang dilakukan setelah berlalunya tempo yang disepakati.
Kelima: Hendaknya komoditi yang dipesan adalah komoditi yang banyak diperoleh pada saat jatuh tempo.
Keenam: Hendaknya pembayaran dilakukan pada saat transaksi berlangsung.
Ketujuh: Hendaknya barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dijamin oleh pengusaha, dan bukan barang yang telah ada.
Dasar dihalalkannya transaksi salam dari Al Qur'an adalah firman Allah Ta'ala berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Qs. Al Baqarah: 282)
Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma berkata:
"Saya bersaksi bahwa transaksi salaf (salam) yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, kemudian beliau membaca ayat tersebut. (Diriwayatkan oleh Sa'id (bin Manshur-pen))

Dan diantara dalil dari As-Sunnah ialah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma:

"Bahwa tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota madinah, (beliau mendapatkan penduduknya) memesan buah-buahan dalam tempo satu atau dua tahun, maka beliau bersabda:

(من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل معلوم) متفق عليه

"Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. (16)
B. Pertanyaan:

Seseorang memberikan sejumlah pinjaman uang kepada pengusaha lebah madu, dengan perjanjian: ketika musim panen tiba, pemberi pinjaman berhak mengambil madu yang ia suka seharga pinjaman tersebut. Dan kadang kala musim panen tiba, sedangkan pengusaha lebah madu tidak mendapatkan madu sesuai kriteria pemberi piutang, atau mungkin pengusaha lebah telah menjual lebahnya atau lebahnya pergi. Apa hukum uang pinjaman tersebut? Berilah kami arahan, semoga Allah membalas kebaikan anda.

Jawaban:

Transaksi jual beli yang disebutkan pada pertanyaan adalah salah satu bentuk transaksi salam, hanya saja transaksi tersebut terlaksana dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, karena menyelisihi ketentuan akad salam. Yang demikian itu karena salam adalah akad jual-beli terhadap sesuatu barang yang telah ditentukan kriterianya dan dijamin pengadaanya oleh pengusaha, dengan disertai persyaratan berikut:
• Penentuan kriterianya, dimulai dari jumlah takaran atau timbangan, atau meteran, dan juga jenis serta segala kriteria yang mempengaruhi harganya.
• Adanya praduga kuat tentang kemampuan pengusaha untuk mengadakan barang ketika jatuh tempo.
• Penentuan tempo pengadaan barang.
• Pembayaran sepenuhnya dilakukan dimuka, ketika akad berlangsung.

Sedangkan kasus yang disebutkan pada pertanyaan, maka itu adalah transaksi terhadap suatu barang yang pengadaannya tidak dijamin oleh pengusaha, dikarenakan ia memesan hanya dari hasil ladang lebah yang telah dimiliki. Sebagaimana halnya mereka berdua belum menyepakati jumlah madu dalam hitungan kilo yang dipesan, serta tidak menyebutkan tempo penyerahan madu.
Transaksi ini serupa dengan transaksi yang dahulu dilakukan oleh penduduk Madinah yang menerima pesanan kurma dari hasil kebun mereka sendiri. Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, beliau melarang akan hal itu, dengan alasan goror (untung-untungan) yang ada padanya. Karena mungkin saja kebun tersebut terkena musibah, sehingga tidak menghasilkan. Ibnu Hajar dalam kitab (Fathul Bary 4/433) berkata:

"Ibnu Munzir menukilkan kesepakatan jumhur ulama' yang melarang transaksi salam pada ladang tertentu; karena itu adalah ghoror/untung-untungan". Oleh karenanya dinyatakan pada hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma:

قَدِمَ النبي الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمَارِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ. فقال: من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ . متفق عليه

"Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda:

"Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Berdasarkan itu, maka transaksi salam yang disebutkan pada pertanyaan tidak sah, karena tidak memenuhi kebanyakan dari persyaratan salam.
Dengan demikian, transaknya tidak sempurna, dan wajib atas pengusaha (lebah) untuk mengembalikan uang tersebut kepada pemesan. Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.(17)
C. Pertanyaan:

Di Sudan ada seseorang yang biasa memanfaatkan perekonomian masyarakat (kaum muslimin) yang susah, dengan membeli hasil panen mereka jauh-jauh hari sebelum musim panen tiba, dengan harga yang sangat murah, dan ketika musim panen tiba, ia benar-benar menerima seluruh hasil panen mereka. Menurut Syari'at, apa hukum perbuatannya tersebut?

Jawaban: Bila orang tersebut membeli dari para petani atau lainnya hasil panen ladang mereka, dengan persyaratan yang sesuai dengan jual-beli salam, yaitu dengan cara menyebutkan kriteria hasil ladang, dalam takaran atau timbangan yang telah disepakati, serta pembayaran sepenuhnya dilakukan pada saat transaksi, tanpa menentukan bahwa hasil ladang yang ia beli adalah hasil dari ladang tertentu, maka transaksi ini dibolehkan, dan itulah transaksi salam yang disyari'atkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى اجل معلوم. متفق عليه

"Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)

Adapun bila orang tersebut membeli hasil panen ladang tertentu sebelum masa tanaman menua dan siap panen, maka itu tidak dibolehkan. Hal itu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita untuk menjual buah-buahan hingga menua dan biji-bijian hingga mengeras . Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shohihnya dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma:
أنَّ رسول الله نهى عن بيع النخل حتى يزهو، وعن بيع السنبل حتى يبيض ويأمن العاهة، نهى البائع والمشتري) متفق عليه
"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli kurma hingga menua, dan jual-beli biji-bijian hingga memutih dan selamat dari bencana (puso), beliau melarang penjual dan pembeli."(Muttafaqun 'alaih)

Tanda menuanya buah-buahan ialah dengan berwarna merah atau kuning dan enak untuk dimakan. Apabila ia membeli hasil ladang setelah buah-buahan menua dan biji-bijian mengeras, maka itu adalah transaksi yang dibolehkan, dan tidak mengapa. Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.(18)
D. Pertanyaan:
Apa hukumnya menyewakan kebun kelapa? Maksudnya: Seseorang yang memiliki kebun kelapa, kemudian ia menerima dari orang lain uang sebesar 1000 Peso, dengan perjanjian: Buah kelapa kebun tersebut menjadi milik penyewa selama lima tahun Apakah transaksi in dibolehkan dalam Islam atau tidak?

Jawaban:

Transaksi ini terlarang, dikarenakan padanya terdapat unsur ketidak jelasan dan ghoror (untung-untungan). Yang demikian itu karena mereka tidak dapat mengetahui seberapa banyak buah kelapa yang akan dihasilkan oleh kebun tersebut selama lima tahun kedepan. Mungkin saja kebun itu berbuah dan mungkin juga tidak berbuah, mungkin berbuah sedikit dan mungkin juga berbuah banyak.
Dan telah tetap bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Melarang dari jual-beli buah-buahan hingga memerah atau menguning",(19) dan telah tetap pula bahwa beliau "melarang dari jual-beli biji-bijian hingga mengeras".(20) Sebagaimana beliau juga melarang dari "jual-beli al mu'awamah /tahunan",(21) serta jual-beli as sinin/tahunan".(22) Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya." (23)

E. Pertanyaan:

Salah seorang masyarakat mendatangi seseorang yang kaya raya, untuk memesan satu unit mobil. Pada saat itu disepakati jenis dan model mobil yang diinginkan. Kemudian Orang tersebut menyerahkan sejumlah uang yang ia mampu bayarkan, dengan perjanjian ia akan memberi keuntungan –misalnya- sebesar sepuluh ribu atau lebih, sesuai dengan harga mobil di showroom. Setelah kesepakatan itu orang kaya tersebut akan pergi ke showroom guna membeli mobil dimaksud, kemudian ia menyerahkannya kepada pemesan. Pada gilirannya pemesan melunasi sisa pembayaran dengan dicicil sesuai dengan perjanjian.

Jawaban:

Bila perjanjian jual-beli antara kedua belah pihak dengan harga dan mobil, dan setelah keduanya menyepakati kriteria mobil tanpa menentukan barangnya, dan sebelum pengusaha tersebut membeli mobil dimaksud. Bila demikian adanya, maka itu termasuk akad salam tanpa ada tempo, dikarenakan pembayaran atau sebagainnya terhutang, sehingga termasuk jual-beli piutang dengan piutang. Disebabkan dengan disepakatinya akad jual-beli, maka mobil pembeli menjadi terhutang oleh pengusaha, sebagaimana harga mobil terhutang oleh pemesan, karena keduanya sama-sama belum menyelesaikan tanggungannya. Dan transaksi semacam ini adalah terlarang.
Metode yang benar ialah: hendaknya kedua belah pihak tidak terlebih dahulu membuat akad jual-beli, akan tetapi pengusaha membeli mobil dan membawanya pulang terlebih dahulu. Setelahnya ia dibolehkan untuk menjual mobil tersebut dengan harga yang mereka sepakati. Dengan pembayaran dicicil beberapa kali atau dengan sekali pembayaran pada tempo tertentu. Metode ini disebut dengan jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan itu dibolehkan.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya."(24)

Pada akhirnya, apa yang kami paparkan di atas adalah semata-mata sebatas ilmu yang saya miliki. Sehingga bila didapatkan kebenaran, maka itu adalah murni berasal dari taufik dan 'Inayah Allah ta'ala. Sebaliknya, bila terdapat kesalahan maka itu adalah bersumber dari setan dan kebodohan saya. Semoga kita semua mendapatkan taufiq dari Allah sehingga dapat meninggalkan riba berserta seluruh piranti dan perangkapnya, dan dimudahkan untuk mendapatkan rizqi yang halal.
Wallahu a'lam bisshawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel: www.pengusahamuslim.com
Footnotes:
(1) Silahkan baca At Talkhisu Al Habir oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 3/406 & Irwa'ul Ghalil oleh Al Albany 5/220-222.
(2) I'lamul Muwaqqi'in oleh Ibnul Qayyim 2/20.
(3) Kulit binatang, misalnya kulit domba, berbeda-beda lebar, dan mutu pengulitannya.
(4) Hadits yang mengandung ajaran mulia nan indah ini, merupakan setetes dari lautan keindahan syari'at Islam, sekaligus bukti bahwa Islam adalah ajaran yang datang dari Allah Ta'ala, Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(5) Al 'Aziz oleh Ar Rafi'i 4/425, Al Mughni oleh Ibnu Ghudamah 6/421, Mughni Al Muhtaj oleh As Syarbini 2/115, & As Syarah Al Mumti' oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 9/69.
(6) Idem.
(7) Baca Bada'ius Shanai'i oleh Al Kasaany 4/448, As Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 7/394-396, & Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/402-404.
(8) Baca Al 'Aziz oleh Ar Rafi'i 4/396 & Mughnil Muhtaj oleh As Syarbiny 2/105.
(9) Baca Ikhtiyarat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dicetak bersama Al Fatawa Al Kubra 5/393, & As Syarhul Mumti' oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 9/77-78.
(10) Baca Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/407.
(11) Untuk lebih luas membaca keterangan ulama' tentang persyaratan ini, silahkan baca buku: Al 'Aziz oleh Ar Rafi'i 4/394-396, Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/406, & Fathul Bary oleh Ibnu Hajar al 'Asqalaany 4/433
(12) Baca As Syarhul Mumti' oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 9/84
(12) Yang lebuh kuat ialah pendapat yang menyatakan: bahwa yang menjadi pedoman dalam menghukumi suatu akad ialah maksud dan maknanya, bukan sekedar lahir dari kata-kata yang diucapkan oleh pelaku transaksi tersebut. Bagi yang ingin mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang kaedah ini, silahkan baca kitab Al Fatawa Al Kubra, oleh Ibnu Taimiyyah 6/31-dst I'ilamul Muwaqi'in, oleh Ibnul Qayyim 3/98-dst, Taqrirul Qawaid oleh Ibnu Rajab 1/267-273, Al Mantsur oleh Az Zarkasyi 2/371, Al Asybah wa An Nazhair oleh As Suyuthi hal: 166
(15) Baca As Syarhul Mumti' oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 9/83-84
(16) Persyaratan ini, pada pembahasan sebelumnya, sengaja saya gabungkan dengan persyaratan kedua.
(17) Majmu' Fatawa Al Lajnah Ad Da'imah 14/94, fatwa no: 437
(18) Idem 14/108, fatwa no: 19612.
(19) Idem 14/88, fatwa no: 19690.
(20) Riwayat Imam Ahmad, Bukhory, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thoyalisi, At Thohawy dan Al Baihaqy dari sahabat Jabir bin Abdillah
(21) Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ibnu Majah, Ad Daraquthny, Ibnu Hibban, Abu Ya'la, Al Hakim, At Thohawy, dan Al Baihaqy dari sahabat Anas bin Malik.
(21) Diriwayatkan dengan lafadz Al Mu'awamah oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasa'i, Ibnu Abi Syaibah, Abu Ya'la, Ibnu Hibban, At Thohawy, Ibnul Jarud, dan Al Baihaqy
(22) Diriwayatkan dengan lafadz As sinin oleh Imam As Syafi'i, Ahmad, Muslim, Abu Dawud, An Nasa'i, Ibnu Majah, Ad Daraquthni, Al Humaidy, Ibnu Bai Syaibah, Ibnu Hibban, Abu Ya'la, Ibnul Jarud, AT Thohawy, dan Al Baihaqy
(23) Majmu' Fatawa Al Lajnah Ad Da'imah, 14/84, fatwa no: 12990
(24) Idem, 14/99, fatwa no: 6097
Ada Apa dengan Biro Jasa?

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Jumat, 19 Februari 2010 09:03 | Dibaca : 1165 kali

Dalam bahasa Arab permasalahan hukum biro jasa disebut dengan masalah ta’qib. Gambaran permasalahannya adalah kita memiliki keperluan tertentu dengan perusahaan, instansi pemerintah atau yang lainnya. Akan tetapi kita tidak mampu menyelesaikan keperluan tersebut secara langsung. Akhirnya kita mewakilkan kepada biro jasa untuk menyelesaikan hal tersebut. Kompensasinya kita serahkan sejumlah uang kepada pihak biro jasa yang telah kita sepakati dengan pihak biro jasa. Bolehkah transaksi semacam ini?

Transaksi ini adalah bagian dari perkara muamalah yang hukum asalnya ialah halal dan mubah sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam transaksi ini tidak terdapat dalil yang melarangnya bahkan terdapat dalil yang membolehkannya. Hakekat transaksi ini adalah wakalah (mewakilkan). Wakalah adalah transaksi yang dibolehkan dalam banyak dalil.

Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sebuah usaha biro jasa diperbolehkan. Hal ini kita tegaskan mengingat banyak biro jasa yang terjerumus dalam larangan baik mereka sadari ataupun tidak.
Pertama: Tidak menyebabkan orang yang tidak berhak diberi pekerjaan mendapatan pekerjaan karena dia menggunakan jasa biro jasa.
Jika hal ini terjadi maka itulah salah satu bentuk kezaliman karena ada unsur mengistimewakan orang yang tidak berhak mendapatan pengistimewaannya. Terlebih lagi jika pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang dibuka untuk umum semacam menjadi aparat keamanan, dokter negeri, hakim, guru dan yang lainnya. Lowongan pekerjaan semacam ini adalah hak orang yang paling kapabel dalam pekerjaan tersebut. Pemerintah memiliki kewajiban hanya mengangkat orang-orang yang layak untuk diangkat tanpa melihat siapa yang membawa. Bahkan di antara sebab rusaknya tatanan masyarakat adalah posisi-posisi penting sebagaimana di atas diserahkan kepada orang yang tidak layak mendudukinya.

Oleh karena itu, jika memanfaatkan biro jasa itu menyebabkan diangkatnya orang-orang yang tidak kapabel maka memanfaatkan biro jasa dalam hal ini menjadi terlarang karena mengandung unsur kezaliman dan tidak menghendaki kebaikan untuk masyarakat banyak.

Kedua: Tidak ada suap untuk aparat terkait
Jika kita harus menyerahkan sejumlah uang kepada biro lalu biro menyerahan uang tersebut kepada aparat atau pejabat terkait agar aparat tersebut melaksanakan apa yang kita inginkan atau memberi prioritas pada keperluan kita maka memanfaatkan biro jasa mengurusan izin-izin yang kita perlukan hukumnya terlarang karena ada unsur yang terlarang dalam hal tersebut. Suap adalah haram mengingat banyak dalil tentang hal ini, ditambah adanya konsesus ulama dalam hal ini. Amat disayangkan persyaratan ini sangat sering dilanggar.

Ketiga: Pihak yang kita mintai tolong bukanlah pamong atau pegawai negeri yang memiliki kewajiban menyelesaikan keperluan kita
Seorang PNS berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cuma-cuma. Dia tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan sampai diberi sejumlah uang oleh anggota masyarakat sebagai kompensasi untu pelayanan yang akan dia berikan. Uang untuk keperluan semacam ini adalah ghulul/harta yang didapat dari tindakan khianat dan termasuk risywah yang pelakunya dilaknat oleh Allah. Uang tersebut dinilai ghulul karena PNS tersebut telah mendapat gaji rutin bulanan dari pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada publik.
Misal seorang aparat kepolisian membuka biro jasa pengurusan mutasi kendaraan bermotor. Anggota masyarakat yang memanfaatkan biro ini pelayanannya didahulukan. Sedangkan masyarakat yang tidak memanfaatkan biro tersebut urusannya dibuat menggantung dan tidak kunjung berakhir kecuali setelah didesak berkali-kali oleh yang bersangkutan. Menurut tinjauan hukum syariat perbuatan semisal ini hukumnya haram.
Jika sebuah biro jasa memenuhi syarat di atas maka itu adalah pekerjaan yang halal tanpa diragukan mengikuti kaedah baku dalam masalah ini yaitu hukum asal muamalah adalah halal dan mubah.
[Diolah dari Qawaid al Buyu’ wa Faraid al Furu’ karya Walid bin Rasyid al Saidan hal 12-14]
Ustadz Aris Munandar
Sumber: ustadzaris.com
]



Bolehkah Memberi Hadiah untuk Pejabat?

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Selasa, 16 Februari 2010 13:24 | Dibaca : 1031 kali

Hukum hadiah yang ditujukan kepada pejabat biasa di bahas para ulama ketika membicarakan hukum hadiah untuk seorang hakim. Namun ketentuan ini juga berlaku untuk semua pejabat negara, anggota DPR dll.
Dalam Duror al Hukkam fi Syarh Majallah al Ahkam al Adliyyah 13/95-98 disebutkan:
“Hukum menerima hadiah yang diberikan karena yang diberi hadiah punya jabatan tertentu hukumnya adalah haram karena ketika Rasulullah mengetahui ada seorang pegawai baitul mal menerima hadiah Nabi berkhutbah di atas mimbar seraya berkata, “Andai dia duduk di rumah ibu dan bapaknya, apakah dia akan mendapatkan hadiah?!” (HR. Bukhari)
Demikian juga ketika Khalifah Umar mengetahui ada seorang pegawai baitul mal yang pulang membawa banyak hadiah, beliau menanyainya, “Dari mana kau dapatkan barang-barang ini?” Pegawai tersebut mengatakan bahwa itu adalah hadiah. Mendengar jawaban tersebut beliau lantas membacakan sabda Rasul di atas dan menetapkan hadiah-hadiah tersebut untuk baitul maal.
Umar bin Abdul Aziz berkata,
إنَّ الْهَدَايَا كَانَتْ هَدَايَا فِي عَهْدِ الرَّسُولِ أَمَّا فِي زَمَانِنَا فَقَدْ أَصْبَحَتْ رِشْوَةً
“Hadiah adalah hadiah di masa Rasulullah. Sedangkan di zaman kita telah berubah menjadi suap.”
Dengan pertimbangan tersebut maka tidak diperbolehkan (bagi pejabat, pent) untuk menerima hadiah yang bukan berasal dari orang yang telah menjadi teman dan koleganya (sebelum punya jabatan, pent). Karena hadiah yang tidak seperti itu adalah suap terselubung.
Semua hadiah yang diterima para pejabat negara itu hukumnya sama dengan hadiah yang diterima oleh seorang hakim.
Hadiah bisa dibagi menjadi tiga kategori:
1. Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi. Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk hakim dan pejabat semisal hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat negara tidak boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata lain, menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah menjadi haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat. Hadiah yang jadi topik utama kita saat ini adalah hadiah jenis ini.
2. Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal hadiah untuk mendukung kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa karena telah melakukan suatu yang haram. Hadiah semisal ini wajib dikembalikan kepada yang memberikannya. Hadiah jenis ini haram untuk seorang hakim maupun orang biasa.
3. Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa takut terhadap gangguan orang yang diberi, seandainya tidak diberi baik gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh dilakukan oleh yang memberi namun haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang lain itu hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk melakukan sesuatu yang hukumnya wajib.
Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah meski bukan dari orang yang sedang berperkara. Seorang hakim (dan pejabat, pent) haram menerima hadiah baik nilainya banyak ataupun sedikit bahkan meski barang yang remeh baik setelah menjatuhkan keputusan ataupun sebelumnya.
Seorang hakim (demikian pula pejabat, pent) tidak boleh meminjam barang, mencari hutang atau membeli barang dari seseorang dengan harga kurang dari harga standar. Demikian juga tidak boleh menerima suap dari pihak yang benar maupun pihak yang salah dari pihak yang sedang bersengketa.
Seorang hakim (dan pejabat, pent) wajib memulangkan hadiah kepada orang yang memberikannya. Jika hadiah tersebut telah dikomsumsi maka wajib diganti dengan barang yang serupa.
Jika yang memberi hadiah tidak diketahui keberadaannya atau diketahui namun memulangkan hadiah adalah suatu yang tidak mungkin karena posisinya yang terlalu jauh, maka barang tersebut hendaknya dinilai sebagai barang temuan (luqothoh) dan diletakkan di baitul maal.
Pemberian hadiah kepada seorang hakim itu karena posisinya sebagai hakim sehingga hadiah tersebut merupakan hak masyarakat umum. Oleh karena itu, wajib diletakkan di baitul maal yang memang dimaksudkan untuk kepentingan umum. Namun status barang ini di baitul maal adalah barang temuan artinya jika yang punya sudah diketahui maka barang tersebut akan diserahkan kepada pemiliknya.
Jika seorang hakim (atau pejabat, pent) berkeyakinan bahwa menolak hadiah yang diberikan oleh orang yang punya hubungan baik dengannya itu menyebabkan orang tersebut tersakiti, maka hakim boleh menerima hadiah tersebut asalkan setelah menyerahkan uang senilai barang tersebut kepada orang yang memberi hadiah.
Seorang hakim (atau pejabat, pent) boleh menerima hadiah dari tiga macam orang:
1. Dari orang yang mengangkatnya sebagai hakim dan orang yang jabatannya lebih tinggi darinya. Namun bawahan tidak boleh memberi hadiah kepada atasannya.
2. Dari kerabat yang masih berstatus mahram dengan syarat kerabat tersebut tidak sedang mendapatkan masalah. Menolak hadiah dari kerabat yang masih mahram itu menyebabkan putusnya tali silaturahmi dan ini haram. Namun sebagian ulama mempersyaratkan bahwa sebelum diangkat sebagai hakim antara hakim dan kerabatnya tersebut telah biasa saling memberi hadiah.
3. Dari sahabat dan orang-orang yang punya hubungan baik yang telah biasa memberi hadiah sebelum hakim ini menjabat sebagai hakim dengan catatan hadiah tersebut nilainya tidak lebih dari nilai hadiah sebelum diangkat sebagai hakim. Dalam kondisi ini hadiah bukanlah karena jabatan namun karena mempertahankan kebiasaan sehingga tidak dikhawatirkan berfungsi sebagai suap. Cukup sekali untuk bisa disebut punya kebiasaan memberi hadiah.
Syarat yang lain, pemberi hadiah tidak sedang memiliki kasus. Jika pemberi hadiah sedang memiliki kasus maka hakim wajib memulangkan semua hadiah karena dalam hal ini sebab hadiah adalah jabatan sebagai hakim. Setelah kasus orang tersebut berakhir hakim tetap tidak boleh menerima hadiah orang tersebut yang sebelumnya sudah biasa memberi hadiah.
Jika ada orang yang biasa memberi hadiah sebelum memiliki jabatan namun setelah menjabat nilai hadiahnya bertambah maka wajib memulangkan 'tambahan nilai’ yang diberikan dikarenakan jabatan. Namun jika 'nilai tambahan’ tersebut tidak bisa disendirikan maka keseluruhan hadiah wajib dipulangkan.
Misal:
Sebelum menjabat orang tersebut biasa memberi hadiah kain dari kapas. Tapi setelah menjabat, hadiahnya berupa kain sutra. Dalam kondisi ini keseluruhan hadiah wajib dipulangkan karena ‘nilai tambahannya’ tidak bisa dipisahkan.

Ini berlaku jika harta yang memberi hadiah tidak bertambah banyak setelah orang tersebut punya jabatan. Artinya jika ‘nilai tambahan’ tersebut dikarenakan yang biasa memberi hadiah memang telah makin kaya maka hakim (atau pejabat tersebut, pent) boleh menerima ‘nilai tambah’ tadi.
Ustadz Aris Munandar
Sumber: ustadzaris.com

Pandangan Syariat Terhadap Pajak dan Bea Cukai

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Selasa, 16 Februari 2010 10:52 | Dibaca : 2210 kali

Pertanyaan:

قرأت في كتاب ( الزواجر عن اقتراف الكبائر ) لابن حجر الهيتمي في حكم المكوس ، ونهي النبي صلى الله عليه وسلم عنها ، وأن أصحابها أشد الناس عذابا يوم القيامة ، وكثير من الدول يعتمد اقتصادها على تحصيل الرسوم الجمركية على الواردات والصادرات وهذه الرسوم بالتالي يقوم التجار بإضافتها إلى ثمن البضاعة المباعة بالتجزئة للجمهور ، وبهذه الأموال المحصلة تقوم الدولة بمشروعاتها المختلفة لبناء مرافق الدولة . فأرجو توضيح حكم هذه الرسوم وحكم الجمارك والعمل بها وهل يعتبر نفس حكم المكوس أم لا يعتبر نفس الحكم ؟.

Saya membaca buku al Zawajir ‘an Iqtiraf al Kabair karya Ibnu Hajar al Haitami tentang hukum maks (pajak) dan larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut. Di sana juga disebutkan bahwa pemungut maks adalah manusia yang paling keras siksaannya pada hari Kiamat nanti.
Di sisi lain, banyak negara yang perekonomiannya mengandalkan bea cukai atas barang impor ataupun barang ekspor. Pada gilirannya bea cukai ini oleh produsen dibebankan kepada konsumen sehingga harga barang tersebut menjadi lebih mahal. Dari uang bea cukai ini negara mengadakan berbagai proyek untuk membangun berbagai fasilitas negara. Saya berharap akan adanya penjelasan tentang hukum pajak dan bea cukai serta bekerja di bidang itu. Apakah hukum pajak itu sama dengan hukum maks ataukah berbeda?”

فيما يلي نص فتوى اللجنة الدائمة للإفتاء
تحصيل الرسوم الجمركية من الواردات والصادرات من المكوس ، والمكوس حرام ، والعمل بها حرام ، ولو كانت ممن يصرفها ولاة الأمور في المشروعات المختلفة كبناء مرافق الدولة لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن أخذ المكوس وتشديده فيه ،
Jawaban dari Lajnah Daimah:
“Bea cukai atas barang impor atau ekspor itu termasuk maks sedangkan maks adalah haram.
Oleh karena itu, bekerja di bidang itu hukumnya haram meskipun pajak tersebut dibelanjakan oleh negara untuk mengadakan berbagai proyek semisal membangun berbagai fasilitas negara. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bahkan memberi ancaman keras untuk perbuatan mengambil maks.

فقد ثبت في حديث عبد الله بن بريدة عن أبيه في رجم الغامدية التي ولدت من الزنا أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له ) الحديث رواه أحمد ومسلم وأبو داوود
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya tentang dirajamnya wanita dari suku al Ghamidiyyah setelah melahirkan anak karena zina. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang wanita tersebut, “Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya penarik maks (baca: pajak) bertaubat seperti itu niscaya Allah akan mengampuninya.” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud)

وروى أحمد وأبو داوود والحاكم عن عقبة بن عامر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( لا يدخل الجنة صاحب مكس ) وصححه الحاكم
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan al Hakim dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Penarik pajak itu tidak akan masuk surga." Hadits ini dinilai sahih oleh al Hakim.

وقد قال الذهبي في كتابه الكبائر : والمكاس داخل في عموم قوله تعالى : ( إنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون
في الأرض بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم ) الشورى/42 .
Dalam al Kabair, adz Dzahabi mengatakan:

“Pemungut pajak itu termasuk dalam keumuman firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (Qs. asy Syura: 42)

والمكاس من أكبر أعوان الظلمة بل هو من الظلمة أنفسهم فإنه يأخذ ما لا يستحق ، واستدل على ذلك بحديث بريدة وحديث عقبة المتقدمين ثم قال : والمكاس فيه شبه من قاطع الطريق وهو من اللصوص ، وجابي المكس وكاتبه وشاهده وآخذه من جندي وشيخ وصاحب راية شركاء في الوزر آكلون للسحت والحرام . انتهى .
Pemungut pajak adalah termasuk pembantu bagi penguasa zalim yang paling penting. Bahkan pemungut pajak itu termasuk pelaku kezaliman karena mereka mengambil harta yang tidak berhak untuk diambil.”
Adz Dzahabi lantas berdalil dengan hadits dari Buraidah dan ‘Uqbah yang telah disebutkan di atas. Setelah itu adz Dzahabi mengatakan, “Pemungut pajak itu memiliki kesamaan dengan pembegal bahkan dia termasuk pencuri. Pemungut pajak, jurus tulisnya, saksi dan semua pemungutnya baik seorang tentara, kepala suku atau kepala daerah adalah orang-orang yang bersekutu dalam dosa. Semua mereka adalah orang-orang yang memakan harta yang haram.” Sekian kutipan dari al Kabair.

ولأن ذلك من أكل أموال الناس بالباطل وقد قال تعالى :( ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل ) البقرة/188
Dalam pajak terdapat perbuatan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar padahal Allah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang tidak benar.” (Qs. al Baqarah: 188)

ولما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال في خطبته بمنى يوم العيد في حجة الوداع : ( إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا في بلدكم هذا في شهركم هذا ) .
Ketika memberikan khutbah di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah ketika haji wada': Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian itu tidak boleh diganggu sebagaimana kehormatan hari ini, di negeri ini dan bulan ini.”

فعلى المسلم أن يتقي الله ويدع طرق الكسب الحرام ويسلك طرق الكسب الحلال وهي كثيرة ولله الحمد ومن يستغن يغنه الله
Menjadi kewajiban setiap muslim untuk bertakwa kepada Allah dengan meninggalkan cara-cara mendapatkan rezeki yang haram dan memilih cara-cara mendapatkan rezeki yang halal yang jumlahnya banyak, Alhamdulillah. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang halal maka Allah akan memberi kecukupan untuknya.

قال الله تعالى : (ومن يتق الله يجعل له مخرجا * ويرزقه من حيث لا يحتسب ومن يتوكل على الله فهو حسبه إن الله بالغ أمره قد جعل الله لكل شيء قدرا ) الطلاق/2-3
Allah berfirman yang artinya: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs. ath Thalaq:2-3)

وقال : ( ومن يتق الله يجعل له من أمره يسرا ) الطلاق/ 4
Allah juga berfirman yang artinya, “Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Qs. ath Thalaq:4)

وبالله التوفيق
فتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء 23 / 489
Demikian yang terdapat dalam Fatwa al Lajnah al Daimah lil Ifta’ jilid 23 halaman 489.
Sumber: http://islamqa.com
Ustadz Aris Munandar
Diambil dari: ustadzaris.com

Mencari Solusi Bank Syariah

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Sholih on Jumat, 12 Februari 2010 10:48 | Dibaca : 1994 kali

Segala puji hanya milik Allah Ta'ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amin.

Syariat Islam –segala puji hanya milik Allah- bersifat universal, mencakup segala urusan, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun muamalah, sehingga syariat Islam benar-benar seperti difirmankan Allah subhanahu wa ta'ala.

"Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu." (Qs. al-Ma'idah/5:3)

Alhamdulillah, fakta ilahi ini mulai disadari kembali oleh umat Islam, sehingga kini, kita mulai mendengar berbagai seruan untuk menerapkan syariat ilahi ini dalam segala aspek kehidupan. Termasuk wujud dari kesadaran ini, yakni berdirinya berbagai badan keuangan (perbankan) yang mengklaim dirinya berazaskan syariat. Fenomena ini patut mendapatkan perhatian, partisipasi dan dukungan dari kita, agar laju perkembangan dan langkahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam. Dan pada kesempatan ini, saya ingin sedikit berpartisipasi, yaitu dengan menyebutkan beberapa hal, yang menurut hemat saya perlu dikritisi.

Semoga yang saya lakukan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari saudara-saudara kita yang berkepentingan dalam masalah ini.

TINJAUAN PERTAMA: PERANAN GANDA PERBANKAN SYARIAT

Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan suatu kejanggalan, yaitu peran status ganda perbankan yang saling bertentangan.

Untuk menjelaskan permasalahan ini, cermatilah skema berikut:

Gambar 1: Skema Peran Perbankan Syariah
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, yaitu bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.

Status ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud dengan amanah dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Sehingga, bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil." (1)

Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah, ia berkata, "Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi'i dan aku tidak mengetahui ada ulama' lain yang menyelisihinya." (2)

Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). Para ulama menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah: karena hasil/ keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil. (3)

TINJAUAN KEDUA: BANK TIDAK MEMILIKI USAHA RIIL

Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah ta'ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak berisiko.

Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah. (4)

Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di atas.

TINJAUAN KETIGA: BANK TIDAK SIAP MENANGGGUNG KERUGIAN
Andai kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias riba.

Para ulama' dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari'ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil (5). Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya ada adalah satu dari dua hal berikut:
1. Akad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga masing-masing pihak terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya.
2. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.
Sebagai contoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal kepada Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp 20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syariah Yogyakarta akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp 100.000.000,-.

Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan: Alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha: dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali, yaitu: Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank.

Contoh lain dari produk perbankan syariat ialah bai' al-Murabahah. Bentuknya kurang lebih demikian; bila ada seseorang yang ingin memiliki motor, ia dapat mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah agar Bank tersebut membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank akan segera mengadakan barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya kepada pemesan, dengan ketentuan yang sebelumnya telah disepakati. (6)

Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati lebih seksama, maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha untuk menutup segala risiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan barang yang dimaksud, bank telah membuat kesepakatan jual-beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian, bank telah menjual barang yang belum ia miliki, dan itu adalah terlarang.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

Dari sahabat Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya" Ibnu 'Abbas berkata: "Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan." (Muttafaqun 'alaih)

Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِي لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ لَا تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ رواه أبو داود والحاكم

"Dari sahabat Ibnu 'Umar, ia mengisahkan: "Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut). Tiba-tiba, ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: 'Janganlah engkau menjual minyak itu di tempat engkau membelinya, hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing." (HR Abu Dawud dan al-Hakim) (7)

Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.

Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu ketika muridnya, yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ كَيْفَ ذَاكَ قَالَ ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ

Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Bagaimana kok demikian?" Ia menjawab: "Itu, karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda." (8)

Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana berikut: "Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja." (9)

TINJAUAN KEEMPAT: SEMUA NASABAH MENDAPATKAN BAGI HASIL
Perbankan syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.

Hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan.

Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariat untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada periode Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana dari nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, akan tetapi, dana yang berhasil mereka gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah. (10)

TINJAUAN KELIMA: METODE BAGI HASIL YANG BERBELIT-BELIT
Bila kita datang ke salah satu kantor perbankan syariah yang terdekat dengan rumah kita, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang metode pembagian hasil. Untuk dapat memahami metode pembagian hasil tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya rendah.

Berikut adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di Indonesia:



E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana nasabah.

Dapat dilihat dengan jelas,bahwa salah satu pengali dalam perhitungan hasil pada skema di atas adalah total modal (dana) nasabah. Adapun dalam akad mudharabah, maka yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, oleh karenanya akad ini dinamakan bagi hasil.

Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, "Rukun mudharabah kelima adalah keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, di antaranya, keuntungan hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama memilikinya, dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka ditentukan dalam prosentase."(11)

Inilah yang menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar syar'i sangat simpel, dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian hasil dalam akad mudharabah:

Bagi hasil nasabah = keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh bank.

Perbedaan antara dua metode di atas dapat dipahami dengan jelas melalui contoh berikut.

Pak Ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian 50 % untuk pemodal dan 50 % untuk pelaku usaha (bank), dan total uang yang dikelola oleh bank sejumlah 10.000.000.000,- (10 miliar). Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah 1 % dari keseluruhan dana yang dikelola oleh bank.

Pada akhir bulan, bank berhasil membukukan laba bersih sebesar 1.000.000.000 (1 miliar). Operator bank -setelah melalui perhitungan yang berbelit-belit pula- menentukan bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp. 1.000,- adalah Rp 11,61.

Bila kita menggunakan metode perbankan syariat, maka hasilnya adalah sebagai berikut:



Dengan metode ini, Pak Ahmad hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 580.500,- saja.

Sedangkan bila kita menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya, maka hasilnya sebagai berikut:



Dengan metode penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, Pak Ahmad berhak mendapatkan bagi hasil sebesar Rp: 5.000.000,-. Metode pembagian yang diterapkan oleh bank berbelit-belit dan merugikan nasabah.

Yang lebih rumit lagi adalah metode bank dalam menentukan pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah. Berikut salah satu contoh dari metode yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariat di Indonesia:



Metode perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit ini, membuktikan bahwa perbankan syariat yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya. Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariat yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syari'ah.

SOLUSI PERBANKAN
Untuk menyiasati beberapa kritik di atas, maka berikut beberapa usulan yang mungkin dapat diterapkan oleh perbankan yang benar-benar ingin menerapkan sistem perbankan yang Islami.

1. Pemilahan Nasabah Berdasarkan Tujuan Masing-Masing
Secara global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan dananya di bank menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, nasabah yang semata-mata bertujuan untuk mengamankan hartanya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang ada.

Masing-masing kelompok nasabah ini memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda, sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Berdasarkan pemilahan ini pula, pihak operator perbankan dapat menentukan hak dan kewajibannya terhadap masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis pertama dapat dimanfaatkan dalam membiayai berbagai usaha yang menguntungkan, dan sepenuhnya keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah jenis pertama ini, bank dapat membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bahwa bank akan mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding dana oprasionalnya.

Di antara keuntungan pemilahan ini, perbankan akan terhindar dari over likuidasi, karena bank tidak akan pernah menerima dana investasi, melainkan setelah membuka peluang usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk memberikan keuntungan kepada nasabah, kecuali bila dananya benar-benar telah disalurkan dan menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula, prinsip mudharabah benar-benar akan dapat diterapkan, sehingga penghitungan hasil akan dapat ditempuh dengan metode yang simpel dan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah keuntungan yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing nasabah.

2. Perbankan Terjun Langsung ke Sektor Riil
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa untuk menjalankan operasional, suatu bank pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, agar bank terkait dapat memenuhi kebutuhannya ini, ia harus memiliki berbagai unit usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya perbankan hanya mencukupkan diri dengan menjadi pihak penyalur dana semata, tanpa terjun langsung dalam usaha nyata. Dengan demikian, keuntungan yang didapatkan oleh bank benar-benar keuntungan yang halal dan bukan hasil menghutangkan dana kepada pihak ketiga. Selama perbankan tidak terjun langsung dalam dunia usaha nyata dan hanya mencukupkan dirinya sebagai penyalur dana nasabah, maka riba tidak akan pernah dapat dihindarkan.

Dengan cara ini, keberadaan perbankan syariah akan benar-benar menghidupkan perekonomian umat Islam. Karena dengan cara ini, perbankan pasti membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Sebagaimana perbankan Islami akan menjadi produsen sekaligus konsumen bagi produk-produk yang beredar di masyarakat.

Sebagai konsekuensi dari hal ini, tentu kedua belah pihak yaitu nasabah yang menginvestasikan dananya ke proyek-proyek perbankan dan juga pihak operator bank siap untuk menanggung segala risiko dunia usaha. Pemodal menanggung kerugian dalam bentuk materi, dan pelaku usaha menanggung kerugian skiil.

3. Perbankan Menerapkan Mudharabah Sepihak
Pada saat sekarang ini, amanah dan kepercayaan susah untuk didapatkan, bahkan yang sering terjadi di masyarakat kita ialah sebaliknya; pengkhianatan dan kedustaan. Oleh karena itu, sangat sulit bagi kita, terlebih lagi bagi suatu badan usaha untuk menerapkan sistem mudharabah dengan sepenuhnya. Untuk mensiasati keadaan yang memilukan ini, saya mengusulkan agar perbankan syari'at yang ada menerapkan mudharabah sepihak.

Yang saya maksud dengan mudharabah sepihak ialah, perbankan menerima modal dari masyarakat untuk menjalankan berbagai unit usaha yang ia kelola, akan tetapi perbankan tidak menyalurkan modalnya ke masyarakat dengan skema mudharabah. Dengan cara ini, dana nasabah yang disalurkan ke perbankan syari'ah dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas, dan perbankan terhindar dari berbagai kejahatan pihak-pihak yang tidak memiliki amanah dan rasa takut kepada Allah Ta'ala.

Pada akhirnya, apa yang kami paparkan di atas adalah semata-mata sebatas ilmu yang kami miliki. Sehingga bila didapatkan kebenaran, maka itu adalah murni berasal dari taufik dan 'inayah Allah Ta'ala. Sebaliknya, bila terdapat kesalahan, maka itu bersumber dari setan dan kebodohan saya.

Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga dapat meninggalkan riba beserta seluruh piranti dan perangkapnya, dan dimudahkan untuk mendapatkan rizki yang halal.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
(Penulis adalah Kandidat Doktor Fiqih, Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah - Saudi Arabia dan Pembina Komunitas Pengusaha Muslim)

(Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016)
Footnote:
(1) Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi (5/132). Silakan baca juga at-Tahzib, Imam al-Baghawi (4/392), Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Sa'ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu (hlm. 202).
(2) Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156.
(3) Lihat al-'Aziz, ar-Rafi'i (6/27-28), Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi (5/132), al-Mughni, Ibnu Qudamah (7/158), Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil- Islâmi, Dr. Saad bin Gharir as-Silmy (hlm. 202).
(4) Metode ini membuat kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba mendirikan perbankan syariah. Bahkan beberapa negara kafir tersebut –misalnya Singapura- telah memproklamirkan diri sebagai pusat perekonomian syariah (perbankan syariah). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Majalah Modal melansir pernyataan bapak Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR RI): "Tidak ada istilah ekonomi syariah dan ekonomi non syari'ah, karena itu hanya soal penamaan saja." Lihat Majalah Modal, Edisi 18/II April 2004, hlm. 19.
(5) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah (7/145), al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (38/64).
(6) Bank Syariah, dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, hlm. 171.
(7) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqîq. Lihat Nasbu ar-Rayah (4/43) dan at-Tahqîq (2/181).
(8) Riwayat Bukhari dan Muslim.
(9) Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/348-349.
(10) Majalah Modal, Edisi 19/II-MEI 2004, hlm. 25.
(11) Nihayatu az-Zain, Muhammad Nawawi al-Jawi, hlm. 254.
Jual Beli via Internet

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Ibnu Munzir on Kamis, 28 Januari 2010 14:55 | Dibaca : 2724 kali

Umumnya transaksi dilakukan dengan hadirnya dua orang yang mengadakan transaksi dan adanya kerelaan kedua belah pihak yang dibuktikan dengan ijab dari penjual dan qobul dari pembeli. Seiring perkembangan teknologi, terdapat beberapa alat yang bisa digunakan dari jarak jauh. Ada yang dengan suara melalui telepon atau dengan mengirimkan salinan surat perjanjian via faks atau dengan tulisan via internet. Apakah transaksi sah meski dua orang yang bertransaksi tidak berada dalam satu tempat? Apakah komunikasi yang dilakukan melalui piranti di atas sudah dinilai cukup?
Analog dengan Kasus di Masa Silam
Transaksi via tulisan (baca: faks atau internet) bisa dianalogkan dengan transaksi dengan tulisan yang ditujukan kepada orang yang tidak berada di majelis transaksi. Kasus semacam ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena adanya saling rela, meski kerelaan pihak kedua tidak langsung terwujud. Hal ini tidaklah masalah asalkan ada qobul (penyataan menerima dari pihak kedua) pada saat surat sampai kepada pihak kedua. Inilah pendapat mayoritas ulama. Tapi ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang tidak membolehkannya.
Sedangkan transaksi via suara (baca: telepon) bisa dianalogkan dengan transaksi dengan cara saling berteriak dari jarak yang berjauhan. An Nawawi dalam al Majmu’ 9/181 mengatakan, “Andai ada dua orang yang saling berteriak dari kejauhan maka jual beli sah tanpa ada perselisihan”.
Para ulama mempersyaratkan adanya kesatuan majelis untuk selain transaksi hibah, wasiat dan mewakilkan.
Ijab dan qobul disyaratkan harus berturut-turut dan tolak ukur berturut-turut adalah kembali pada urf (kebiasaan masyarakat setempat). Menurut mayoritas ulama (selain Syafi’iyyah), qobul tidak diharus sesegera mungkin demi mencegah adanya pihak yang dirugikan dan supaya ada kesempatan untuk berpikir.
Jika ijab itu via surat maka disyaratkan adanya qobul dari pihak kedua pada saat surat sampai ke tangannya.
Demikian pula disyaratkan adanya kesesuaian antara ijab dan qobul serta tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa salah satu pihak yang bertransaksi membatalkan transaksi.
Menurut mayoritas ulama pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama) boleh meralat ijabnya.
Pendapat Ulama Kontemporer
Banyak ulama kontemporer yang berpendapat bahwa transaksi dengan piranti-piranti modern adalah sah dengan syarat ada kejelasan dalam transaksi tersebut. Di antara mereka adalah Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i, Mushthofa az Zarqa’, Wahbah Zuhaili dan Abdullah bin Mani’. Alasan beliau-beliau adalah sebagai berikut:
1. Berdasar pendapat banyak ulama di masa silam yang menyatakan sahnya transaksi via surat menyurat dan jika ijab (penyataan pihak pertama) adalah sah setelah sampainya surat ke tangan pihak kedua. Demikian pula mengingat sahnya transaksi dengan cara berteriak.
2. Yang dimaksud dengan disyaratkannya ‘kesatuan majelis transaksi’ adalah adanya suatu waktu yang pada saat itu dua orang yang mengadakan transaksi sibuk dengan masalah transaksi. Bukanlah yang dimaksudkan adalah adanya dua orang yang bertransaksi dalam satu tempat.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka majelis akad dalam pembicaraan via telepon adalah waktu komunikasi yang digunakan untuk membicarakan transaksi.
Jika transaksi dengan tulisan maka majelis transaksi adalah sampainya surat atau tulisan dari pihak pertama kepada pihak kedua. Jika qobul tertunda dengan pengertian ketika surat sampai belum ada qobul dari pihak kedua maka transaksi tidak sah.
Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i ditanya tentang hukum mengadakan transaksi dengan telegram. Jawaban beliau, telegram itu seperti hukum surat menyurat. Cuma telegram itu lebih cepat. Akan tetapi mungkin saja terjadi kekeliruan. Oleh karena itu, ada keharusan untuk klarifikasi dengan sarana-sarana yang ada pada saat ini semisal telepon atau yang lainnya.
Semisal dengan telegram adalah faks.
Untuk sarana-sarana yang lain maka boleh jadi sama dengan telepon dan telegram dalam kecepatan dan kejelasan komunikasi atau lebih baik lagi. Jika sama maka hukumnya juga sama. Jika lebih baik maka tentu lebih layak untuk dibolehkan.
Majma’ Fiqhi Islami di Muktamarnya yang keenam di Jeddah juga menetapkan bolehnya mengadakan transaksi dengan alat-alat komunikasi modern. Transaksi ini dinilai sebagaimana transaksi dua orang yang berada dalam satu tempat asalkan syarat-syaratnya terpenuhi. Akan tetapi tidak diperbolehkan untuk menggunakan sarana-sarana ini itu transaksi sharf/penukaran mata uang karena dalam sharf disyaratkan serah terima secara langsung.
Demikian pula transaksi salam karena dalam transaksi salam modal harus segera diserahkan begitu setelah transaksi dilaksanakan.
Namun menurut Wahbah Zuhaili, jika terdapat serah terima mata uang dalam transaksi sharf dan modal dalam transaksi salam bisa diserahkan denga menggunakan sarana-sarana komunikasi modern tersebut maka transaksi sah dan hal ini adalah suatu hal yang memungkinkan untuk beberapa model transaksi yang baru.
Syarat yang ditetapkam Majma Fiqhi adalah sebagai berikut:
1. Adanya kejelasan tentang siapa pihak-pihak yang mengadakan transaksi supaya tidak ada salah sangka, kerancuan dan pemalsuan dari salah satu pihak atau dari pihak ketiga.
2. Bisa dipastikan bahwa alat-alat yang digunakan memang sedang dipakai oleh orang dimaksudkan. Sehingga semua perkataan dan pernyataan memang berasal dari orang yang diinginkan.
3. Pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama, penjual atau semisalnya) tidak membatalkan transaksi sebelum sampainya qobul dari pihak kedua. Ketentuan ini berlaku untuk alat-alat yang menuntut adanya jeda untuk sampainya qobul.
4. Transaksi dengan alat-alat ini tidak menyebabkan tertundanya penyerahan salah satu dari dua mata uang yang ditukarkan karena dalam transaksi sharf/tukar menukar mata uang ada persyaratan bahwa dua mata uang yang dipertukarkan itu telah sama-sama diserahkan sebelum majelis transaksi bubar. Demikian juga tidak menyebabkan tertundanya penyerahan modal dalam transaksi salam karena dalam transaksi salam disyaratkan bahwa modal harus segera diserahkan.
5. Tidak sah akad nikah dengan alat-alat tersebut (hp, internet dll) karena adanya saksi adalah syarat sah akad nikah.
***
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Dipublikasi ulang dari ustadzaris.com

Seputar Akad

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Ibnu Munzir on Senin, 25 Januari 2010 14:07 | Dibaca : 1603 kali

Pengertian Akad
Dalam bahasa Arab istilah akad memiliki beberapa pengertian namun semuanya memiliki kesamaan makna yaitu mengikat dua hal. Dua hal tersebut bisa konkret, bisa pula abstrak semisal akad jual beli.
Sedangkan secara istilah akad adalah menghubungkan suatu kehendak suatu pihak dengan pihak lain dalam suatu bentuk yang menyebabkan adanya kewajiban untuk melakukan suatu hal. Contohnya adalah akad jual beli.
Di samping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu kemantapan hati seseorang untuk harus melakukan sesuatu baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Berdasarkan makna luas ini maka nadzar dan sumpah termasuk akad.
Akad dengan makna luas inilah yang Allah inginkan dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." (Qs. al Maidah: 1)
Rukun Akad
Ada tiga rukun akad yaitu dua pihak yang mengadakan transaksi, objek transaksi dan shighah/pernyataan resmi adanya transaksi.
Dua pihak yang mengadakan transaksi adalah dua pihak yang secara langsung menangani sebuah transaksi. Agar sebuah akad atau transaksi itu sah maka pihak yang mengadakan transaksi haruslah orang yang dalam sudut pandang fiqh memiliki kapasitas untuk melakukan transaksi.
Dalam sudut pandang fiqh orang yang memiliki kapasitas untuk mengadakan transaksi adalah orang yang memenuhi kriteria berikut:
Pertama, rusyd yaitu kemampuan untuk membelanjakan harta dengan baik. Kemampuan ini dimiliki oleh orang yang baligh, bukan anak kecil, dan berakal, bukan orang gila. Di samping itu orang tersebut juga tidak sedang di-hajr. Hajr dalam hal ini adalah hukuman yang tetapkan oleh hakim terhadap seseorang berupa tidak boleh mengadakan transaksi. Hal ini disebabkan orang tersebut sedang terlilit hutang atau dinilai tidak bisa memegang uang dengan baik.
Kedua, tidak dipaksa. Oleh karena itu transaksi yang diadakan oleh orang yang dalam kondisi dipaksa itu tidak sah kecuali jika pemaksaan yang dilakukan dalam hal ini memang bisa dibenarkan secara hukum syariat. Contohnya adalah penghutang yang menunda-nunda untuk melunasi hutangnya tanpa alasan atau orang yang pailit dipaksa oleh pihak pengadilan untuk menjual hartanya dalam rangka melunasi hutang yang menjadi kewajibannya.
Sebuah transaksi itu bersifat mengikat yaitu tidak bisa lagi dibatalkan jika tidak mengandung khiyar. Khiyar adalah hak yang dimiliki oleh dua belah pihak yang mengadakan transaksi untuk melanjutkan transaksi ataukah membatalkannya.
Objek Transaksi
Yang dimaksud dengan objek transaksi adalah semisal barang yang hendak diperjualbelikan dalam transaksi jual beli dan barang yang hendak disewakan dalam transaksi sewa.
Agar sebuah transaksi sah maka objek transaksi harus memenuhi kriteria berikut ini:
1. Barang tersebut adalah barang yang suci (bukan najis) atau terkena najis namun masih memungkinkan untuk dibersihkan. Oleh karena itu, transaksi dengan objek benda najis semisal bangkai tidaklah sah. Demikian pula, jika benda tersebut berlumuran najis dan tidak mungkin untuk dibersihkan semisal susu atau cuka atau benda cair yang lain ketika bercampur dengan najis. Jika memungkinkan untuk dipisahkan maka benda tersebut boleh menjadi objek transaksi.
2. Benda tersebut bisa dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang diizinkan oleh syariat. Bisa dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang diizinkan oleh syariat adalah asas untuk menilai suatu benda itu termasuk harta ataukah tidak dan memiliki nilai ataukah tidak. Oleh karena itu benda-benda yang tidak ada manfaatnya semisal benda-benda remeh yang tidak dilirik orang tidaklah sah jika dijadikan sebagai objek transaksi. Demikian pula, jika manfaat benda tersebut adalah manfaat yang haram semisal manfaat yang terkandung pada khamr dan semacamnya tidaklah sah dijadikan sebagai objek transaksi. Namun perlu diingat baik-baik bahwa status suatu benda bisa dimanfaatkan ataukah tidak itu bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Di masa silam barang rongsokan termasuk kategori benda tidak bernilai sehingga tidak sah jika dijadikan sebagai objek transaksi. Sedangkan di zaman sekarang barang rongsokan termasuk benda yang memiliki nilai jual.
3. Bisa diserahkan. Oleh karenanya, benda yang tidak ada tidaklah dijadikan objek transaksi. Demikian pula benda yang ada namun tidak bisa diserahkan. Benda-benda ini tidak sah dijadikan sebagai objek transaksi karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Sedangkan setiap transaksi yang mengandung gharar itu terlarang dalam syariat.
4. Telah dimiliki dengan sempurna oleh orang yang mengadakan transaksi. Karenanya, benda yang tidak bisa dimiliki tidaklah sah dijadikan sebagai objek transaksi.
5. Benda tersebut diketahui dengan jelas oleh orang yang mengadakan transaksi dalam transaksi langsung. Atau benda tersebut diketahui kadar, jenis dan bentuknya dalam transaksi tidak langsung. Jadi dalam transaksi jual beli langsung, benda yang menjadi objek transaksi disyaratkan bendanya telah diketahui secara jelas semisal jual beli mobil tertentu atau rumah tertentu. Akan tetapi jika transaksinya tidak langsung semisal transaksi salam maka disyaratkan benda yang akan diterima oleh pembeli itu diketahui kadar, jenis dan bentuknya. Transaksi salam adalah seorang penjual yang menjual barang yang sudah jelas ciri-cirinya namun barang ini baru bisa diterima oleh pembeli setelah transaksi diadakan sesuai dengan waktu yang telah disepakati.
Jika persyaratan di atas telah terpenuhi maka transaksi pada objek tersebut bersifat mengikat (baca: tidak bisa dibatalkan) jika tidak ada pada benda objek transaksi hal-hal yang menyebabkan munculnya hak khiyar semisal cacat pada barang.
Shighah
Yang dimaksud dengan shighah di sini adalah ungkapan yang digunakan oleh pihak yang mengadakan transaksi untuk mengekspresikan keinginannya. Ungkapan ini berbentuk kalimat-kalimat yang menunjukkan terjadinya transaksi. Shighah itu terdiri dari ijab dan qobul.
Menurut mayoritas ulama yang dimaksud dengan ijab adalah kalimat yang menunjukkan pemindahan kepemilikan. Sedangkan qobul adalah kalimat yang menunjukkan sikap menerima pemindahan kepemilikan. Sehingga yang menjadi tolak ukur ijab adalah jika yang mengeluarkan pernyataan tersebut adalah orang yang bisa memindahkan kepemilikan objek akad semisal penjual, orang yang menyewakan dan wali penganten perempuan. Suatu kalimat bernilai qobul jika dikeluarkan orang pemilik baru objek akad semisal pembeli, penyewa dan penganten laki-laki.
Jadi yang menjadi parameter bukanlah siapa yang pertama kali mengeluarkan pernyataan dan siapa yang nomer dua namun siapa pihak yang memindahkan kepemilikan dan siapa pihak yang menerima pemindahan kepemilikan.
Berbeda dengan pendapat para ulama hanafiyah yang mengatakan bahwa siapa yang mengeluarkan pernyataan pertama kali maka itulah orang yang melakukan ijab. Sedangkan pernyataan kedua adalah qobul apapun isi pernyataan tersebut.
***
Ustadz Aris Munandar
Sumber: ustadzaris.com
Multi Level Marketing Dalam Timbangan Syariat

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Ibnu Munzir on Selasa, 19 Januari 2010 10:02 | Dibaca : 3807 kali

Di tengah kelesuan dan keterpurukan ekonomi nasional, datanglah sebuah sistem bisnis yang banyak menjanjikan kesuksesan dan keberhasilan serta menawarkan kekayaan dalam waktu yang singkat. Sistem ini yang kemudian dikenal dengan istilah Multi Level Marketing (MLM) atau Networking Marketing. Banyak orang yang bergabung ke dalamnya, baik dari kalangan orang-orang awam ataupun dari kalangan para penuntut ilmu, bahkan –dari berita yang sampai pada kami- ada sebagian pondok pesantren yang mengembangkan sistem ini untuk pengembangan usaha pesantren. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah bisnis dengan model semacam ini diperbolehkan secara syar'i ataukah tidak? Sebuah permasalahan yang tidak mudah untuk menjawabnya, karena ini adalah masalah baru yang belum pernah disebutkan secara langsung dalam literatur para ulama' kita.
Namun Alhamdulillah Allah telah menyempurnakan syariat islam ini untuk bisa menjawab semua permasalahan yang akan terjadi sampai besok hari kiamat dengan berbagai nash dan kaedah-kaedah umum tentang masalah bisnis dan ekonomi.
Oleh karena itu dengan memohon petunjuk pada Allah, semoga tatkala tangan ini menulis dan akal berfikir, semoga Allah mencurahkan cahaya kebenaran-Nya dan menjauhkan dari segala tipu daya syaithan.
Wallahul Muwaffiq
KAEDAH PENTING BAGI PELAKU BISNIS
Ada dua kaedah yang sangat penting untuk bisa memahami hampir seluruh permasalahan yang berhubungan dengan hukum islam, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim:
"Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram kecuali kalau ada dalil yang memerintahkannya, sedangkan asal dari hukum transaksi dan mu'amalah adalah halal kecuali kalau ada dalil yang melarang." (Lihat I'lamul Muwaqqi'in 1/344)
Dalil ibadah adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang mengamalkan sesuatu yang tidak ada contohnya dari kami, maka akan tertolak." (HR. Muslim)
Adapun dalil masalah mu'amalah adalah firman Allah Ta'ala:
"Dia lah Allah yang telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu." (Qs. Al Baqoroh: 29)
Lihat Ilmu Ushul Al Bida' oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi, Al Qowa'id Al Fiqhiyah oleh Syaikh As Sa'di hal: 58.
Oleh karena itu apapun nama dan model bisnis tersebut pada dasarnya dihukumi halal selagi dilakukan atas dasar suka rela dan tidak mengandung salah satu unsur keharaman. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqoroh: 275)
juga firman Nya:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu." (Qs. An Nisa': 29)
Adapun hal-hal yang bisa membuat sebuah transaksi bisnis itu menjadi haram adalah:
1. Riba

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : الربا ثلاث و سبعون بابا أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه
Dari Abdullah bin Mas'ud berkata: Rasulullah bersabda: "Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri." (HR. Ahmad 15/69/230, lihat Shohihul Jami 3375)
2. Ghoror (adanya spekulasi yang tinggi) dan jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas)

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن بيع الغرر
Dari Abu Huroiroh berkata: "Rasulullah melarang jual beli ghoror." (HR. Muslim 1513)
3. Penipuan

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : مر رسول الله صلى الله عليه و سلم برجل يبيع طعاما فأدخل يده فيه فإذا هو مغشوش , فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ليس منا من غش
Dari Abu Huroiroh berkata: "Rasulullah melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda: "Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu." (HR. Muslim 1/99/102, Abu Dawud 3435, Ibnu Majah 2224)
4. Perjudian atau adu nasib
Firman Allah Ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khomer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbutan syaithan, maka jauhilah." (Qs. Al Maidah: 90)
5. Kedloliman
Sebagaimana firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil." (Qs. An Nisa': 29)
6. Yang dijual adalah barang haram

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إن الله إذا حرم على قوم أكل شيئ حرم علبهم ثمنه
Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya." (HR. Abu Dawud 3477, Baihaqi 6/13 dengan sanad shohih)
Lihat Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Zadul Ma'ad Imam Ibnul Qoyyim 5/746, Taudlihul Ahkam Syaikh Abdullah Alu Bassam 2/233, Ar Roudloh An Nadiyah 2/345, Al Wajiz Syaikh Abdul Adlim Al Badawi (hal: 332)
SEKILAS TENTANG MLM
Pengertian MLM
Secara umum Multi Level Marketing adalah suatu metode bisnis alternatif yang berhubungan dengan pemasaran dan distribusi yang dilakukan melalui banyak level (tingkatan), yang biasa dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah), orang akan disebut up line jika mempunyai down line. Inti dari bisnis MLM ini digerakkan dengan jaringan ini, baik yang bersifat vertikal atas bawah maupun horisontal kiri kanan ataupun gabungan antara keduanya. (Lihat All about MLM oleh Benny Santoso hal: 28, Hukum Syara' MLM oleh Hafidl Abdur Rohman, M.A.)
Kilas Balik Sejarah MLM
Akar dari MLM tidak bisa dilepaskan dari dengan berdirinya Amway Corporation dan produknya Nutrilite yang berupa makanan suplemen bagi diet agar tetap sehat. Konsep ini dimulai pada tahun 1930 oleh Carl Rehnborg, seorang pengusaha Amerika yang tinggal di Cina pada tahun 1917-1927. Setelah tujuh tahun melakukan eksperimen akhirnya dia berhasil menemukan makanan suplemen tersebut dan memberikan hasil temuannya kepada teman-temannya. Tatkala mereka ingin agar dia menjualnya pada mereka, Rehnborg berkata: "Kamu yang menjualnya kepada teman-teman kamu, dan saya akan memberikan komisi padamu."
Inilah praktek awal MLM, yang singkat cerita selanjutnya, perusahaan Rehnborg ini yang sudah bisa merekrut 15.000 tenaga penjualan dari rumah ke rumah dilarang beroperasi oleh pengadilan pada tahun 1951, karena mereka melebih-lebihkan peran dari makanan tersebut. Yang mana hal ini membuat Rich DeVos dan Jay Van Andel Distrobutor utama pruduk nutrilite tersebut yang sudah mengorganisasi lebih dari 2000 distributor mendirikan American Way Association yang akhirnya berganti nama menjadi Amway. (Lihat All About MLM hal: 23)
Sistem Kerja MLM
Secara global sistem bisnis MLM dilakukan dengan cara menjaring calon nasabah yang sekaligus berfungsi sebagai konsumen dan member dari perusahaan yang melakukan praktek MLM. Adapun secara terperinci bisnis MLM dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Mula-mula pihak perusahaan berusaha menjaring konsumen untuk menjadi member, dengan cara mengharuskan calon konsumen membeli paket produk perusahaan dengan harga tertentu.
2. Dengan membeli paket produk perusahaan tersebut, pihak pembeli diberi satu formulir keanggotaan (member) dari perusahaan.
3. Sesudah menjadi member maka tugas berikutnya adalah mencari calon member-member baru dengan cara seperti diatas, yakni membeli produk perusahaan dan mengisi formulir keanggotaan.
4. Para member baru juga bertugas mencari calon member-member baru lagi dengan cara seperti diatas yakni membeli produk perusahaan dan mengisi formulir keanggotaan.
5. Jika member mampu menjaring member-member baru yang banyak, maka ia akan mendapar bonus dari perusahaan. Semakin banyak member yang dapat dijaring, maka semakin banyak pula bonus yang akan didapatkan karena perusahaan merasa diuntungkan oleh banyaknya member yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan.
6. Dengan adanya para member baru yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan, maka member yang berada pada level pertama, kedua dan seterusnya akan selalu mendapatkan bonus secara estafet dari perusahaan karena perusahaan merasa diuntungkan dengan adanya member-member baru tersebut.
Diantara perusahaan MLM, ada yang melakukan kegiatan menjaring dana masyarakat untuk menanamkan modal diperusahaan tersebut, dengan janji akan memberikan keuntungan sebesar hampir seratus persen dalam setiap bulannya. (Lihat Fiqh Indonesia Himpunan Fatwa MUI DKI Jakarta hal: 285-287)
Ada beberapa perusahaan MLM lainnya yang mana seseorang bisa menjadi membernya tidak harus dengan menjual produk perusahaan namun cukup dengan mendaftarkan diri dengan membayar uang pendaftaran, selanjutnya dia bertugas mencari anggota lainnya dengan cara yang sama, semakin banyak angotanya maka akan semakin banyak bonus yang diperoleh dari perusahaan tersebut.
Kesimpulanya, memang ada sedikit perbedaan pada sistem setiap perusahaan MLM, namun semuanya berinti pada mencari anggota lalu dia bertugas mencari anggota lainnya, semakin banyak anggotanya akan semakin banyak bonus yang diperolehnya.
Hukum Syar'i Bisnis MLM
Beragamnya bentuk bisnis MLM membuat sulit untuk menghukumi secara umum, namun ada beberapa sistem MLM yang jelas keharamannya, yaitu yang menggunakan sistem sebagai berikut:
1. Menjual barang-barang yang diperjual belikan dalam sistem MLM dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga yang wajar, maka hukumnya haram karena secara tidak langsung pihak perusahaan telah menambahkan harga barang yang dibebankan kepada pihak pembeli sebagai sharing modal dalam akad syirkah mengingat pihak pembeli sekaligus akan menjadi member perusahaan yang apabila ia ikut memasarkan akan mendapatkan keuntungan secara estafet. Dengan demikian praktek perdagangan MLM mengandung unsur kesamaran atau penipuan karena terjadi kekaburan antara akad jual beli, syirkah sekaligus mudlorobah, karena pihak pembeli sesudah menjadi member juga berfungsi sebagai pekerja yang akan memasarkan produk perusahaan kepada calon pembeli atau member baru. (Lihat Fiqih Indonesia hal: 288)
2. Calon anggota mendaftar ke perusahaan MLM dengan membayar uang tertentu, dengan ketentuan dia harus membeli produk perusahaan baik untuk dijual lagi atau tidak dengan ketentuan yang telah ditetapkan untuk bisa mendapatkan point atau bonus. Dan apabila tidak bisa mencapai target tersebut maka keanggotaannya akan dicabut dan uangnya pun hangus. Ini diharamkan karena unsur ghoror (Spekulasi) nya sangat jelas dan ada unsur kedloliman terhadap anggota.
3. Calon anggota mendaftar dengan membayar uang tertentu, tapi tidak ada keharusan untuk membeli atau menjual produk perusahaan, dia hanya berkewajiban mencari anggota baru dengan cara seperti diatas, yakni membayar uang pendaftaran. Semakin banyak anggota maka akan semakin banyak bonusnya. Ini adalah bentuk riba karena menaruh uang diperusahaan tersebut kemudian mendapatkan hasil yang lebih banyak.
4. Mirip dengan yang sebelumnya yaitu perusahaan MLM yang melakukan kegiatan menjaring dana dari masyarakat untuk menanamkan modal di situ dengan janji akan diberikan bunga dan bonus dari modalnya. Ini adalah haram karena ada unsur riba.
5. Perusahaan MLM yang melakukan manipulasi dalam memperdagangkan produknya, atau memaksa pembeli untuk mengkonsumsi produknya atau yang dijual adalah barang yang haram. Maka MLM tersebut jelas keharamannya. Namun ini tidak cuma ada pada sebagian MLM tapi bisa juga pada bisnis model lainnya.
Kalau ada yang bertanya: "Okelah, kita sepakat bahwa MLM dengan beberapa model diatas telah jelas keharamannya, namun bagaimana sebenarnya hukum MLM secara umum?"
Saya paparkan disini keterangan dari Syaikh Salim Al Hilali hafidlohullah. (1) Beliau berkata:
"Banyak pertanyaan seputar bisnis yang banyak diminati oleh khalayak ramai. Yang secara umum gambarannya adalah mengikuti program piramida dalam sistem pemasaran, dengan cara setiap anggota harus mencari anggota-anggota baru dan demikian terus selanjutnya. Setiap angota membayar uang pada perusahaan dengan jumlah tertentu dengan iming-iming dapat bonus, semakin banyak anggota dan semakin banyak memasarkan produknya maka akan semakin banyak bonus yang dijanjikan. Sebenaranya kebanyakan anggota MLM ikut bergabung dengan perusahaan tersebut adalah karena adanya iming-iming bonus tersebut dengan harapan agar cepat kaya dengan waktu yang sesingkat mungkin dan bukan karena dia membutuhkan produknya. Bisnis model ini adalah perjudian murni, karena beberapa sebab berikut, yaitu:
1. Sebenarnya anggota MLM ini tidak menginginkan produknya, akan tetapi tujuan utama mereka adalah penghasilan dan kekayaan yang banyak lagi cepat yang akan diperoleh setiap anggota hanya dengan membayar sedikit uang.
2. Harga produk yang dibeli sebenarnya tidak sampai 30 % dari uang yang bayarkan pada perusahaan MLM
3. Bahwa produk ini bisa dipindahkan oleh semua orang dengan biaya yang sangat ringan, dengan cara menyalinnya dari situs perusahaan MLM ini di jaringan internet.
4. Bahwa perusahaan meminta para anggotanya untuk memperbaharui keanggotaannya setiap tahun dengan diiming-imingi berbagai program baru yang akan diberikan pada mereka.
5. Tujuan perusahaan adalah membangun jaringan personil secara estafet dan berkesinambungan. Yang mana ini akan menguntungkan anggota yang berada pada level atas (Up Line) sedangkan level bawah (down line) selalu memberikan nilai point pada yang berada di level atas mereka. (2)
Berdasarkan ini semua, maka sistem bisnis semacam ini tidak diragukan lagi keharamannya karena beberapa sebab yaitu:
1. Ini adalah penipuan dan manipulasi terhadap anggota.
2. Produk MLM ini bukanlah tujuan yang sebenarnya. Produk itu hanya bertujuan untuk mendapatkan izin dalam undang-undang dan hukum syar'i.
3. Banyak dari kalangan ekonom dunia sampai pun orang-orang non muslim meyakini bahwa jaringan piramida ini adalah sebuah permainan dan penipuan, oleh karena itu mereka melarangnya karena bisa membahayakan perokonomian nasional baik bagi kalangan individu maupun bagi masyarakat umum.
Dengan berdasarkan ini semua, tatkala kita mengetahui bahwa hukum syar'i didasarkan pada maksud dan hakekatnya serta bukan sekedar polesan luarnya, maka perubahan nama sesuatu yang haram akan semakin menambah bahayanya karena ini berarti terjadi penipuan pada Allah dan Rasul-Nya, (3) oleh karena itu sistem bisnis semacam ini adalah haram dalam pandangan syar'i.
Kalau ada yang bertanya: "Bahwasannya bisnis ini bermanfaat bagi sebagian orang."
Jawabanya: "Adanya manfaat pada sebagian orang tidak bisa menghilangkan keharamannya, sebagaimana di firmankan oleh Allah Ta'ala:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khomer dan judi. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." (Qs. Al Baqoroh: 219)
Tatkala bahaya dari khomer dan perjudian itu lebih banyak dari pada manfaatnya, maka keduanya dengan sangat tegas diharamkan.
Kesimpulannya: bahwasanya bisnis MLM ini adalah alat untuk memancing orang-orang yang sedang mimpi disiang bolong menjadi jutawan. Bisnis ini adalah memakan harta manusia dengan cara yang bathil, juga merupakan bentuk spekulasi, dan spekulasi adalah bentuk perjudian.
FATWA TENTANG MLM
Ini adalah teks fatwa para masyayikh Yordania murid-murid Imam Al Albani, yaitu: Syaikh Ali Hasan, Masyhur Hasan Alu Salman, Salim bin 'Id Al Hilali dan Musa Alu Nashr.
Banyak pertanyaan yang datang kepada kami dari berbagai penjuru tentang hukum bergabung dengan PT. Bisnis dan perusahaan modern semisalnya yang menggunakan sistem piramida. Yang mana bisnis ini secara umum dijalankan dengan cara menjual produk tertentu serta membayar uang dalam jumlah tertentu tiap tahun untuk bisa tetap menjadi anggotanya.Yang mana karena dia telah mempromosikan sistem bisnis ini maka kemudian pihak perusahaan akan memberikan uang dalam jumlah tertentu yang terus bertambah sesuai dengan hasil penjualan produk dan perekrutan anggota baru.
Jawab:
Bergabung menjadi anggota PT semacam ini untuk mempromosikannya yang selalu terkait dengan pembayaran uang dengan menunggu bisa merekrut anggota baru serta masuk dalam sistem bisnis piramida ini hukumnya HARAM, karena seorang anggota jelas-jelas telah membayar uang tertentu demi memperoleh uang yang masih belum jelas dalam jumlah yang lebih besar. Dan ini tidak bisa diperoleh melainkan secara kebetulan ia sedang bernasib baik, yang mana sebenarnya tidak mampu diusahakan oleh si anggota tersebut.
Ini adalah murni sebuah bentuk perjudian berdasarkan beberapa kaedah para ulama'. Wallahu Al Muwaffiq.
Amman Al Balqo'
26 Sya'ban 1424 H
PENUTUP
Inilah analisis fikih tentang fenomena bisnis MLM. Namun tetap kami katakan bahwa jika ada salah satu perusahaan MLM yang selamat dari pelanggaran syar'i yang kami sebutkan diatas, maka hukumnya kembali pada kehalalannya karena memang pada dasarnya semua mu'amalah hukumnya halal kecuali kalau ada sisi yang mengharamkannya. Akan tetapi ada sebuah tanda tanya besar: "Adakah MLM yang seperti itu?" kami tunggu jawabannya dari para pelaku bisnis MLM.
Akhirnya semoga Allah Ta'ala menjauhkan diri kita dan keluarga kita serta segenap ummat islam dari melakukan sesuatu yang haram serta semoga Allah Ta'ala senantiasa memberikan rizqi yang halalan Thoyyiban.
Wallahu a'lam bish showab.

Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf
Sumber: www.ahmadsabiq.com
Footnote:
(1) Jangan ada yang berkata bahwa bisa saja hukum ini adalah kesimpulan Syaikh Salim Al Hilali dari MLM yang ada di Yordania yang berarti tidak mencakup MLM yang ada di Indonesia, karena dua hal:
• Ini adalah jawaban beliau atas pertanyaan seputar bisnis MLM yang datang dari seantero penjuru dunia.
• Bahwa MLM semuanya dan dimana saja berawal dari Amway yang pada intinya adalah pemasaran produk perusahaan dengan sistem berantai yang membentuk piramida. Dengan dalil bahwa gabaran syaikh tentang MLM sama dengan yang ada di Indonesia.
(2) Bukti bahwa yang diuntungkan dengan sistem MLM adalah up line, sedangkan down line akan selalu dirugikan adalah bahwa bentuk piramida ini akan berhenti pada level tertentu yang mana mereka tidak mungkin bisa mencari anggota baru lagi, yang dengannya semua bonus dan point yang dijanjikan adalah impian belaka. Dan perlu di cermati bahwa dimanapun down line akan selalu lebih banyak dari pada up line.
Sebagai sebuah gambaran. Apabila ada suatu perusahaan MLM yang mengharuskan setiap anggotanya untuk merekrut lima orang anggota lainnya, maka perhitungannya sebagai berikut:
Tabel Perhitungan pada MLM


Jika penduduk kota Surabaya berjumlah empat juta orang dan semua penduduk tergabung dalam satu saja perusahaan MLM, maka pada level sebelas seorang anggota tidak mungkin lagi mencari anggota baru di kota surabaya. Dan ini kayaknya sesuatu yang jauh sekali, karena tidak semua orang kepingin mengikuti program MLM, dan anggaplah semuanya tergabung dalam MLM pastilah dalam banyak PT. MLM dan bukan pada salah satu saja. Yang ini semua mengharuskan orang pada level delapan atau sembilan tidak bisa lagi mencari anggota baru.
(3) Beliau mengisyaratkan pada sebuah hadits:

عن أبي ملك الأشعري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ليشربن ناس من أمتي الخمر ويسمونها بغير اسمها يعزف عتى رؤوسهم بالمعازف و المغنيات يخسف الله بهم الأرض و يجعل منهم القردة و الخنازير
Dari Abu Malik Al Asy'ari berkata: Rasulullah bersabda: "Sungguh sebagian dari ummatku akan minum khomer dan mereka menamakannya dengan nama lain serta dimainkan musik dan para biduanita pada mereka. Sunguh, Allah akan akan membuat mereka tertelan bumi serta menjadikan mereka sebagai kera dan babi." (HR. Abu Dawud 3688, Ibnu Majah 4020 dengan sanad shohih, lihat As Shohihah 1/138)
Hak Kekayaan Intelektual Dalam Islam

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Ibnu Munzir on Senin, 11 Januari 2010 14:29 | Dibaca : 3132 kali

Pendahuluan
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi Muhammad, kepada keluarga dan sahabatnya.
Kehidupan umat manusia terus mengalami pergeseran dan perubahan. Demikian juga dengan pola pikir dan persepsi mereka tentang suatu urusan, dari hari ke hari, terjadi perubahan dan perkembangan.
Fenomena alam ini bukan hanya terjadi pada satu aspek kehidupan saja, akan tetapi terjadi pada seluruh aspek kehidupan mereka, termasuk dalam urusan harta benda dan perniagaan.
Betapa banyak barang yang pada zaman dahulu, dianggap memiliki nilai ekonomis tinggi, akan tetapi sekarang, nilai barang tersebut telah sirna. Masyarakatpun telah memandangnya dengan sebelah mata bahkan mungkin saja tidak lagi memiliki nilai ekonomis sedikitpun.
Sebaliknyapun demikian, betapa banyak barang yang dahulu tidak bernilai ekonomis sedikitpun, akan tetapi sekarang barang tersebut bernilai jual tinggi.
Dahulu, siapakah yang sudi membeli oksigen (udara) dengan harga mahal? Apalagi membeli, membayangkannya saja mungkin tidak. Akan tetapi di zaman kita, oksigen telah menjadi barang yang dapat diperjual-belikan, dan bahkan memiliki nilai ekonomis tinggi.
Diantara hal yang dahulu tidak bernilai ekonomis, akan tetapi pada zaman kita bernilai ekonomis besar ialah kekayaan intelektual.
Pada konsep kehidupan zaman dahulu, bila seseorang dengan –dengan izin Allah- berhasil menemukan suatu gagasan, atau karya, maka selanjutnya masyarakat dapat menggunakan karya atau gagasan tesebut. Mereka menggunakannya tanpa perlu memberi imbalan apapun selain ucapan dan doa baik untuk penggagasnya.
Sering kali, pihak yang mendapatkan keuntungan materi dari karya tersebut bukannya penggas, akan tetapi orang-orang yang berprofesi sebagai juru tulis atau yang disebut dengan al warraq atau yang semisal dengannya.
Pada sejarah kehidupan ulama' Islam, sering kali kita menemukan tokoh-tokoh yang mata pencahariannya ialah menyalin ulang suatu kitab. Misalnya Malik bin Dinar wafat thn 127 H, beliau dikenal sebagai penulis handal, sehingga ia menulis Al Qur'an Al Karim dalam 4 bulan. (Siyar A'alam An Nubala' 5/364)
Bahkan Imam Ahmad bin Hambal pernah membeli baju dengan uang yang ia peroleh dari menuliskan hadits-hadits yang pernah ia riwayatkan dari Sufyan bin Uyainah. (Siyar A'alam An Nubala' 11/191-192)
Dua kisah ini dapat menjadi petunjuk bagi kita dalam mengenali pandangan masyarakat kala itu tentang harta kekayaan.
Adakah Kekayaan Intelektual Dalam Syari'at?
Cara pandang umat manusia pada zaman dahulu tentang kekayaan intelektual, maka bukan berarti cara pandang itu dapat anda terapkan begitu saja di masa kini. Yang demikian itu dikarenakan pada zaman sekarang, cara pandang masyarakat telah berubah. Masyarakat telah memperluas sudut pandang mereka tentang arti harta kekayaan. Bila pada zaman dahulu kekayaan hanya terbatas pada materi, maka di zaman sekarang kekayaan telah mencakup berbagai hal-hal lain.
Di zaman sekarang, kekayaan telah mencakup hal-hal non materi, diantaranya kekayaan intelektual, hak cipta, rahasia dagang, merek dagang dan lainnya.
Perubahan persepsi masyarakat semacam ini dalam syari'at Islam dapat diterima, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan hukum. Kesimpulan ini berdasarkan beberapa alasan berikut:
1. Syari'at Islam datang bukan untuk mengekang urusan hidup umat manusia. Akan tetapi Islam datang untuk memfilter aktifitas dan tradisi mereka; yang menguntungkan dipertahankan dan disempurnakan, sedang yang merugikan dijauhkan. Karena itu, setiap perintah agama pasti manfaatnya lebih besar dari kerugiannya dan sebaliknya, setiap larangan agama, pasti kerugiannya melebihi manfaatnya. (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 1/138)
Bila demikian adanya, maka pengakuan dan penghargaan masyarakat internasional terhadap kekayaan intelektual seseorang, tidak bertentangan dengan Syari'at. Karena pengakuan ini, mendatangkan banyak kemaslahatan bagi umat manusia. (Qararat Al Majma' Al Fiqhi Al Islami hal: 192.
2. Harta kekayaan atau yang dalam bahasa arab disebut dengan al maal –sebagaimana ditegaskan oleh Imam As Syafii- adalah: "Setiap hal yang memiliki nilai ekonomis sehingga dapat diperjual-belikan, dan bila dirusak oleh orang lain, maka ia wajib membayar nilainya, walaupun nominasi nilainya kecil." (Al Umm 5/160)
Atau: "Segala sesuatu yang bermanfaat atau dapat dimanfaatkan, baik berupa benda atau kegunaan benda", sebagaimana ditegaskan oleh Imam Az Zarkasyi. (Al Mantsur fil Qawaid oleh Muhammad bin Bahadar Az Zarkasyi As Syafi'i 3/222)
Atau: "Segala sesuatu yang kegunaannya halal walau tidak dalam keadaan darurat", sebagaimana diungkapkan oleh para ulama' mazhab Hambali. (Syarah Muntahal Iradaat oleh Al Bahuti 2/7)
Dengan demikian, sebutan harta kekayaan menurut para ulama' mencakup kekayaan intelektual, karena kekayaan intelektual mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis.
Dalil Bagi Pengakuan Terhadap Kekayaan Intelektual
Setelah anda mengetahui bahwa pemahaman tentang harta kekayaan menurut para ulama' mencakup kekayaan intelektual, maka berikut beberapa dalil yang menguatkan pemahaman tersebut.
Dalil pertama:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (Qs. An Nisa': 29)
Ayat ini dengan tegas mensyaratkan agar anda tidak menggunakan harta kekayaan orang lain, kecuali melalui perniagaan yang di dasari atas asas suka-sama suka. Dan anda telah mengetahui bahwa kekayaan intelektual, adalah salah satu bentuk harta kekayaan seseorang. Sudah barang tentu pemilik kekayaan intelektual tidak rela bila anda menggandakan hasil karyanya dengan tanpa seizin darinya.
Sebagaimana tidak diragukan bahwa sebelum seorang menghasilkan buku atau suatu program, atau karya seni, telah mengorbankan banyak hal, waktu, tenaga, pikiran, pekerjaan dan tidak jarang urusan keluarganya. Semua itu ia korbankan demi menghasilkan karya ilmiah atau program yang berguna tersebut. Bila demikian, maka sudah sepantasnya anda memberikan penghargaan yang setimpal atas pengorbanannya tersebut.
Imbalan yang dipungut oleh seorang penulis buku atau pembuat suatu program sama halnya dengan upah atau gaji yang didapatkan oleh seorang guru. Keduanya sama-sama telah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan banyak hal demi mewujudkan sesuatu yang berguna bagi orang lain.
Pada suatu hari, Ibnu Futhais bertanya kepada Muhammad bin Abdullah bin Abdil Hakam wafat thn: 268 H perihal Ahmad bin Abdurrahman bin Waheb yang tidak sudi membacakan hadits-hadits riwayatnya kecuali bila diberi upah. Mendengar pertanyaan itu, Muhamad bin Abdullah bin Abdil Hakam berkata: Semoga Allah mengampunimu, apa salahku bila aku tidak sudi membacakan riwayat-riwayatku sebanyak satu halaman kecuali bila kalian membayarku satu dirham? Siapakah yang mengharuskan aku untuk bersabar duduk sesiangan bersama kalian, sehingga aku menterlantarkan pekerjaan dan keluargaku? (Siyar A'alam An Nubala' oleh Az Zahabi 12/322).
Dalil kedua:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عن رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم:إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ. متفق عليه
Sahabat Ibnu 'Abbas meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya hal yang paling layak untuk engkau pungut upah karenanya ialah kitabullah." (Muttafaqun 'alaih)
Bila anda dibolehkan memungut upah karena mengajarkan bacaan atau hafalan Al Qur'an, maka lebih layak lagi bila anda memungut upah karena mengajarkan berbagai kandungan ilmu yang tersurat dan tersirat padanya, baik pengajaran tersebut anda lakukan secara lisan atau melalui tulisan.
Anda pasti menyadari bahwa: jerih payah yang anda curahkan guna mengajarkan berbagai ilmu yang terkandung dalam Al Qur'an lebih besar dibanding yang anda curah untuk mengajarkan bacaannya.
Bila ini terjadi pada pengajaran ilmu-ilmu Al Qur'an, sudah barang tentu ilmu-ilmu lain yang tidak ada kaitannya dengan Al Qur'an, lebih layak untuk dibolehkan.
Tidak heran bila karya tulis Imam Abu Nu'aim Al Asbahani As Syafi'i wafat thn: 430 H, yang berjudul: Hilyatul Auliya' wa Thabaqatul Ashfiya', semasa hidupnya dijual di kota Naesaabur seharga 400 dinar. (Thabaqaatus Syafi'iyah Al Kubra oleh Tajuddin As Subki 4/21)
Dan kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalaani wafat thn: 852 H, di masa hidupnya telah dijual seharga 300 dinar, sebagaimana dikisahkan oleh murid beliau As Sakhowi.
Dalil ketiga:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ أَتَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه و سلم امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: مَا لِى فِى النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ. فَقَالَ رَجُلٌ: زَوِّجْنِيهَا. قَالَ: أَعْطِهَا ثَوْبًا . قَالَ: لاَ أَجِدُ . قَالَ: أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَاعْتَلَّ لَهُ . فَقَالَ: مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ. قَالَ: كَذَا وَكَذَا : فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ. متفق عليه
وفي لفظ لمسلم: انْطَلِقْ فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَعَلِّمْهَا مِنَ الْقُرْآنِ.
Sahabat Sahl bin Saad mengisahkan: Ada seorang wanita yang datang menjumpai nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu wanita itu berkata: "Sesungguhnya aku telah menghibahkan diriku kepada Allah dan Rasul-Nya." Mendengar ucapan wanita itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Aku sedang tidak berhasrat untuk menikahi seorang wanita lagi." Spontan ada seorang lelaki yang berkata: "Bila demikian, nikahkanlah aku dengannya." Menanggapi permintaan sahabatnya itu, Nabi bersabda: "Berilah ia mas kawin berupa pakaian." Lelaki itu menjawab: "Aku tidak memilikinya." Kembali Nabi bersabda: "Bila demikian, berilah ia mas kawin walau hanya cincin besi (walau sedikit)." Kembali sahabat itupun mengutarakan alasannya. Sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: "Surat apa saja yang telah engkau hafal?" Lelaki itupun menjawab: "Surat ini dan itu." Akhirnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku telah menikahkanmu dengan mas kawin surat-surat Al Qur'an yang telah engkau hafal." (Muttafaqun 'alaih)
Dan pada riwayat Imam Muslim disebutkan: "Pergilah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, maka ajarilah dia (surat-surat) Al Qur'an (yang telah engkau hafal)."
Bila mengajarkan hafalan Al Qur'an memiliki nilai ekonomis sehingga dapat dijadikan sebagai mas kawin, maka mengajarkan ilmu-ilmu kandungan Al Qur'an lebih layak untuk memiliki nilai ekonomis. Apalagi disiplin ilmu lain yang tidak ada kaitannya dengan agama, semisal program komputer atau yang serupa.
Dalil keempat:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: (المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Umat Islam berkewajiban untuk senantiasa memenuhi persyaratan mereka." (Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits shahih)
Tatkala anda membeli suatu karya ilmiah atau program, atau yang serupa, berarti anda telah menyetujui persyaratan yang dibuat oleh penulis atau pemilik program atau karya tersebut. Dan berdasarkan keumuman hadits ini, maka anda berkewajiban untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Dalil kelima:

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ. رواه مسلم
Sahabat Abdullah bin Amer bin Al 'Ash radhialahu 'anhu mengisahkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa mendambakan dirinya dijauhkan dari api neraka, dan dimasukkan ke surga, hendaknya ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaknya ia memperlakukan orang lain dengan perilaku yang ia suka untuk diperlakukan dengannya." (Riwayat Muslim)
Saya yakin, anda pasti tidak rela dan tidak suka bila hasil jerih payah anda berbulan-bulan atau bahkan mungkin bertahun-tahun digunakan orang lain tanpa seizin anda. Apalagi bila anda mengetahui bahwa orang itu mendapatkan keuntungan dari hasil karya anda, baik dengan memperjual-belikannya atau cara lain tanpa memberikan imbalan sedikitpun atas jerih payah anda.
Bila demikian adanya, sudah sepantasnya bila anda juga memperlakukan orang lain dengan cara yang sama. Demikianlah etika yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits ini, dan dengan cara inilah anda dapat terjauhkan dari siksa neraka.
Dalil keenam:
Pengakuan dan penghargaan hak atas kekayaan intelektual menjadi motivator kuat bagi para pemikir, ilmuwan dan lainnya untuk menuangkan hasil pikiran mereka dalam tulisan atau karya nyata yang berguna bagi kehidupan umat manusia.
Anda bisa bayangkan, andai umat manusia tidak mengakui adanya kekayaan intelektual, apalah yang akan terjadi? Para ilmuwan akan sibuk dengan pekerjaannya sendiri, guna mencukupi kebutuhannya. Ia enggan untuk mengaplikasikan berbagai ilmu, teori dan temuannya, karena sibuk mengurusi mata pencahariannya. Tentu keadaan semacam ini sangat tidak menguntungkan.
Padahal anda tahu bahwa agama Islam diturunkan guna mewujudkan dan melipatgandakan kemaslahatan umat manusia. Dan sebaliknya, Islam juga datang guna menghilangkan dan meminimalkan madharat yang mengancam mereka.
Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk tidak mengakui sesuatu yang terbukti mendatangkan banyak maslahat dan menyingkirkan banyak madharat.
Fatwa Ulama
Kebanyakan ulama' kontemporer dan juga berbagai badan fiqih internasional juga telah menegaskan akan pengakuan terhadap kekayaan intelektual tersebut. Berikut saya nukilkan fatwa Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:
"Tidak dibenarkan bagi anda untuk menggandakan program-program komputer yang pemiliknya melarang untuk digandakan kecuali atas seizinnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Abu Hurairah radhialahu 'anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Umat Islam berkewajiban untuk senantiasa memenuhi persyaratan mereka." Dan juga berdasarkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبة من نَفْسٍ
"Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali atas kerelaan darinya."
Dan juga berdasarkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ سَبَقَ إِلَى مُبَاحٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
"Barang siapa telah lebih dahulu mendapatkan sesuatu yang mubah (halal) maka dialah yang lebih berhak atasnya."
Hukum ini berlaku baik pencetus program adalah seorang muslim atau kafir selain kafir harbi (yang dengan terus terang memusuhi umat Islam), karena hak-hak orang kafir selain kafir harbi dihormati layaknya hak-hak seorang muslim.
Wabillahittaufiq, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya." (Majmu' Fatawa Lajnah Ad Da'imah 13/188, fatwa no: 18453)
Fiqih Council dibawah Rabithah Alam Islami (Muslim World League) pada sidang rutin mereka yang ke-9, yang diadakan di kantor pusatnya di kota Mekkah, pada tanggal 12/71406 H s/d 19/7/1406 H, menghasilkan keputusan fatwa yang sama. (Qararat Al Majma' Al Fiqhi Al Islami hal: 192)
Penutup
Setelah anda mengetahui bahwa syari'at Islam mengakui adanya hak atas kekayaan intelektual, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk karya tulisan, program komputer, karya seni atau lainnya, maka sudah sepantasnya bila anda menghormati harta kekayaan saudara anda. Ketahuilah bahwa apapun sikap anda terhadap hak-hak saudara anda, maka demikian pulalah saudara anda akan memperlakukan anda.
Dalam pepatah dinyatakan:

كَمَا تَدِينُ تُدَان
"Sebagaimana anda memperlakukan orang lain, maka demikianlah mereka akan memperlakukan anda."
Wallahu a'alam bisshowab.
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
Upah Bekam itu Khobits (Jelek)

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Muhammad Abduh Tuasikal on Jumat, 08 Januari 2010 05:35 | Dibaca : 1211 kali
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 213/14 pernah ditanya:
Terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa ‘upah bekam itu khobits (jelek)’. Namun sebaliknya dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi upah pada tukang bekam. Bagaimana mengkompromikan dua hadits semacam ini?
Beliau rahimahullah menjawab:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyebut bawang merah, bawang bakung dan semacamnya dengan sebutan khobits (jelek).
Apakah benda-benda tersebut halal atau haram?
Jawabannya, bawang dan semacamnya tadi adalah halal. Upah bekam semisal dengan ini. Khobits yang dimaksudkan adalah jelek (buruk). Jadi yang dimaksudkan adalah tidak sepantasnya tukang bekam itu mengambil upah. Kalau ingin mengambil upah, seharusnya dia mengambil sekadarnya saja tanpa ambil keuntungan. Jadi, upah bekam ini bukanlah haram. Oleh karena itu, Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berargumen dengan pemberian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu upah pada tukang bekam, sehingga ini menunjukkan bahwa upah bekam tersebut adalah halal. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
احتجم النبي صلى الله عليه وسلم وأعطى الحجام أجره ولو كان حراماً ما أعطاه
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan beliau memberi orang yang membekam upah. Seandainya upah bekam itu haram, tentu beliau tidak akan memberikan padanya.” [1]
Jadi khobits memiliki makna arti. Kita dapat melihat pada firman Allah ‘azza wa jalla,
أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ
“Nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang khobits (yang buruk-buruk) lalu kamu menafkahkan daripadanya.” (QS. Al Baqarah: 267)
Apa yang dimaksud dengan khobits dalam ayat di atas? Khobits yang dimaksudkan adalah sesuatu yang jelek (buruk). Jadi tidak setiap kata khobits bermakna haram. Kadang khobits bermakna jelek (buruk). Atau kadang pula khobits adalah sesuatu yang tidak disukai.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Panggang, Gunung Kidul, 10 Rabi’ul Awwal 1430 H
_____________
[1] HR. Bukhari dan Muslim
Peranan Niat Pada Perniagaan

Fatwa dan Nasehat Agama | Hukum - Hukum Perdagangan

Ditulis oleh Ibnu Munzir on Kamis, 31 Desember 2009 11:14 | Dibaca : 1285 kali

Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amiin.
Niat seseorang memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap hukum perbuatan dan ucapannya. Bukan hanya dalam hal peribadatan, bahkan dalam hal mu’amalat (hubungan interaksi sesama manusia) dan juga amal duniawi lainnyapun, niat memiliki peranan yang begitu penting.
Untuk menggambarkan betapa besar pengaruh niat pada hukum amalan dan ucapan manusia, maka saya mengajak para pembaca untuk merenungkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى. متفق عليه
“Sesungguhnya setiap amalan pasti disertai oleh niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan sisi pendalilan dari hadits ini dengan berkata: “Niat adalah ruh, inti dan tonggak setiap amalan, dan amalan adalah cabang dari niat. Amalan akan menjadi sah bila niatnya sah, dan rusak bila niatnya rusak. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyabdakan dua kalimat yang mencakup dan jelas, dan pada keduanya terkandung ilmu-ilmu yang amat berharga. Kedua kalimat itu ialah sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى
“Sesungguhnya setiap amalan pasti disertai oleh niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan kalimat pertama, bahwa tiada satu amalanpun yang dilakukan (oleh seseorang) kecuali disertai dengan niat, oleh karena itu tidaklah ada satu amalanpun melainkan disertai dengan niatnya. Kemudian beliau menjelaskan pada kalimat kedua: bahwa pelaku amalan tidaklah akan mendapatkan sesuatu dari amalannya tersebut selain apa yang telah ia niatkan. Dan hadits ini mencakup amalan ibadah, mu’amalah, sumpah, nazar, dan seluruh macam transaksi dan amalan.
Dan hadits ini merupakan dalil bahwa barang siapa yang menginginkan dari suatu transaksi jual-beli untuk dapat menjalankan praktek riba, berarti ia telah menjalankan praktek riba. Upayanya menutupi keinginannya tersebut dengan menampakkan praktek jual-beli tidaklah ada gunanya. Dan barang siapa yang menginginkan dari akad pernikahan untuk dapat menjadikan wanita yang ia nikahi halal (untuk dinikahi oleh mantan suaminya yang telah menceraikannya sebanyak tiga kali), maka ia dinyatakan sebagai muhallil (bandot sewaan), ia tidak dapat terbebas dari fakta ini dengan wujud pernikahan yang ia nampakkan, karena ia telah meniatkan rencananya tersebut.” (I’ilamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/111-112)
Pada lain kesempatan, Ibnul Qayyim juga menjelaskan: “Telah menjadi suatu ketetapan dalam syari’at yang tidak dapat diganggu gugat: sesungguhnya tujuan dan keyakinan seseorang harus dipertimbangkan dalam menilai setiap perbuatan dan ucapannya. Sebagaimana niat diperhitungkan dalam urusan ibadah, maka dalam urusan mu’amalah memiliki peranan yang peting. Niat dan keyakinan menjadi penentua suatu amalan itu halal atau haram, benar atau salah, amal ketaatan atau kemaksiatan. Sebagaimana niat dalam urusan ibadah menjadi penentu apakah suatu amalan itu hukumnya wajib atau sunnah atau haram, benar atau salah. Dan dalil-dalil yang membuktikan akan adanya ketentuan ini sangat banyak.(I’ilamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/95-96)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya niat dan keyakinan senantiasa diperhitungkan dalam setiap perbuatan dan tradisi, sebagaimana keduanya senantiasa diperhitungkan dalam setiap amal ibadah. Niatlah yang menjadikan suatu hal halal atau haram, sah atau rusak/ batal, atau sah dari satu sisi dan batal dari sisi lain. Sebagaimana niat dalam amalan ibadah menjadikannya wajib, atau sunnah atau haram atau sah atau rusak/batal.” (Al Fatawa Al Kubra 6/54)
Berikut beberapa contoh nyata dari peranan niat:
Contoh pertama:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى صَدَاقٍ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَه إِلَيْهَا فَهُوَ زَانٍ وَمَنْ ادَّانَ دَيْناً وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَهُ إِلَى صَاحِبِهِ فَهُوَ سَارِقٌ. رواه البزار والبيهقي وصححه الألباني
“Dari sahabat Abu Hurairah rahimahullah ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barang siapa yang menikahi seorang wanita dengan mahar tertentu, sedangkan ia berniat untuk tidak menyerahkan mahar tersebut kepadanya, maka ia adalah pezina. Dan barang siapa yang berhutang suatu piutang, sedangkan ia berniat untuk tidak membayarnya, maka ia adalah pencuri.” (Riwayat Al Bazzar, dan Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albany)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap pembelli (orang yang berhutang) dan lelaki yang menikah bila keduanya berniat untuk tidak menunaikan kewajibannya bagaikan orang yang berzina dan mencuri, sehingga dosanya sama besarnya dengan dosa pezina dan pencuri.” (Al Fatawa Al Kubra 6/59)
Dan pada hadits lain, nabi juga bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
“Sahabat Abu Hurairah rahimahullah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk mengembalikannya (atau membayarnya), niscaya Allah akan memudahkannya untuk dapat mengembalikan harta tersebut. Sebaliknya bila ia mengambil dengan maksud merusakkannya (atau tidak mengembalikannya), niscaya Allah akan membinasakannya.” (Riwayat Imam Bukhari)
Al Munawi dalam kitabnya Faidhul Qadiir menjelaskan bahwa orang yang berniat dan bersungguh-sungguh mengembalikan harta saudaranya, maka Allah akan memudahkannya dan melapangkan rizkinya, sehingga ia kuasa menunaikan kewajibannya. Sebaliknya orang yang sedari awal berniat merampas hak saudaranya, maka Allah akan memusnahkan harta kekayaannya, dengan cara menimpakan berbagai bencana, cobaan, terlilit hutang dan dihapuskan keberkahan hartanya. (Faidhul Qadiir 6/41)
Saudaraku! Bagaimana dengan diri anda? Tatkala anda berhutang atau meminjam harta saudaramu, sudahkan anda memiliki kesungguhan niat untuk mengembalikannya? Ataukah ada keteledoran dalam merawat dan mengembalikan harta saudaramu?
Selamat menantikan dan menemukan dampak dari niat anda sendiri.
Contoh kedua:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم فِى الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْه،ِ وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالْمُشْتَرِىَ لَهَا، وَالْمُشْتَرَاةَ لَهُ. رواه الترمذي وابن ماجة وصححه الألباني
“Sahabat Anas bin Malik rahimahullah menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati sepuluh orang berkaitan dengan minuman khomer: pemerasnya, orang yang memesan untuk diperaskan, peminumnya, pembawanya (distributor), orang yang dibawakan kepadanya, penuangnya (penyajinya), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang yang dibelikan untuknya minuman khomer.” (Riwayat At Tirmizi, Ibnu Majah, dan hadits ini oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits shahih)
Ibnul Qayyim berkata: “Tidak diragukan bahwa yang diperas oleh seorang pemeras adalah buah anggur. Akan tetapi karena niatnya adalah ingin memproduksi minuman khomer, maka amalan lahirnya tidak dapat menjadi pelindung dari laknatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Laknat itu menimpanya, akibat dari niat yang ada pada batinnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang semestinya menjadi pedoman anda dalam penilaian suatu transaksi dan amalan ialah hakikat dan tujuan pelakunya, dan bukan sekedar gambaran luar yang berupa ucapan dan perbuatan belaka.” (I’ilamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/95)
Contoh ketiga:
عن أبي رافع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
Abu Rafi’ rahimahullah mengisahkan: Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi’ untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi’ kembali menemui beliau dan berkata: “Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Imam An Nawawi berkata: Pada hadits ini anda dapat mengambil pelajaran: Bahwa dianjurkan bagi orang yang berhutang untuk membayar piutangnya dengan yang lebih baik. Perbuatan ini termasuk amalan sunnah dan akhlaq yang terpuji. Dan amalan ini tidaklah termasuk “piutang yang mendatangkan keuntungan” yang terlarang. Karena yang terlarang ialah tambahan yang dipersyaratkan ketika akad hutang-piutang.” (Syarah Shohih Muslim oleh Imam An Nawawi 11/37)
Andai bukan karena mempertimbangkan maksud dan niat (seseorang), niscaya setiap pelaku riba (rentenir) bila hendak menukar uang seribu (dinar) dengan harga seribu lima ratus (dinar) yang dibayarkan kemudian (dihutang), akan dengan mudah berkata: aku tukar uang seribu milikku ini dengan seribu milikmu, dan aku memberimu hadiah uang sebanyak lima ratus, akan tetapi maksudnya seperti yang saya inginkan.” (Al Fatawa Al Kubra 6/60)
Contoh keempat:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. متفق عليه
“Dari sahabat Abu Hurairah rahimahullah ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan, sebagian dari kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan hendaknya engkau menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak layak baginya untuk menzhalimi saudaranyanya, dan tidak pula untuk berpangku tangan mengetahui saudaranya dianiaya orang lain. Dan tidak layak pula baginya untuk menghina saudaranya.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Imam As Syafi’i berkata: Yang dimaksud dengan an najesy ialah seseorang datang ke tempat penjualan suatu barang, lalu ia turut mengajukan penawaran, sedangkan ia tidak berminat untuk membelinya. Ia melakukan hal itu agar calon pembeli lainnya terpengaruh dengan penawarannya, sehingga merekapun menaikkan penawaran mereka sebelumnya. Barang siapa telah mengetahui larangan Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia melakukan penawawan semacam ini, maka ia telah berbuat dosa.” (As Sunan Al Kubra oleh Al Baihaqy 5/344)
Contoh kelima:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَنِ احْتَكَرَ حُكْرَةً يُرِيدُ أَنْ يُغْلِىَ بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ خَاطِئٌ. رواه أحمد والحاكم والبيهقي
“Dari sahabat Abu Hurairah rahimahullah ia menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menimbun suatu timbunan agar dengan cara ini harga menjadi mahal atas umat islam, maka ia telah berdosa.” (Riwayat Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaqy)
Penulis 'Aunul Ma’bud berkata: “Pendek kata, alasan diharamkannya monopoli ialah karena perbuatan ini merugikan umat Islam secara umum. Monopoli diharamkan diharamkan bila merugikan umat Islam. Dengan demikian, hukum monopoli berlaku pada makanan pokok dan lainnya, karena monopoli pada komoditi apapun menimbulkan kerugian pada mereka.” ('Aunul Ma’bud oleh Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Al Abaady 9/228)
Contoh keenam:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحًا. البقرة 228
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (Qs. Al Baqarah: 228)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Dan seorang suami yang telah menceraikan istrinya berhak untuk meruju’ kembali istrinya, selama masih berada di masa ‘iddah. Ketentuan ini hanya berlaku bila sang suami menghendaki kebaikan dari ruju’ tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/609)
Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النَّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلاَ تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لَّتَعْتَدُواْ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلاَ تَتَّخِذُوَاْ آيَاتِ اللّهِ هُزُوًا. البقرة 231
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan.” (Qs. Al Baqarah: 231)
Para ulama’ ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah larangan bagi para suami dari merujuk’ istri-istrinya walaupun masa ‘iddah masih berlaku, bila tujuannya ialah untuk menyakiti sang istri, dengan memperlama masa ‘iddah. Menyakiti istri yang telah dicerai juga dapat terwujud dengan mengkondisikan istri sedemikian rupa, sehingga sang istri terpaksa mengajukan gugatan cerai khulu’ , sehingga sang istri berkewajiban mengembalikan sebagian atau seluruh mas kawin yang pernah ia dapatkan. (Tafsir Ibnu Jarir At Thabari 5/8)
Saudaraku! Anda pasti mengetahui bagaimana nasib kaum Yahudi yang sengaja melupakan akan asas ini. Tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk berburu pada hari sabtu, maka merekapun memasang perangkap atau jaring ikan pada hari Jum’at, dan pada haru sabtu mereka mengambil hasil tangkapannya.
واَسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لاَ يَسْبِتُونَ لاَ تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُم بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ .الأعراف 163
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada disekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Qs. Al A’araf: 163)
Atas ulah mereka ini, Allah menimpakan kepada mereka siksa dan azab yang begitu pedih:
فَلَمَّا عَتَوْاْ عَن مَّا نُهُواْ عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُواْ قِرَدَةً خَاسِئِينَ. الأعراف 166
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya:”Jadilah kamu kera yang hina.” (Qs. Al A’araf: 166)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan bagaimana perilaku bangsa yahudi yang berusaha melalaikan akan asas ini.
عن جابر رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم عام الفتح وهو بمكة يقول: إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ. فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ: لاَ هُوَ حَرَامٌ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم عِنْدَ ذَلِكَ : قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ. خرجه البخاري ومسلم
Dari sahabat Jabir rahimahullah bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat fathu Makkah (penakhlukan kota Makkah), disaat beliau masih berada di kota Makkah, bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa jalla dan Rasul-Nya, telah mengharamkan jual-beli khamer, bangkai, khinzir (babi) dan berhala (patung)” Lalu dikatakan kepada beliau: “Ya, Rasulullah, bagaimanakan halnya dengan lemak bangkai, karena ia digunakan untuk melumasi perahu, dan meminyaki (melumuri) kulit, juga digunakan untuk bahan bakar lentera?” Beliaupun menjawab: “Tidak, itu (menjual lemak bangkai) adalah haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Saudaraku! saya yakin, tidak ada dari anda sekalian yang mendambakan untuk menemui nasib serupa dengan nasib yang menimpa bangsa yahudi. Bukankah demikian?
Bila demikian adanya, maka perhatikanlah selalu niat anda dalam setiap aktifitas anda. Berlakulah jujur pada diri sendiri, sebelum anda mengaku berlaku jujur kepada orang lain.
Demikianlah peranan niat dalam perniagaan seorang muslim, semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Wallahu a’alam bisshawab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

2 komentar:

  1. Saya adalah Widya Okta dari SURABAYA, saya ingin memberi kesaksian tentang karya bagus Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan sebagian lain dari kata tersebut, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara.
    Apakah mereka mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman yang curang di sini di internet, tapi mereka tetap asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6-kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.

    Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya yang saya jelaskan situasi saya, kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang andal yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM dengan tarif rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)

    Jika Anda memerlukan bantuan dalam melakukan proses pinjaman, Anda juga bisa menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah terpenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sesuai kesepakatan dengan perusahaan pinjaman.

    Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.

    BalasHapus
  2. Halo
     Semua orang yang melihat ini di seluruh dunia, ada banyak scammers di situs ini, saya punya kabar bagus untuk dibagikan. tolong bergabunglah dengan saya untuk berbahagia dan bersyukur kepada perusahaan pemberi pinjaman. Saya baru saja mendapat pinjaman dari ELINA JOHNSON GLOBAL LOAN FIRM yang sah.
     Ini adalah bagaimana saya mendapatkan kontak mereka. Saya melihat kesaksian Nyonya Nuliana Novi dari Indonesia di forum ini tentang bagaimana dia mendapatkan pinjaman dari mereka dan dia memberi mereka email kepada semua orang "elinajohnson22@gmail.com" jadi saya segera mengirim email kepada mereka dan mereka menanggapi email saya, Jujur saja, Awalnya saya sangat takut karena saya telah kehilangan uang saya dengan begitu bodoh sebelumnya. Tapi, saya terkejut bahwa kurang dari 3 jam setelahnya, pinjaman sebesar RP 700.000.000, saya mengajukan permohonan untuk benar-benar dipindahkan ke akun saya.

    Seluruh proses itu sederhana. dan pinjaman darurat dengan tingkat 2% saya mendapat cepat Tidak ada biaya dari perusahaan, yang saya lakukan hanyalah membayar pin pinjaman ke Kementerian. Tidak ada penjamin yang dibutuhkan dari saya. Sampai sekarang, saya masih merasa sulit untuk percaya bahwa itu benar.

     Saya pikir saya sedang bermimpi ketika saya mendapat peringatan dari bank saya. Sekarang hatiku dipenuhi dengan sukacita. Saran saya sangat sederhana untuk setiap orang yang mencari dorongan tulus untuk mendapatkan jumlah pinjaman yang sah untuk memulai bisnis atau untuk membiayai sebuah proyek adalah dengan mengirim email kepada mereka sekarang dan Anda akan terkejut betapa saya terkejut. Saya ingin berterima kasih terutama kepada Nuliana novi untuk memberikan kontak mereka di forum ini.

     Dan jika Anda memanggil mereka dan mendapatkan pinjaman dari mereka dan itu tidak semua, mereka memiliki masa depan yang juga memberikan saran keuangan tentang bagaimana Anda melakukan investasi pinjaman Anda untuk memastikan Anda tidak pernah menjadi miskin lagi dalam hidup Anda dan layanan ini. bebas, tolong sebarkan kabar baiknya sehingga orang lain juga bisa diuntungkan. terima kasih, email lagi ^elinajohnson22@gmail.com

    ^, Nama saya Wahyuni ​​Elvin Hubungi saya, ini email saya wahyunielvin@gmail.com
     Catatan: semua penipu meminta biaya pendaftaran, hati-hati, semuanya scam. semoga tuhan memberkati kalian semua
    Terima kasih

    BalasHapus